Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Arif Wibowo

Ngelmu dalam Kebudayaan Jawa

Agama | Monday, 21 Aug 2023, 08:07 WIB

Bahwa manusia itu akan terus terjebak dalam lingkaran samsara sampai ia telah mencapai spiritualitas penuh dimana Atman akan keluar dari perputaran Tri Bhuana dan menyatu dengan Brahman yang disebut dengan Moksa. Demikian kira-kira ringkasan pandangan Hindu yang berkembang di kepulauan ini sebelum kedatangan Islam. Karenanya, Moksa itu menjadi capaian tertinggi yang ingin diraih dalam kehidupan di dunia, baik oleh penganut tantra kanan ataupun tantra kiri. Keduanya menempuh cara yang berbeda, yang kanan mencapainya dengan jalan menahan hawa nafsu, babahan hawa sanga, tantra kiri sebaliknya, menuruti semua nafsu sampai titik paling ekstrim hinga ia muak dengan semuanya.

Oleh karena itu, ketika para wali berdakwah di tanah ini, uraian mengenai Sangkan Paraning Dumadi ini menjadi sangat penting. Para wali menjabarkan pandangan Islam mengenai siklus hidup melalui media yang dekat dengan masyarakat, yakni tembang. Tembang yang di era Majapahit hanya mempunyai dua metrum, yakni Kidung dan Kakawin, dikembangkan menjadi sebelas metrum yang penamaannya disesuaikan dengan filosofi sangkan paran, Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un, demikian uraian budayawan Jogja, Irfan Afifi dalam buku Suluk Kebudayaan Indonesia.

Penamaan tembang-tembang menggambarkan perjalanan kehidupan dari sejak dalam kandungan (maskumambang), lahir (mijil), muda (sinom), sebuah era pencarian eksistensi diri yang penuh gejolak, hingga ia harus mendapat tuntutan moral yang kuat (kinanthi/digandheng), kemudian ia masuk fase mencari pasangan (asmarandana) yang dilanjutkan dengan prosesi pernikahan (gambuh), Keluarga muda sangat membutuhkan nasehat tentang pahit getir kehidupan (dhandhanggula), hinga ia mampu memberikan bakti kepada masyarakat (durma), dan ketia memasuki usia dewasa secara spiritual, ia mulai membelakangi dunia (pangkur), sebelum berpisahnya raga dan ruh (megatruh), hingga berujunga pada kain kafan untuk menyelubungi (pocung).

Tembang-tembang tersebut disebut macapat, maca (membaca) papat (empat) yaitu bagaimana agar dalam menjalani sangkan paran tersebut, ia bisa menjadi janma utama atau bahasa agamanya insan kamil harus bisa membaca empat nafsu dalam diri. Nafsu lawamah, amarah, supiyah dan mutmainnah, sampai spiritualitasnya bisa memanage kesemuanya dalam sebuah harmoni hidup, sedulur papat lima pancer.Itu sebabnya dalam pendidikan Jawa terdapat konsep-konsep yang mengambarkan penundukan hawa nafsu.

Ada empat tahapan penundukan hawa nafsu yang disesuaikan dengan tahapan usia manusia. 1. Nanding sarira, usia remaja, saat membandingkan kelebihan dan kekurangannya dengan orang lain, 2. Ngukur sarira, beranjak dewasa, yang mulai mengenali kadar yang ada pada dirinya. Kemampuan mengukur diri ini membuahkan sifat 3. Tepa sarira, dimana ia mulai bisa mengambil sudut mental dan kebenaran orang lain, sehingga tidak lagi egois dan kekanak-kanakan. Bisa hidup berdampingan secara hamoni dengan sesuatu di luar dirinya dalam kondisi 4. Mulat sarira, yakni kehidupan yang penuh dengan kesadaran dan mawas diri.

Ngelmu Jawa mengantarkannya pada pengenalan dirinya secara penuh, sebab hanya yang mengenal dirinyalah yang mengenal Tuhannya. Demikian filosofi dasar kaum sufi. Namun bukan itu yang ingin saya tekankan disini. Dari apa yang diuraikan mas Irfan Afifi dan beberapa penulis lain yang saya rangkum disini menunjukkan bahwa para wali, pendakwah Islam di kepulauan ini adalah mereka yang aktif merancang dan memproduksi kebudayaan, dimana kebudayaan itu diikuti oleh penduduk di kepulauan ini dengan suka cita. Sebab memang, dalam kancah pertarungan kebudayaan, mereka yang menghasilkan karya kebudayaanlah yang akan diikuti oleh masyarakat, bukan mereka yang maunya hanya menjadi wasit kebudayaan. Hanya main semprit, ini boleh, itu tidak boleh, tidak berkontribusi membangun, tapi maunya jadi tukang ngatur.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image