Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Finka Setiana Adiwisastra

Pedoman Etik AI dalam Menyelamatkan Umat Manusia

Lomba | Thursday, 17 Aug 2023, 17:44 WIB
Ilustrasi AI. Sumber: pixabay/istockphoto.com

Artificial Intellegence (AI) sebagai satu fenomena zaman yang muncul dalam revolusi industri. AI ini pun bagian daripada produk yang dihasilkan dalam transisi revolusi industri 4.0 menuju 5.0. Perlu diakui AI memang kecerdasan buatan dengan segala efektifitas dan efisiensinya, sehingga kinerja manusia dapat berlangsung dengan baik. Tentu dalam hal apa pun, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan industri dan bisnis. Maka, dari AI ini tentu saja dapat berdampak bagi aspek manusia dan kemanusiaan, tegasnya kehadiran AI dapat berikan ancaman maupun peluang yang nyata di zaman ini, terlepas yang disampaikan Denny Jean Cross Sihombing dan Alexander Wirapraja (2019), dengan AI segala pekerjaan manusia nantinya dapat dikerjakan secara praktis melalui fitur canggih yang tersedia.

Lebih lanjut AI akan lebih terasa ketika kecanggihan teknologi ini digunakan dalam sektor perdagangan atau bisnis. Karena, pastinya banyak perusahaan yang saling berlomba satu sama lain untuk memanfaatkan penggunaan AI ini untuk meningkatkan nilai jual dari setiap produk yang hendak dipasarkannya. Tentunya melalui AI ini, para korporat akan bahu membahu agar dapat memaksimalkan keuntungan dan meminimalisir kerugian. Dari sini orientasi para korporat untuk menghadirkan kepuasan pelanggan pun terbilang akan praktis, karena dengan biaya yang hemat dari pemanfaatan AI justru mereka mampu meraih hasil yang optimal.

Salah satu bentuk dari produk AI yang dapat menjadi fitur canggih di era modern ini adalah ChatGPT yang diprakarsai oleh OpenAI sejak September 2022, salah satu perusahaan di Amerika Serikat. Melalui ChatGPT ini, segala kebutuhan setiap orang akan jadi lebih mudah. Bagaimana tidak, ChatGPT ini ibarat ChatBot yang menjadi mitra efektif bagi kelangsungan hidup manusia kini. Dimana pun dan kapan pun. Artinya tidak akan terbatas oleh ruang dan waktu. Misalnya, mahasiswa yang hendak menyusun outline skripsi, tesis, hingga disertasi sebagai tugas akhir di kampus. Ternyata, ChatGPT ini dapat dengan cepat menyusun outline tersebut dengan tepat. Kemudian lagi, para korporat yang hendak menyusun masterplan dalam lingkup bisnis, tentunya ChatGPT juga akan membuatkan kerangka pikirnya dengan lebih sederhana. Begitu pun dengan segala kebutuhan manusia, terutama dalam bidang bisnis dan industri.

Seakan kebutuhan manusia bisa dipenuhi secara mudah oleh teknologi AI terkini melalui ChatGPT yang memang itu hanya bagian dari buah kecerdasan manusia yang direalisasikan dalam bentuk robot atau sistem. Bahkan, peran manusia secara umum sebetulnya dapat tergantikan oleh robot tersebut, karena memang untuk mengantisipasi human error yang kerap terjadi dalam segala hal. Akan tetapi, dibalik kelebihan ChatGPT itu pun ada kekurangannya juga. Misalnya, ChatGPT berani jujur dalam arti ketika pengguna menanyakan atau meminta suatu hal, namun itu tidak diketahui dan didetetksi oleh ChatGPT ini. Maka, ChatGPT ini akan berkata “Maaf, AI tidak tahu silahkan coba telusuri sumber terkait untuk mencari soal Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an” misalnya. Demikian pula seterusnya.

Sesuai dengan yang ditulis oleh Max Tegmark sebagai seorang profesor dan peneliti AI asal Massachusetts Institute of Technology dengan judul “Five Ways AI Might Destroy The World” alias lima cara AI dapat menghancurkan dunia dipublikasikan oleh The Guardian. Disebutkan dalam artikel tersebut antara lain: lebih banyak kecerdasan yang mengarah pada suatu yang lebih baik, AI sebagai alat untuk menangani perubahan iklim, revolusi dalam aspek kesehatan, percepatan kemajuan teknologi AI secara radikal, dan AI bukan satu-satunya teknologi solutif bagi peradaban. Dari kelima hal yang disebut oleh Max Tersebut, sebetulnya ia ingin coba menampilkan sisi baik dan buruk dari keberadaaan AI itu sendiri bagi manusia dan kemanusiaan. Karena itu, dari banyaknya hal baik dan buruk tersebut, sebetulnya Max juga menawarkan solusi praktis atau konsensus dalam penggunaan teknologi AI tersebut, dengan diberlakukannya peraturan atau pedoman bagi penggunaan AI dalam segala hal kebutuhan. Max lebih senang menyebutnya sebagai hukum atau perjanjian internasional secara etik untuk mengatur hal tersebut, demi mengantisipasi penyalahgunaan daripada AI itu sendiri. Hal ini mengingat, AI menurut Max bukan sekadar kecerdasan buatan manusia, melainkan itu juga kecerdasan super buatan manusia yang dapat menjadi bumerang yang mencelakakan manusia itu sendiri, seperti pembuatan teknologi atom atau nuklir sebagai weapon for mass destruction alias senjata pembunuh masal.

Sebagaimana pemikiran yang tadi dipaparkan melalui artikel berjudul “Five Ways AI Might Destroy The World” oleh Max Tegmark, maka potensi ancaman dan peluang dari penggunaan AI ini bagi perdamaian dan keamanan internasional juga dibahas oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Di mana Inggris menjadi tuan rumah dari pertemuan para pakar AI internasional, termasuk potensi penyalahgunaan AI untuk senjata otonom atau alat pengendalian senjata nuklir. Pertemuan tersebut telah terlaksana pada Senin (3/7/2023) lalu, yang saat itu pula dikatakan oleh Duta Besar Inggris untuk PBB Barbara Woodward terkait dengan seruan pendekatan multilateral atau global untuk mengelola potensi ancaman dan peluang AI. Woodward pun menegaskan besarnya manfaat dari penggunaan AI tersebut seperti dukungan bagi program pembangunan PBB, operasi penjaga perdamaian, dan strategi pencegahan konflik. Bahkan, Woodward pun lebih serius menyatakan, AI juga dapat menjadi perantara atau fasilitasi bagi kesenjangan antara negara maju dengan negara berkembang. Namun, dibalik manfaat ada juga ancaman yang berpotensi lebih besar, sebagaimana Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menambahkan, AI dapat menjelma bagaikan monster yang tidak dapat dikendalikan dalam sejarah perkembangan umat manusia.

Kemudian tindaklanjut dari pertemuan antara para pakar AI internasional di Inggris tersebut, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres telah menyusun tindakan preventif yang mana ia akan menunjuk dewan penasihat AI untuk September bulan depan, termasuk ia pun setuju jika harus dibentuk badan otoritas baru pada struktural PBB untuk secara khusus mengurusi soal AI. Maka, PBB tentunya akan menjadi pusat seluruh jaringan dari kecanggihan AI ini seiring perkembangannya, karena memang pemerintah maupun organisasi internasional belum mampu berinvestasi bagi kelangsungan sumber daya manusia yang diproyeksikan mengurusi soal AI ini secara teknis maupun saintifik.

Dengan demikian, hasil daripada pertemuan tersebut yang difasilitasi oleh DK PBB pada Juli lalu untuk curah pemikiran dan diskusi perihal potensi ancaman dan peluang AI dari para pakar AI internasional, tercipta suatu kesepakatan atau konsensus yang menyatakan AI harus dibuatkan pedoman etik yang mengatur segala hal tentang penggunaannya, sehingga AI dapat menjadi teknologi efektif yang tidak disalahgunakan oleh oknum tertentu. Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, kemudian dikuatkan oleh CEO OpenAI yang memiliki aplikasi ChatGPT Sam Altman tentang intervensi pemerintah dan organisasi internasional yang sangat penting dalam mengantisipasi potensi ancaman dan peluang dari AI tersebut. Sam Altman pun setuju jika dibuatkan semacam pedoman etik atau standarisasi yang mengatur penggunaan sistem AI yang semakin kuat tersebut.

Beberapa negara di dunia internasional pun sudah mulai menyusun pedoman etik tersebut, tentunya menurut hemat penulis itu akan efektif jika DK PBB menjadi garda terdepan dalam mengawal penyusunan pedoman etik itu secara global. Hal ini mengingat AI dapat digunakan secara efektif dengan nilai manfaat yang besar, ketika negara-negara seperti Kanada, China, Perancis, Spanyol, California, Maryland, Singapura, hingga Indonesia lebih memilih untuk dapat menyusun dan membuat kebijakan pengembangan daripada AI baik secara kesehatan, teknologi digital, administrasi publik, solusi perubahan iklim, smart city, dan rencana pembangunan jangka panjang nasional. Selain itu, ada juga negara-negara yang lebih memilih untuk menggunaan sistem AI dalam kebijakan privasi dan keamanan, seperti halnya Latvia, Belgia, Alabama USA, dan Kanada. Semua kebihakan dari berbagain negara ini telah dirangkum dalam infografis hasil olahan AI index report 2022 dan laman resmi Uni Eropa. Maka, menurut hemat penulis akhirnya didapatkan kesimpulan yang praktis untuk penggunaan AI ini, tegasnya ditetapkannya pedoman etik AI yang kemudian dibentuk juga badan otoritas PBB dalam struktur DK PBB guna mengatur segala hal penggunaan dari AI tersebut. Karena, AI dapat menjadi peluang yang besar untuk kemajuan peradaban umat manusia, namun juga dapat menjadi ancaman yang lebih besar untuk memusnahkan peradaban umat manusia di alam semesta ini.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image