Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Tragedi Dago Elos Dan Momentum Penegakan UU PA 1960 Secara Radikal

Politik | Wednesday, 16 Aug 2023, 03:55 WIB

Satu lagi kejadian memilukan bangsa kembali terungkap : Data sementara, Tujuh orang yang terdiri dari warga, tim kuasa hukum (termasuk Ketua PBHI Jawa Barat) dan mahasiswi ditahan oleh polisi.

Konflik Agraria, Ya. Memang kembali terulang di Kota Metropolitan seperti Kota Bandung ini, sama halnya seperti Kasus Tamansari 2017 lalu. Konflik di Dago Elos bermula Konflik Warga VS Keluarga Mueller-PT Dago Inti Graha (DIG) tahun 2016 lalu. Secara sepihak dari Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller dan Pipin Sandepi Muller melayangkan gugatan ke pengadilan pada 28 November 2016. Mereka ini mengklaim memiliki hak atas 3 bidang lahan seluas 5.316 meter persegi, 13.460 meter persegi dan 44.780 meter persegi.

Hanya Bermodal Acte Van Prijgving Van Eigendom Vervondings bernomor 3740, 3741 dan 3742, ketiganya mengklaim sebagai pemilik sah lahan yang terletak di Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung itu. Mereka juga mengklaim sebagai ahli waris yang sah dari seorang berkebangsaan Belanda, George Hendrik Muller.

Dalam gugatannya, ketiga pihak itu juga meminta majelis mengesahkan pengoperan dan pemasrahan/penyerahan hak atas tanah itu kepada penggugat IV. Pihak penggugat IV itu dalam ini PT Dago Inti Graha, berdasarkan surat notaris tanggal 1 Agustus 2016.
Setelah bergulir di persidangan, Majelis Hakim PN Bandung kemudian memutus perkara gugatan itu pada 27 Oktober 2017. Dalam amar putusannya, majelis menyatakan mengabulkan gugatan Heri Hermawan Muller dengan menyatakan mereka sebagai pemilik sah lahan di sana.

Tidak puas dengan putusan PN Bandung, Masyarakat Dago Elos Tidak puas dengan putusan PN Bandung, warga yang diwakili Didi E Koswara kemudian melayangkan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Bandung pada 25 Oktober 2017. Namun sayang, upaya banding itu sia-sia karena keinginan warga tidak dikabulkan pengadilan majelis pada 3 April 2018.
Belum cukup sampai di sana, warga kembali mengajukan upaya hukum tingkat kasasi ke Mahkamah Agung. Upaya kasasi dilayangkan pada 9 April 2018. Hampir dua tahun berselang, tepatnya pada 9 September 2020, permohonan banding itu kemudian diputus MA. Lantas apa hasilnya? Ternyata, Majelis Hakim Mahkamah Agung memutus untuk menolak permohonan dari Heri Hermawan cs selaku orang yang mengklaim lahan di sana. MA kemudian memutus ratusan warga sebagai pemilik sah tanah tersebut.

Pihak Heri Hermawan Muller cs yang tidak terima kalah di tingkat kasasi dan mengklaim dirinya merasa dirugikan oleh Kasasi itu, kemudian mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK). Pada 29 Maret 2022, PK itu lalu diputus dan menyatakan Heri Hermawan Muller cS sebagai pemilik sah tanah berasarkan Acte Van Prijgving Van Eigendom Vervondings bernomor 3740 seluas 5.316 meter persegi, 3741 seluas 13.460 meter persegi dan 3742 seluas 44.780 meter persegi di Kelurahan Dago tersebut.

Atas landasan itu lah, Masyarakat Dago Elos Marah. Mereka kemudian pada Senin kemarin 14 Agustus 2023 berupaya menempuh jalur hukum lain dengan cara melaporkan Heri Hermawan Muller cs dengan dugaan penipuan dan pemalsuan dokumen. Meski akhirnya dikabarkan laporan ditolak oleh Polrestabes Bandung.

Tragedi Dago Elos Bandung adalah sekian dari begitu banyak kasus agraria di Indonesia yang mengorbankan para Masyarakat tertindas. Kejadian serupa juga terjadi di Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Sumatera Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Barat dan lain-lain.

Ini juga menjelaskan bahwa sistem kepemilikan tanah ala kolonial masih berlaku. Tanah yang dimiliki oleh rakyat, sudah ditempati selama puluhan tahun secara turun-temurun, bisa dirampas begitu saja oleh perusahaan swasta. Ironisnya, proses perampasan tanah rakyat Marhaen itu dilegitimasi oleh pemerintah.

Pada tahun 1960, Indonesia sebenarnya sudah punya konsep agrarian yang progressif dan berpihak kepada rakyat Marhaen. Salah satu prinsip dari UUPA ini adalah bahwa tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, apalagi penghisapan modal asing terhadap rakyat Indonesia. Karena itu, dalam ketentuan UUPA 1960, telah ditegaskan keharusan untuk menghapus semua ‘hak eigendom’, hukum agrarian buatan kolonial, ‘domeinverklaring’, dan bentuk-bentuk penghisapan lainnya.

UUPA 1960, yang merupakan turunan pasal 33 UUD 1945, menjamin kepemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia, khususnya kaum tani. Jika UUPA 1960 dilaksanakan, maka kejadian-kejadian seperti Mesuji tidak boleh terjadi. Indonesia juga tidak perlu mengadopsi hukum agraria kolonial seperti sekarang. Akan tetapi, sejak diberlakukan hingga sekarang, UUPA 1960 tidak pernah dijalankan oleh pemerintah. Di masa orde baru, UUPA 1960 dihujat sebagai sistem agrarian yang berbau komunis. Lalu, oleh rezim orde baru sendiri, dibuatlah UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan. UU itu membuka kembali pintu kolonialisme dalam tata-kelola agraria di Indonesia.

Lalu, pada masa reformasi Mei 1998, UUPA 1960 makin jauh dari implementasi. Sekarang ini, sistematika perundang-undangan di Indonesia tidak lagi mengenal UU pokok. Semua UU dianggap sejajar. Dengan begitu, banyak sekali UU di bidang agraria (termasuk kehutanan) yang bertolak belakang dengan semangat UUPA.

Jika kita berbicara sebagai negara hukum, maka jelas pemerintahan sejak Soeharto hingga sekarang adalah inkonstitusional. Mereka telah membuat UU dan seperangkat kebijakan yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Mereka juga telah mengkhianati cita-cita proklamasi 1945.

Karena itu, juga bercermin dari tragedi Dago Elos Bandung, kita menganggap sudah saatnya menegakkan UUPA 1960 secara Radikal dan Progresif-Revolusioner. Semua konflik agraria di Indonesia harus diselesaikan dalam kerangka UUPA 1960. Perspektif pembangunan ekonomi nasional dibidang pertanian Indonesia juga harus mengacu pada UUPA 1960.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image