Pendidikan Nasional, Nation, and Character Building
Politik | 2023-08-09 05:56:11Sekolah mestilah mencerdaskan dan mencerahkan anak didik. Dulu-dulu kita sangat menyakini hal itu. Tetapi beberapa kejadian akhir-akhir ini seperti merontokkan keyakinan itu. Kasus Pungutan Liar Yang Masih Terjadi di Sekolah dan Sarana dan Prasarana yang belum merata, yang menyebabkan beberapa sekolah di Indonesia hanya kebagian sedikit siswa baru.
Kedua kejadian itu menegaskan satu hal: orang-orang yang berkecimpung dalam dunia terdidik tak lagi bisa berpikir secara logis dan ilmiah. Mereka telah mendahulukan uang untuk mengatasi persoalan-persoalan sosial dan Negara juga membiarkan Sekolah Sekolah yang bisa dibilang masih bermutu tidak menolong dalam hal sarana dan prasarananya.
Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa salah satu tujuan kita bernegara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Lalu, dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang pendidikan nasional disebutkan pula, bahwa “pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
Di zaman Bung Karno, pendidikan malah menjadi alat penting dalam proyek “nation and character building”. Sukarno pun kemudian merumuskan fungsi pendidikan nasional sebagai alat revolusi untuk mencapai lima hal: Manusia Indonesia Baru yang berjiwa Pancasila-Manipol/Usdek (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Indonesia) dan sanggup berjuang untuk mencapai cita-cita tersebut, manpower yang cukup untuk melaksanakan pembangunan, kepribadian Kebudayaan Nasional yang luhur, ilmu dan teknologi yang tinggi, dan pergerakan massa aksinya seluruh kekuatan rakyat dalam pembangunan dan Revolusi.
Sudah sejak zaman pergerakan nasional, pendidikan dan sekolah menjadi alat perjuangan. Disanalah kaum pergerakan menyemai semangat nasionalisme dan anti-kolonialisme, membangkitkan kepercayaan diri rakyat terperintah, dan melahirkan kader-kader handal untuk perjuangan.
Pendek kata, para penganjur pendidikan di jaman pergerakan menginginkan agar pendidikan menjadi sarana—meminjam istilah Multatuli—memanusiakan manusia. Semangat ini melengket terus pada pemikiran para pemimpin bangsa di republik pertama.
Tetapi, jika kita melihat sistem pendidikan nasional sekarang, semangat itu sudah tidak ada sama sekali. Pemerintah telah menyerahkan pendidikan kepada pasar dan pemerintah hanya berperan minimal. Akibatnya, pemerintah bukan saja kehilangan kontrol tentang bagaimana pendidikan bisa diakses seluruh rakyat Marhaen, tetapi bahkan pemerintah tidak bisa lagi memastikan pendidikan itu punya muatan nilai-nilai.
Pendidikan nasional kita masih dibanjiri oleh teori-teori impor dari barat. Karena diserahkan kepada mekanisme pasar, maka logika penyelenggaraan pendidikan kita juga bertumpu kepada profit. Sedangkan kurikulum pendidikan dirancang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Lebih miris lagi, atas nama dunia yang ter-globalisasi, bahasa Indonesia secara perlahan-lahan mulai terusir dari sekolah-sekolah kita. Menguasai banyak bahasa asing memang bagus, tetapi jika tak mengusai bahasa bangsa sendiri—bahasa tempat kaki kita berpijak—maka itu sama saja membiarkan bangsa kita mati. Kondisi bahasa daerah kian lebih parah lagi. Ia dianggap tak lagi penting untuk diajarkan di sekolah-sekolah.
Pendidikan di zaman neoliberalisme bisa saja menghasilkan banyak sarjana, doktor, dan professor, tetapi diantara mereka sangat sedikit yang punya dedikasi terhadap kemanusiaan dan bangsanya. Oleh karena itu, pembangunan mental sebagai salah satu aspek dalam pendidikan tidak bisa ditinggalkan. Orang bisa saja mengusai teknologi canggih, tetapi jika ilmunya tidak diabdikan kepada rakyat Marhaen dan bangsa, maka itu sama saja dengan kesia-siaan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.