Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sarah Qodriyani

4 Bulan Berbincang dengan ChatGPT: Sebuah Pengalaman

Teknologi | Monday, 07 Aug 2023, 17:04 WIB

Saat pertama kali menggunakan ChatGPT, sebuah chatbot AI, saya terkejut dengan kemampuannya! Dia bisa diajak diskusi tentang macam-macam, termasuk tentang ide konten untuk media sosial. Saran-saran yang dia berikan juga cukup bagus dan mudah dicoba. Bahkan ChatGPT menanggapi kalimat saya dengan begitu cepat! Rasanya jadi sangat menghemat waktu dibandingkan mencari informasi menggunakan search engine.

Selama empat bulan, saya rutin “ngobrol” dengan chatbot AI ini, untuk membantu pekerjaan profesional saya sebagai penulis konten media sosial, hingga menemani saya berpikir tentang kehidupan sehari-hari. Setelah empat bulan bersamanya, saya menemukan beberapa hal tentang AI dan manusia, serta kenyataan tentang siapa yang sebenarnya menjadi ancaman bagi kita.

•••

Sumber gambar: Rawpixel di Freepik (lisensi gratis)

Bagian Pertama: Tentang AI dan Manusia

1. Bicara dengan AI perlu kesabaran ekstra, dibanding bicara dengan manusia.

Pada manusia dewasa, saya hanya perlu menjelaskan sesuatu sebanyak dua atau tiga kali, hingga orang tersebut bisa memahami maksud saya. Namun dengan AI, saya sering harus mengulang berkali-kali hingga dia paham. Saya harus mengubah-ubah prompt yang saya berikan, hingga ia memberi jawaban yang sesuai harapan. Selain itu, tidak seperti manusia yang paham konteks, AI sering kesulitan memahaminya. Terutama saat saya menyebutkan kata yang ambigu atau membahas topik yang multitafsir.

2. AI tidak update informasi baru, apalagi jika dibandingkan dengan GenZ.

Setiap hari, setiap saat, manusia bisa mencari informasi baru dari berbagai sumber seperti search engine, media sosial, hingga jurnal penelitian. Namun AI tidak memiliki kemampuan tersebut. Kemampuan untuk mengakses informasi secara real-time. Pada ChatGPT, informasi terakhir yang dia pelajari adalah informasi dari bulan September tahun 2021. Dia tidak bisa memberikan informasi yang baru beredar di internet setelah itu. Kalaupun bisa, informasi yang diberikan tidak update atau bahkan salah.

3. Sepandai-pandai AI berpikir, akhirnya “buntu” juga.

Saat mencari ide kreatif, manusia bisa diajak berpikir lebih keras. Kita memiliki kemampuan untuk mengembangkan ide pertama yang kita punya, menjadi ide-ide lain yang lebih menarik lagi. Sementara AI, sering tidak bisa dipaksa untuk menjadi lebih kreatif seperti itu. Meski saya mengubah prompt berkali-kali, ada saatnya AI terlihat “buntu”. Jawaban yang diberikan tetap sama dan diulang, seakan dia tidak bisa berpikir lebih kreatif dari itu. Hal ini terutamanya sangat terlihat, setiap saya meminta AI membantu memberi rekomendasi judul untuk tulisan yang sudah saya buat.

4. Meski canggih, AI tidak bisa mandiri.

AI sering kesulitan menjawab pertanyaan yang spesifik dan mendalam. Biasanya, dia menyatakan tidak memahami maksud prompt saya, menjawab dengan informasi yang salah, atau bahkan memberi tanggapan yang tidak nyambung sama sekali. Untuk mendapatkan respon yang lebih bagus, saya harus “menyuapi” AI dengan informasi atau konteks pengantar terlebih dahulu.

5. AI tidak bisa menjadi manusia.

Satu hal yang paling membedakan AI dengan manusia, adalah emosi. Meski AI bisa saya minta untuk menulis dengan tone tertentu, hasilnya tetap terasa kaku. AI memang bisa menulis, tapi tidak ada rasa di dalamnya. AI bisa menerjemahkan kalimat ke bahasa lain, tapi tidak bisa menyesuaikan pilihan kata. AI bisa memberikan informasi, tapi tidak bisa bercerita, sebagaimana manusia dengan kisah dan pengalaman pribadinya.

•••

Sumber gambar: Freepik (lisensi gratis)

Bagian Kedua: Ancaman untuk Kita

AI sering disebut sebagai ancaman bagi manusia di dunia kerja dan profesional. Namun dari pengalaman empat bulan berbincang dengannya, bagi saya, AI bukan ancaman untuk para penulis. AI hanya seorang asisten yang pintar.

Kalau begitu, apakah manusia aman dari ancaman akan keberadaan AI? Tidak juga. Manusia masih punya ancaman lain terkait keberadaan AI, dan ancaman tersebut justru merupakan manusia itu sendiri.

1. Manusia yang menggunakan AI.

Jika melihat industri kerja sebagai sebuah persaingan, orang lain yang menggunakan AI adalah ancaman, bagi kita yang tidak mau menggunakan AI sama sekali. Tanpa AI, kita sangat mungkin terkalahkan dalam kecepatan dan efisiensi, terutama untuk pekerjaan repetitif dan non-kreatif. Seperti pekerjaan memperbaiki ejaan penulisan, menyusun kesimpulan, dan menulis konten dengan topik yang umum.

2. Diri kita sendiri.

Teknologi AI bisa membuat kita terlengah. Alih-alih membantu pekerjaan kita, keberadaan AI justru bisa menghilangkan rasa ingin belajar, menurunkan skill yang sudah kita miliki, dan menghilangkan kemampuan kita untuk berpikir kreatif. Kepraktisan AI juga bisa membuat kita berhenti berpikir secara kritis, melupakan proses-proses krusial seperti memeriksa kebenaran fakta dan menulis dengan empati.

•••

Bagaimana perasaan Anda tentang AI?

Setelah membaca tulisan ini, apa pendapat Anda tentang AI?

Apakah masih merasa takut dengannya, yang ternyata tidak sempurna?

Atau masih tidak menganggapnya, yang ternyata merupakan bagian dari ancaman untuk manusia?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image