Pemikiran Kalam Ulama Nusantara
Sejarah | 2021-12-29 14:43:331. Tokoh kalam nusantara Harun Nasution dan Abdurrahman wahida. Harun NasutionHarun Nasution lahir pada tanggal 23 September 1919 di Pematang Siantar Sumatra Utara. Harun Nasution dilahirkan dari keluarga ulama, ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad, seorang ulama sekaligus pedagang yang cukup sukses. Ia mempunyai kedudukan dalam masyarakat maupun pemerintahan.
Pemerintah Hindia Belanda lalu mengangkatnya sebagai Kepala Agama merangkap Hakim Agama dan Imam Masjid di Kabupaten Simalungun. Sedangkan ibunya adalah anak seorang ulama asal Mandailing yang semarga dengan Abdul Jabbar Ahmad. Harun Nasution menyelesaikan sekolah dasar di Hollandsche Indlansche School (HIS) selama tujuh tahun. Selain itu, ia juga belajar mengaji di rumah. Harun Nasution lulus HIS di tahun 1934 sebagai salah satu murid terbaik yang dipilih kepala sekolahnya untuk langsung melanjutkan ke MULO tanpa melalui kelas nol dan lulus di tahun 1937. Setelah menyelesaikan pendidikan tingkat dasar, Hollandge Islandsche Scchool (HIS), ia melanjutkan studi ke tingkat menengah yang bersemangat modernis, Moderne Islamictische Kweekshool (MIK).
Di negeri sungai Nil inilah, Harun Nasution pada mulanya mendalami Islam di Fakultas Usuluddin Universitas Al-Azhari. Akan tetapi, Harun merasa tidak puas dan kemudian pindah ke Universitas Amerika (Kairo). Di sana ia mengambil ilmu-ilmu sosial. Selama beberapa tahun beliau sempat bekerja di perusahaan swasta dan kemudian di konsultan Indonesia di Kairo. Setelah tamat dari universitas tersebut dengan ijazah BA diraihnya. Dari konsultan itulah, putra Batak yang mempersunting seorang putri dari Mesir ini melalui karier diplomatiknya. Dari Mesir ia ditarik ke Jakarta sebagai sekretaris pada kedutaan Indonesia di Brussel.
Situasi politik dalam negeri Indonesia pada tahun 1960-an membuatnya mengundurkan diri dari karier diplomatik dan berangkat kembali ke Mesir. Di Mesir, ia kembali menyelami dunia ilmu di sebuah sekolah tinggi studi Islam. Pada waktu itu, Harun Nasution berada di bawah bimbingan salah seorang ulama fikih Mesir yang terkemuka, yakni Abu Zahra.
b. Abdurrahman Wahid
Gus Dur, atau nama kecilnya Abdurrahman ad-Dakhil, lahir di Jombang pada 4 Sya'ban atau 7 September 1940 di Denanyar dekat kota Jombang, Jawa Timur, di rumah pesantren milik kakeknya dari pihak ibunya, K.H. Bisri Syansuri. Dari garis ayah, ia adalah cucu Hadratusy Syekh K.H. Hasyim Asy'ari, sedangkan dari garis ibu, ia adalah cucu K.H. Bisri Syansuri. Dengan demikian, nasabnya baik dari garis bapak maupun ibu adalah keturunan para ulama besar dan sekaligus pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Sejak kecil Gus Dur dididik dan dibesarkan dalam tradisi pesantren yang kental di bawah naungan keluarga ulama. Menurut pengakuan ibunya, sejak usia 5 tahun ia sudah lancar membaca. Pada tahun 1955, ia melanjutkan sekolah ke SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) di Gowangan, Yogyakarta.
Untuk menambah pengetahuan agama, ia belajar 3 kali dalam seminggu di Pesantren Krapyak yang letaknya sedikit di luar kota Yogyakarta. Di sini ia belajar bahasa Arab kepada K.H. Ali Maksum, seorang kiai yang dikenal egaliter. Di pesantren ini kegemaran Gus Dur terhadap buku semakin meningkat. Karena kemampuan pemahaman bahasa Inggris yang dimiliki cukup baik, maka ketika usia 15 tahun ia sudah banyak bersentuhan dengan pemikiran sosialisme Karl Marx, filsafat Plato, Talles, novel-novel William Bochner, dan buku-buku lain yang dipinjam dari perpustakaan dan guru-guru yang ada di SMEP Yogyakarta.
Setelah tamat dari SMEP pada pertengahan tahun 1957 ia melanjutkan belajar di Pesantren Tegalrejo Magelang di bawah asuhan K.H. Khudhori yang merupakan tokoh NU di daerahnya. Di Tegalrejo ini pula Gus Dur banyak menghabiskan waktunya untuk membaca buku-buku Barat. Pada tahun 1959, Gus Dur pulang ke kampung halaman, Jombang, untuk belajar secara lebih serius di Pesantren Tambak Beras di bawah bimbingan K.H. Wahab Hasbullah. Selama belajar di pesantren ini, ia dipercaya untuk ikut mengajar dan menjadi kepala sekolahnya.
Selama nyantri di Tambak Beras ia juga masih rajin bersilaturahmi ke Krapyak, ke kediaman K.H. Ali Ma'sum. Pada masa inilah, antara akhir tahun 1950-an hingga 1963, Gus Dur mendalami studi tentang Islam dan sastra klasik. Ia dikenal sebagai santri cemerlang. Studi ini tergantung dengan daya ingatan yang memang telah dimiliki oleh Gus Dur, walaupun ia juga dikenal sebagai sosok yang malas dan kurang disiplin dalam studi formalnya. Pada tahun 1960, Gus Dur mendapat kesempatan belajar ke Universitas al-Azhar Mesir melalui beasiswa dari Departemen Agama. Ketika itu usia Gus Dur 23 tahun.
2. Pemikiran Teologi Harun Nasution dan Abdurrahman Wahida. Pemikiran Teologi Harun Nasution
Pemikiran Islam tentang Teologi dan Filsafat, mengulas berbagai aliran pemikiran yang muncul di kalangan umat Islam. Namun, tema pokok perbincangannya bertumpu pada persoalan-persoalan teologi dan filsafat.
Pemikiran Filsafat Islam Harun Nasution,
membahas filsafat dalam pemikiran Harun Nasution, dengan meletakkan objek formalnya pada gagasan Islam rasional. Di dalam buku ini terdapat pembahasan mengenai biografi Harun Nasution, yang dapat membantu penulis untuk memaparkan latar belakang kehidupannya. Selain biografi, buku tersebut juga menyinggung persoalan tentang teologi dan filsafat Harun Nasution Islam. Walaupun buku tersebut tidak membahas persoalan pemikiran Harun Nasution, akan tetapi dalam pembahasan sangat membantu penulis untuk memahami dan meneliti kajian tersebut.
b. Pemikiran Teologi Abdurrahman WahidPribumisasi Ajaran Islam
Diantara pemikiran inklusif Gus Dur yang menonjol adalah tentang pribumisasi ajaran Islam. Ide tentang perlunya pribumisasi ajaran Islam ini pernah memicu polemik di kalangan santri dan ilmuwan di Indonesia yang konon semakin melambungkan namanya di kalangan para cendekiawan di tanah air.
Putri Qurrotul Uyuni, Pendidikan Agama Islam, IAIN Pekalongan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.