Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Andi Putri

OIC-CA Antara Isu Keagamaan dan Kepentingan Kapitalis

Eduaksi | Sunday, 06 Aug 2023, 10:27 WIB

Tahun ini Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan Internasional Organization Islamic Cooperation Culture Activity (OIC-CA) 2023 yang dilaksanakan pada 7-14 Juli 2023 lalu. Dua provinsi secara khusus ditunjuk sebagai lokasi penyelenggarannya, yaitu DKI Jakarta dan Kalimantan Timur. Dalam event ini melibatkan sebanyak 56 delegasi negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) diinisiasi dan fasilitasi langsung oleh Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia (Kemenpora RI) mengambil tema "Merangkul Kebhinekaan dan Memajukan Harmoni untuk Masyarakat Masa Depan yang Lebih Cerah" dengan melibatkan seluruh Kementerian/Lembaga serta pemerintah daerah terkait.

Diharapkan dalam kegiatan ini, bisa menjadi kesempatan besar bagi Indonesia untuk memamerkan aset budaya dan alam provinsi penyelenggara dan mempromosikan kerja sama budaya yang lebih besar di antara Negara Anggota OKI.Tentunya dari terselenggarakannya OIC-CA bisa memberikan kontribusi pembangunan dan kerja sama yang lebih besar lagi antara orang-orang dari budaya dan latar belakang yang berbeda.

OIC-CA Membawa Isu Keagamaan

OIC-CA merupakan event internasional yang ditenggarai oleh OKI. OKI sendiri mempunyai 57 negara anggota. Beberapa bukan merupakan negara berpenduduk mayoritas Muslim. Namun tidak hanya itu 57 negara yang bergabung didalamnya juga memiliki anggota yang memiliki seorang perwakilan tetap di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Uni Eropa.

Keberadaan event yang diselenggarakan tidak lepas dari peran dan pengaruh idelogi kapitalisme. Lihat saja dalam penyelenggaraan OIC-CA isu moderasi sangat kental didalamnya. Director of Cultural Affairs Department OIC-CA Alhoucine Rhazoui sampai mengatakan, bahwa toleransi yang luar biasa telah terjadi di Indonesia. Menurutnya Di Indonesia bisa menyaksikan beberapa agama berbeda, moderasi, berjalan beriringan.

Bahkan mengapresiasi Mesjid Istiklal dan Katedral besar bisa dibangun berdampingan dan menjadi symbol moderasi yang juga disorot didalamnya.

Kepentingan Kapitalis Berbalut Agama

OIC-CA hadirnya tidak lepas dari isu agama, sebagaimana dalam salah satu eventnya simulasi diplomatic dengan tema “Embracing Diversity and Advancing Harmony for the Brighter Future Society” yang didalamnya dibahas tentang prinsip-prinsip keragaman, inklusivitas, dan saling menghormati, menegaskan kembali komitmen untuk mempromosikan perdamaian, toleransi, dan kohesi sosial di dunia yang semakin terbagi oleh konflik dan ketegangan yang timbul dari perbedaan agama dan budaya.

Bahkan Menurut menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia (Menpora RI) Dito Ariotedjo bahwa dalam penyelenggaraanya, kegiatan tersebut akan menampilkan keragaman budaya yang menjadi ciri negara Muslim terbesar di dunia.

Semua ini dinilai menjadi kesempatan besar untuk “promosi” besar-besaran, bukan dalam rangka syiar islam. Melainkan adanya keuntungan besar yang akan diraih. Kapitalisme dengan asas materialisnya, selalu sigap memanfaatkan apapun yang bisa menjadi peluang mendapatkan cuan.

Potensi Indonesia yang merupakan Negara dengan muslim terbesar, manjadi kesempatan emas untuk berjual beli dengan lebel agama. Belum lagi keberagaman budayanya, menjadi sorotan barat dan investor. Sektor pariwisata salah satunya, sudah dipandang menjadi sektor andalan dalam pemulihan ekonomi Indonesia. Sehingga menjadi alasan menstimulus ekonomi, gelontoran dana APBN makin deras pada sektor ini. Berbagai upaya pun dilakukan agar pariwisata kembali hidup menopang pertumbuhan ekonomi, pasca dihantam pandemi.

Terlebih lagi Indonesia menduduki peringkat kedua menurut The Global Muslim Travel Index (GMTI) 2022 sebagai negara dengan destinasi wisata halal terbaik dunia, hal ini menjadi dukungan bahwa benar Indonesia memiliki potensi besar dalam daya saing wisata halal Indonesia di dunia.

Sayangnya, tujuan utama menyelenggarakan OIC-CA dengan mempromosikan keberagaman budaya dan agama terlebih menonjolkan budaya agama islam bukan untuk taat pada Allah Taala. Namun karena adanya potensi besar meraih keuntungan. Ini karena pangsa pasar sekarang sedang naik daun apalagi terkait wisata religi/industri halal, dll. Mengapa bisa demikian? Seperti biasa, pandangan ala kapitalisme membuat semua orang harus mengejar materi. Segala sesuatu wajib menghasilkan harta (kenikmatan duniawi).

Para pemegang kekuasaan tidak mengambil semua seruan Islam. Mereka hanya mengambil syariat Islam yang menurut mereka menguntungkan, seperti ekonomi syariah atau industri halal dengan pertimbangan keduanya memberi prospek bagi keuangan negara.

Islam Menjaga Akidah dan Harta

Sungguh, penerapan aturan demokrasi saat ini berhasil memisahkan kaum muslim dari agamanya. Mereka tidak lagi menganggap agama sebagai penuntun kehidupan, tetapi sebatas ibadah ritual semata. Semua itu karena kapitalis sekuler mengambil aturan konstitusi dan menafikan aturan Ilahi serta menjadikan “agama” sebagai komuditas untuk menghasilkan laba.

Oleh karena itu, atas nama kebebasan, Islam hanya diambil sebagian saja, yaitu yang dianggap menguntungkan sesuai akal manusia, seperti menaikkan pariwisata religis, industry halal, dll. Sedangkan aturan Islam lainnya dipinggirkan.

Berbeda dengan Islam. Islam akan memberikan segala fasilitas agar umat bisa taat sepenuhnya pada Allah Taala. Selain itu, umat islam didunia akan disatuskan dalam insitusi yang satu dengan tujuan besar untuk mensyiarkan dakwah islam ke seluruh penjuru dunia. Serta industri-industri akan dibangun akan disesuaikan dengan kebutuhan umat, sekaligus akan bersandar pada syariat. Semua itu karena panggilan taat karena ketaatan kepada syariat akan membawa berkah dunia dan akhirat.

Wallahuu’alam bi showab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image