Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Republik Setelah 78 Tahun

Politik | Sunday, 06 Aug 2023, 09:58 WIB

Melihat bendera-bendera Republik Indonesia : Merah Putih, berkibar di jalan-jalan menjelang perayaannya yang ke-78 dan bagaimana rakyat Marhaen berbenah menyambutnya, bisa disimpulkan bahwa semangat menjadi warga negara Republik ini masih ada dan cinta terhadap Negara Republik yang diproklamasikan 78 tahun yang lalu itu dalam arti lain berjiwa patriot itu memang masih nyata ada. Apa yang menyebabkan jiwa patriot itu masih bersemayam di sanubari rakyat Marhaen sampai detik ini sementara banyak disampaikan bahwa kehidupan rakyat Marhaen masih dipinggirkan dan tak menjadi perhatian serius pemerintahan demi pemerintahan yang berganti? Apakah dengan begitu bisa juga disimpulkan: meski kesengsaraan rakyat itu masih nyata menghantui, rakyat Marhaen tak punya pilihan untuk menempuh hidup alternatif dan tak punya keberanian untuk mengubah rel kehidupan untuk masa depan yang lebih baik?

Melihat perjalanan berbangsa dan bernegara kita, kesimpulan bahwa rakyat Marhaen tak punya alternatif dan tak punya keberanian untuk menempuh jalan alternatif adalah salah besar. Pergolakan dan perubahan yang terjadi di Mei 1998 adalah bukti bagaimana rakyat terlibat dan melihat ada alternatif selain jalan yang ditawarkan Orde Baru. Pertama dan yang jelas, pelajaran dari berlangsungnya kekuasaan Orde Baru adalah bahwa demokrasi dikedepankan dan kekerasan negara terhadap rakyat Marhaen ditolak.

Dibalik tuntutan demokrasi dan penolakan terhadap kekerasan negara adalah keinginan untuk hidup sejahtera karena terbukti kekuasaan Orde Baru yang lama pun tak sanggup meningkatkan kesejahteraan rakyat Marhaen lahir-batin.

Melihat hingar-bingar politik pasca Orde Baru (dari 1998 hingga 2023 sekarang) : pemerintahan yang begitu cepat berganti; seakan tak ada fokus program perubahan untuk kemajuan rakyat Marhaen tapi melulu perebutan kekuasaan berikut perilaku buruk yang mengikutinya seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang malah menjadi-jadi, apakah rakyat Marhaen tak punya alternatif? Tentu masih. Sebagaimana sudah banyak disampaikan, demokrasi yang diperjuangkan sebagai hasil dari penolakan gaya pemerintahan Orde Baru itupun kembali dipertanyakan: demokrasi sekarang untuk apa? Tentu tak sekadar demokrasi formal atau demokrasi prosedural tapi demokrasi substansial yaitu mengadilkanmakmurkan rakyat Marhaen.

Akhirnya sampailah pada pertanyaan alternatif: demokrasi (substansial) macam apa yang sanggup mengadilmakmurkan rakyat Marhaen? Beberapa diskusi saat ini sudah menyimpulkan bahwa demokrasi pasca Orde Baru yang lebih tepat ditandai sebagai gaya demokrasi neoliberal mulai menuai kritik dan dinyatakan gagal membawa rakyat adil-makmur. Rakyat justru semakin terperosok ke lembah kesengsaraan karena demokrasi yang dijalankan justru tidak melindungi kepentingan rakyat Marhaen sendiri.

Politik ekonomi yang dijalankan justru semakin mematikan daya kreatif ekonomi rakyat dan tidak menumbuh-kembang-kuatkan ekonomi rakyat Marhaen. Di pihak lain, produk-produk asing yang seharusnya bisa diproduksi sendiri asal negara dan pemerintah Republik mau bekerja keras untuk itu justru semakin menguasai pasar nasional seperti garam, beras, singkong, jagung, gula, dan sebagainya...

Di tengah kegalauan ini, kembalilah kita pada cita-cita dan tujuan Republik ini didirikan. Secara singkat, kegalauan ini dihibur dengan Empat Pilar Kebangsaan yang kini banyak didengungkan: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI. Dengan cara ini seakan Pemerintahan Jokowi-Amin yang begitu terbuka dengan politik ekonomi neoliberal, dibatasi, dikontrol dan diingatkan untuk kembali atau tetap ingat pada jalan Republik 78 tahun yang lalu.

Jalan Republik itu jelas dan tak bisa ditawar-tawar lagi adalah menolak dan mengikis habis ekonomi neokolonial yang terbukti tidak mengadil-makmurkan rakyat Marhaen selama ratusan tahun berkuasa. Proklamasi kemerdekaan dan terbentuknya Negara Republik Indonesia 78 tahun yang lalu adalah bukti tak ada kompromi antara penjajah dan yang dijajah. Tak terjadinya kompromi antara penjajah dan yang dijajah sebagaimana penjajah Inggris, Belanda, Amerika Serikat, Israel dan sebagianya dengan negeri-negeri jajahannya memperlihatkan bagaimana benturan itu terlalu kuat dan tak pernah menemukan jalan bersama sehingga tekad untuk mendirikan Negara (Republik) sendiri yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur begitu kuat. Tekad itu tentu dilandasi para pejuang yang patriotik dan ratusan tahun penderitaan rakyat Indonesia selama di bawah kolonialisme. Itulah mengapa di tengah nasib (rakyat) Republik hari ini yang masih tidak menentu, rakyat yang masih menderita itu tetap mengibarkan Bendera Merah Putih: bendera kemenangan atas kolonialisme yang telah bercokol ratusan tahun dan juga bendera yang di antara kepak-kepak kibarannya, dikepakkan pula cita-cita untuk terwujudnya keadilan dan kemakmuran setelah politik ekonomi kolonial ditumbangkan.

Kembalilah Pada Sosio-Demokrasi!

Kembalilah Pada Sosio-Nasionalisme!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image