Kelaparan Melanda Papua, Ironi Negeri yang Kaya
Agama | 2023-08-06 06:31:54Kabar menyesakkan dada lagi-lagi datang dari tanah yang mendapatkan julukan surga kecil di Timur Indonesia, yaitu Papua. Bagaimana tidak, kasus bencana kelaparan yang hingga mengakibatkan kematian lagi-lagi terjadi di daerah yang kaya ini.
Sebanyak enam orang warga meninggal dunia yang diduga diakibatkan oleh bencana kekeringan yang melanda Distrik Lambewi dan Distrik Agandugume, Kabupaten Puncak, Papua Tengah. Dari enam orang tersebut, satu di antaranya adalah seorang bayi masih berusia 6 bulan. Para korban meninggal usai mengalami gejala lemas, diare, panas dalam, dan sakit kepala. Sementara itu, menurut data Kementerian Sosial, sejumlah 7.500 jiwa yang terdampak kekeringan selama dua bulan terakhir ini yang berimbas pada kelaparan (kompas.com, 30-07-2023).
Bencana kelaparan ini telah berulang kali menimpa Papua, terutama di dataran tinggi. Berdasarkan catatan Kompas.id, 6-08-2023, pada Agustus 1982 ribuan orang menderita kelaparan dan 18 di antaranya meninggal di Desa Kuyuwage I dan Kuyawage II yang pada saat itu masuk wilayah Kabupaten Jayawijaya. Total korban jiwa akibat kelaparan di Jayawijaya pada saat itu dilaporkan mencapai 112 orang, 367 orang mendapatkan perawatan dan 3.000 orang lainnya kekurangan gizi. Kasus serupa pun berlanjut di tahun-tahun berikutnya tanpa ada solusi hakiki yang menyentuh pada akarnya.
Ironi Tanah Emas
Fakta di atas tentu membuat kita bertanya. Bagaimana mungkin daerah kaya dengan tambang emasnya yang begitu besar, namun faktanya banyak rakyatnya justru mengalami kelaparan hingga mengantarkan pada kematian. Sudah semestinya peristiwa yang berulang ini menjadi momen untuk introspeksi dan evaluasi bagi pemerintah.
Cuaca ekstrem justru dijadikan kambing hitam atas kelaparan yang melanda Papua. Meski cuaca ini juga menjadi salah satu faktor terjadinya kelaparan, terapi sejatinya krisis ini tidak baru sekali ini terjadi. Ditambah lagi kesulitan yang dialami ketika menyalurkan bantuan akibat daerah yang terjadi kekeringan hanya bisa di jangkau dengan pesawat dan jalan kaki. Ditambah penyalur bantuan kesulitan karena mendapat ancaman dari Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Keberadaan PT Freeport, sebuah perusahaan tambang emas yang sudah hampir setengah abad berada di bumi Papua, nyatanya tidak memberi dampak pada kesejahteraan masyarakat Papua seluruhnya. Bahkan, Freeport seolah memelihara konflik yang terjadi di sana agar dengan leluasa mengeruk SDA tanpa ada perlawanan yang berarti dari penduduk setempat. Selain itu, kemiskinan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya masih menjadi krisis di bumi yang kaya ini.
Menurut data kementrian ESDM, Papua memiliki tambang emas terbesar di Indonesia dengan luas mencapai 229.893,75 ha. Tambang emas tersebut tersebar di enam kabupaten, yaitu Nabire, Pegunungan Bintang, Keerom, Dogiyai, Mimika dan Paniai. Belum lagi perak, minyak, gas bumi, juga tembaga.
Namun, sayangnya kekayaan SDA tersebut sudah menjadi incaran asing. Seandainya saja pemerintah berdiri di atas kakinya sendiri untuk mengelolanya, permainan oligarki tidak akan terjadi. Tapi, faktanya penduduk Papua bagaikan tikus mati di lumbung padi.
Buah Kapitalisme
Fakta yang ada, juga telah menggambarkan bagaimana kegagalan sistem Kapitalisme mengatur ketahanan pangan. Sistem ini hanya berorientasi pada capaian materi tanpa memastikan setiap individu mendapatkan kesejahteraan. Penguasa hanya mencukupkan pada angka produksi pangan tanpa memperhatikan pendistribusiannya.
Bahkan mirisnya kasus semacam ini hanya akan mendapat perhatian ketika sudah muncul ke permukaan dan menjadi perhatian publik. Ironi memang, Papua daerah yang kaya dengan tambah emasnya, namun infrastruktur disana sangat tidak memadai. Minimnya infrastruktur juga memperparah krisis pangan yang terjadi. Tentu saja, hal ini diakibatkan oleh sistem Kapitalisme yang memperbolehkan SDA dikuasai oleh asing. Alhasil, pembanguan menjadi tidak merata. Inilah bukti keserakahan kaum Kapitalis di daerah yang kaya SDA.
Sudah saatnya sistem Kapitalisme ini dikubur dalam-dalam dan diganti dengan sistem Islam yang mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Kendala sulitnya bantuan juga faktor cuaca yang terjadi menandakan absennya penguasa dalam berupaya untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya sampai pada tataran seluruh individu ( per kepala). Antisipasi cuaca ekstrem yang sudah bisa diprediksi dengan adanya ahli dan sejumlah teknologi juga semestinya bisa dilakukan. Karena masalah Papua merupakan masalah yang cukup kompleks, sudah semestinya tidak dicukupkan dengan hanya penyaluran bantuan makanan.
Cara Pandang Islam
Cara pandang Kapitalisme tentu berbanding terbalik dengan Islam. Dalam Islam ketika terjadi bencana kelaparan, terlebih ketika terjadi korban jiwa merupakan alarm berbahaya yang harus segera dihentikan. Khalifah harus mengoreksi keberlangsungan distribusi ekonomi agar tidak terjadi kejadian serupa.
Khalifah tidak hanya mementingkan angka produksi yang tinggi, namun bagaimana menjaga keberlangsungan distribusi, menjamin setiap individu rakyat bisa mendapatkan kesejahteraan, salah satunya dalam hal pangan.
Khalifah Umar bin Khattab ra. pernah memanggul gandum dengan punggungnya sendiri ketika pada suatu malam ia melihat ada rakyatnya yang kelaparan. Singkat cerita beliau mendapati suara tangisan anak kecil yang kelaparan, sementara ibunya mengaduk masakan di dalam panci sambil sesekali membujuk anaknya untuk tidur, ternyata ya g ia masak adalah sebongkah batu. Bahkan, ibu ini sempat melontarkan kekecewaannya kepada Khalifah Umar yang membiarkan rakyatnya kelaparan.
Hendaknya kepemimpinan Khalifah Umar ini bisa dijadikan contoh kaum Muslimin hari ini. Bagaimana kinerja pemimpin dan sistem yang ada di dalamnya akan melahirkan sosok pemimpin yang bertanggung jawab sebagaimana Khalifah Umar bin Khattab. Tidak seperti sistem Kapitalisme hari ini yang melahirkan pemimpin minum empati, dan sering mencari kambing hitam. Pemimpin dalam Islam yang lahir dalam sistem Khilafah akan sibuk introspeksi dan memohon ampunan Allah jika ada kelalaian yang ia lakukan.
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Wallahu a'lam bisshowab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.