Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nirwansyah

Bunyi Sunyi Sukidi

Khazanah | 2023-08-02 17:18:26
Dok. Arsip Pribadi

Di era gempuran media sosial saat ini, tak banyak orang yang mampu menahan godaan dunia medsos. Dari sedikit orang itu di antaranya Sukidi. Jangankan punya akun sendiri, Sukidi bahkan enggan memperkenankan orang lain untuk membuatkan akun yang diasosiasikan terhadap dirinya atau mungkin bisa dibilang semacam fanbase.

Bunyi Sukidi di media sosial memang sunyi, namun tidak lenyap. Sunyi dalam arti tidak diunggah via akun pribadinya sendiri, karena memang tidak punya. Dan tidak lenyap karena gagasannya kerap dikutip, diunggah, serta tersebar di banyak platform. Suara-suara Sukidi, menurut wartawan senior Budiman Tanuredjo, adalah suara-suara pinggiran yang sepi dari percakapan publik, apalagi elite.

Paling tidak, terdapat dua arah pembaruan yang digelorakan Sukidi, yakni keislaman dan kebangsaan. Dalam konteks keislaman, ia menggelorakan agar kembali kepada tradisi tafsir khususnya di masa awal Islam. Hal inilah yang menjadi salah satu dasar pijakannya dalam mengkritik model pembaruan para pendahulunya—termasuk Muhammadiyah—seperti Buya Syafii Maarif dan utamanya Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang menyerukan agar “kembali kepada Al-Qur’an dan Sunah”.

Sedangkan dalam konteks kebangsaan, supremasi konstitusi menjadi titik fokus pemikir kebinekaan ini yang meliputi isu-isu kebebasan berkeyakinan, kebinekaan, kesetaraan warga negara, dan keadilan. Sebagaimana dikutip oleh Ismail Hasani, supremasi konstitusi tidak hanya berarti bahwa konstitusi merupakan hukum tertinggi suatu negara, tetapi juga segala hal yang telah digariskan oleh konstitusi harus terpenuhi. Keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan lebih dari sekadar amanat konstitusi yang memang harus dipenuhi, tetapi juga menjadi kerinduan abadi manusia semesta yang tentu saja senapas dengan spirit ajaran agama.

Quiet Luxury

Di samping arah pembaruan di atas, hal yang tak kalah menyita perhatian sebagian orang adalah perjalanan hidup dan jalan sunyi yang dipilih Sukidi. Menko PMK Muhadjir Effendy menilai jalan yang ditempuh Sukidi sudah on the right track. Yaitu, “jalannya orang-orang yang meninggalkan nama besar. Bukan jalannya orang yang namanya hilang tak berbekas”.

Jalan sunyi Sukidi terefleksikan dari publikasinya yang nyaris tanpa jejak tatkala masih menekuni studi di rantau asing selama hampir dua dekade. “Meskipun tanpa publikasi yang melimpah ruah”, kata akademisi UNNES Cahyo Seftyono, “peer yang dimiliki begitu perhatian, seperti paham betul bahwa meskipun tanpa jejak publikasi memadai, keilmuannya pasti terjamin”. Setelah nyaris dua dekade itu pulalah Sukidi akhirnya berhasil menyabet dua gelar master: master of the art (M.A) dari Ohio University pada 2004; master of theological studies (M.T.S) dari Harvard Divinity School, Harvard University tahun 2006; dan, gelar doctor of philosophy (Ph.D.) dari The Graduate School of Arts and Sciences, Harvard University (2019).

Bagi sebagian orang, bisa mengenyam pendidikan atau kelulusan dari kampus ternama adalah hal yang biasa. Sebaliknya, sebagian pihak lainnya boleh jadi memandang hal tersebut sebagai suatu kemewahan tersendiri yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Lebih-lebih bagi mereka yang berasal dari keluarga kelas menengah bawah atau bawah. Sebagai seorang anak petani yang semasa kuliah di UIN Jakarta hidup untuk dan dari tulisan-tulisannya, kisah Sukidi ibarat obor—meminjam istilah Andar Nubowo—yang memberi inspirasi bagi tunas-tunas lain yang tengah bertumbuh dalam gelap.

Perlu disampaikan bahwa perkenalan atau kesan penulis dengan segala keterbatasan terhadap Sukidi mungkin tidak akan seperti sekarang jika bukan karena David Krisna Alka. Ia merupakan salah satu kader muda Muhammadiyah yang progresif-kreatif dan baru saja menyelesaikan studi di pascasarjana UI pada bidang antropologi.

Kembali ke Sukidi. Meski dibatasi jarak, ia selalu menyempatkan waktu untuk menelepon “tunas-tunas yang tengah bertumbuh” itu dengan penuh ketulusan yang membakar gairah intelektualitas. Model semacam ini sebenarnya terasa lebih intim daripada apa yang ditawarkan oleh atau menggunakan media sosial yang sarat simbolik. Sebab, kebanyakan yang terjadi di dunia medsos adalah kecenderungan ke arah pencitraan yang tak jarang melahirkan kepribadian ganda: beda di dunia maya, lain pula di dunia nyata. Selain itu, juga muncul kecenderungan menonjolkan diri dengan cara flexing. Flexing bukan melulu soal harta dan kekayaan, melainkan juga pencapaian, keberhasilan maupun relationship.

Seperti yang sudah disinggung di muka bahwa di tengah perlombaan untuk menonjolkan diri di media sosial dengan menunjukkan segala bentuk kemewahan, Sukidi memilih mengambil jarak. Buktinya, hingga sekarang ia tak punya akun media sosial, entah itu Facebook, Instagram, Twitter, YouTube, TikTok, ataupun Threads yang menembus 100 juta pengguna dalam waktu lima hari setelah rilis.

Sukidi memberikan suatu teladan dan seolah melawan tren dengan mengedepankan kesederhanaan, tidak berisik dengan embel-embel titel atau pencapaian maupun berbagai aktivitasnya, tetapi berkelas dan bercita rasa tinggi. Barang tentu, tidak ada larangan untuk memilih sebaliknya. Namun, dari Sukidi kita belajar bahwa kemewahan itu senyap (quiet luxury) dan seseorang bisa tetap terlihat mewah tanpa harus bising.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image