Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Nirwansyah

Spiritualitas dan Krisis Multidimensional

Khazanah | Friday, 02 Aug 2024, 00:42 WIB
Dok. Arsip Pribadi

Judul Buku : New Age Wisata Spiritual Lintas Agama

Penulis : Sukidi

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

Cetakan : Februari, 2002

Tebal : xi + 152 halaman

ISBN : 979-655-523-9

Banyak yang tersentak. Betapa tidak, di sebuah negara religius justru yang banyak terjadi adalah menjamurnya perilaku yang lepas dari kawalan moral. Pelecehan, kekerasan, pembunuhan, maraknya judi online, diskriminasi, korupsi, hingga terkikisnya marwah konstitusi merupakan sederet peristiwa yang akhir-akhir ini menghiasi keseharian hidup kita.

Di sisi lain, manusia modern dewasa ini juga diperhadapkan dengan berbagai macam krisis kemanusiaan. Mulai dari krisis akan makna diri, depresi, kesehatan mental, keterasingan, dan lain sebagainya.

Penyakit lain yang tak kalah mengguncang manusia di era digital dan artificial intelligence saat ini ialah hadirnya perasaan insecure dan ketidaknyamanan. Parahnya lagi, flexing menjadi semacam tren dan boleh jadi dianggap sebagai salah satu hal mangkus dalam mengatasi ketakutan eksistensial yang mengancam manusia dewasa ini.

Lebih dari dua dekade silam, Sukidi yang kala itu masih sangat muda telah merekam krisis global yang melanda umat manusia di dunia, termasuk Indonesia dalam bukunya yang berjudul New Age Wisata Spiritual Lintas Agama. Kekecewaan sekaligus protes keras terhadap krisis multidimensional itu memunculkan beragam bentuk gerakan sosial dan pemikiran, salah satunya adalah New Age Movement atau Gerakan Zaman Baru.

New Age inilah yang menjadi topik utama buku yang sudah mengalami dua kali cetak ini. Cetakan pertama terbit pada 2001 dan setahun berikutnya cetakan kedua pun sudah dapat dinikmati. Buku yang mengupas concern New Age pada persoalan spiritualitas ini merupakan hasil ramuan dari 14 artikel Sukidi di berbagai media dalam rentang waktu 1998-2000, yang sebagian besarnya dimuat di Kompas.

Nurcholish Madjid (Cak Nur) mengapresiasi terbitnya buku ini sebagaimana terbaca dalam endorsement-nya pada bagian sampul belakang. Sedangkan Anand Krishna dalam pengantarnya membeberkan: “Buku seperti ini memang harus ditulis oleh ‘seorang’ Sukidi, seseorang yang masih waras, tidak gila kuasa” (hlm vii).

Menurut Anand, New Age begitu fenomenal dan menjadi tren zaman baru tak lain karena hadir sebagai protes keras atas dosa-dosa sains, sekularisme, kapitalisme, imperialisme, materialisme, dan hal-hal eksploitatif lainnya. Kesemuanya itu menggelincirkan manusia pada suatu kondisi yang darurat secara spiritual.

Adalah fakta bahwa dunia kian diguncang oleh beragam krisis global. Posisinya bahkan sudah berada pada titik krisis multidimensional. Yakni, suatu krisis yang tengah melilit berbagai aspek kehidupan kita, mulai dari kesehatan, lingkungan, hubungan sosial, ekonomi, teknologi, politik, dan hukum.

“Ini,” tulis Sukidi dengan menyitir pandangan fisikawan genius Fritjof Capra, “adalah krisis intelektual, moral, dan spiritual sekaligus” (hlm 15) sembari menegaskan bahwa krisis separah ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam pentas sejarah kehidupan manusia.

Alur paradigma itulah yang digunakan Sukidi dalam menyoroti prahara yang tengah melanda Indonesia. Buku ini terbit saat dan sekaligus memotret suasana Indonesia yang tengah berada pada situasi krisis, sarat teror, konflik, kekerasan, dan bahkan pembunuhan.

Dalam buku ini diuraikan perihal badai krisis yang menerpa bumi Indonesia tercinta ini yang mana berpangkal dan berujung pada krisis moral dan spiritual. Sukidi menilai, “dari sudut pandang etika-keagamaan, semua krisis yang menerpa kita akhir-akhir ini, sungguh berpangkal pada krisis moralitas penguasa” (hlm 16). Hal yang tak kalah menyentaknya, mengingat Indonesia ditahbiskan sebagai bangsa religius, adalah berikut:

“Secara jujur ingin kita tegaskan bahwa hal itu merupakan akibat terparah dari krisis moral. Awalnya bermula dari atas, krisis moralitas penguasa. Akibatnya mengalir ke bawah, krisis moralitas rakyat biasa. Padahal, nilai-nilai moral manusia itu (salah satunya) merupakan buah dari agama. Logika generalnya: maraknya krisis moral merupakan buah dari krisis spiritual” (hlm 17).

Sedemikian sentralnya spiritualitas itu. Tak ayal, spiritualitas dipandang sebagai jantung atau hatinya agama-agama, bahkan sebagai “the heart of everything” (hlm 141). Pada ranah esoterik itulah sejatinya setiap agama bertemu, kendati secara kulit luar (eksoterik) plural.

Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, dan seterusnya merupakan pantulan dari pluralitas keagamaan itu sendiri. Kesemuanya bermuara pada suatu titik universal, yaitu mengajarkan pada kebaikan, kebenaran, dan keindahan. Rumusan puitisnya: “Mencari yang indah melahirkan seni, mencari yang baik melahirkan etika, dan mencari yang benar melahirkan ilmu” (hlm 84).

Alih-alih sebagai pemicu konflik, menghayati spiritualitas sebagai hatinya agama akan mendorong manusia ke arah harmoni agama-agama. Penghayatan semacam ini bukan saja penting karena Indonesia sebagai negara yang super majemuk lagi religius, tetapi juga dapat menjadi instrumen penyembuhan di tengah badai krisis yang menerpa umat manusia.

Manusia mesti menghidupkan kembali fitrah asalnya sebagai manusia. Alasannya, manusia mengalami krisis dikarenakan telah melanggar fitrahnya sebagai manusia dengan tidak lagi berpedoman pada keadilan, kebenaran, kebersamaan, toleransi, dan sikap inklusif terhadap kebinekaan (hlm 21).

Memang, buku ini berkutat pada fenomena New Age yang kemudian menjadi diskursus hingga era awal milenium baru. Catatan-catatan protes kalangan New Agers terhadap krisis multidimensional tentu tak luput dari pembahasan buku ini, di samping ulasan tentang petualangan atau wisata spiritual yang lintas agama.

Refleksi Sukidi dalam buku mini ini selain memuat pesan kearifan perenial, juga kontekstual dengan kondisi bangsa kekinian yang terasa masygul. Belakangan, krisis moral terjadi dan merambah hampir di semua lini kehidupan. Mulai dari ekonomi (korupsi, kolusi, nepotisme yang menjadi amanat gerakan Reformasi), skandal ekonomi (pejabat pajak), sosial (pelecehan, kekerasan, diskriminasi), politik (oligarki, dinasti), hukum (mafia hukum, erosi konstitusionalisme), dan seterusnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image