Faktor-Faktor Penyebab Golput dan Bagaimana Strategi untuk Mengatasi Maraknya Golput di Indonesia
Politik | Tuesday, 01 Aug 2023, 16:53 WIBIstilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu "demos" yang memiliki arti "rakyat" dan "kratos" yang memiliki arti "kekuasaan" (Kaelan dan Zubaidi, 2007).
Berdasarkan makna demokrasi secara etimologis tersebut, dapat disimpulkan bahwa demokrasi berarti "kekuasaan rakyat" atau "rakyat berkuasa" yang dalam bahasa Inggris disebut government of rule by the people.
Dapat dikatakan, dalam demokrasi, rakyat atau masyarakatlah yang menjadi figur utama dan memiliki peranan sangat penting. Sehingga, Abraham Lincoln pun mendefinisikan demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan juga untuk rakyat.
Adapun, negara-negara yang menganut demokrasi ialah negara yang diselenggarakan atas kemauan dan keinginan rakyatnya, dan salah satu negara demokrasi adalah negara kita, Indonesia.
Indonesia sebagai negara demokrasi telah menerapkan prinsip-prinsip dasar dan budaya demokrasi dalam setiap tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut Samsul Wahidin, prinsip dasar dan budaya demokrasi tersebut terdiri dari total sebelas prinsip yang salah satunya menyebutkan kekuasaan mayoritas.
Kekuasaan mayoritas ialah pengambilan keputusan yang dilakukan secara bersama-sama dengan persetujuan dari rakyat yang hasilnya semata-mata digunakan untuk kesejahteraan rakyat.
Konsep kekuasaan mayoritas tersebut kemudian diimplementasikan dalam bentuk kegiatan Pemilihan Umum atau disebut juga Pemilu.
Pemilihan Umum dijadikan sebagai salah satu indikator stabil dan dinamisnya proses demokratisasi dalam suatu negara. Di Indonesia sendiri, Pemilihan Umum dilaksanakan secara periodik dan sudah berlangsung berpuluh-puluh tahun lamanya sejak awal kemerdekaan yaitu sejak dilaksanakannya Pemilu pertama tahun 1955.
Akan tetapi, proses demokratisasi Pemilu-pemilu yang terdahulu ternyata belum mampu menghasilkan nilai-nilai demokrasi yang sesuai akibat sistem politik pada saat itu yang cenderung otoriter.
Setelah pada akhirnya Indonesia terlepas dari sistem politik yang otoriter, penyelenggaraan Pemilu pun dilanjutkan tepatnya pada tahun 2004 yang melaksanakan Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden serta Wakil Presiden dan dilaksanakan secara langsung.
Ternyata, Pemilihan Umum langsung tersebut dapat berjalan tanpa kekerasan dan tanpa keributan yang kemudian menjadi prestasi bersejarah bagi bangsa Indonesia. Tahapan demokrasi bangsa Indonesia kemudian berlanjut pada diadakannya Pemilihan Kepala Daerah secara langsung sejak tahun 2005.
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung ini merupakan konsekuensi dari adanya perubahan tatanan kenegaraan akibat amandemen Undang-Undang tahun 1945. Undang-Undang baru tersebut mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka melaksanakan kebijakan desentralisasi (Abdullah, 2005:4-5).
Namun, proses demokrasi dalam bentuk Pemilihan Umum yang berjalan di Indonesia ternyata masih menyimpan banyak sekali persoalan. Baik dalam kegiatan Pemilu Legislatif (Pileg), Pemilu Kepala Daerah (Pilkada), hingga Pemilu Presiden (Pilpres) masih banyak didapati masyarakat Indonesia yang memilih golput atau tidak menggunakan hak pilihnya dalam pelaksanaan Pemilu tersebut.
Golput sebagai singkatan dari golongan putih ialah suatu hal yang selalu ada di dalam setiap pelaksanaan pesta demokrasi atau yang disebut dengan Pemilihan Umum (Pemilu). Golput mencerminkan tidak adanya partisipasi rakyat terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara yang ditunjukkan dengan sikap apatis dan cenderung tidak mau tau.
Definisi golput menurut Badri Khaeruman (2004:69), yaitu orang yang tidak ingin menggunakan hak pilihnya di dalam Pemilihan Umum (Pemilu) atau sering pula didefinisikan pada sekelompok orang yang tidak ingin memilih salah satu partai peserta Pemilu.
Sedangkan, menurut Muhibin (Wahid, 2009:73), golput dalam bahasa politik adalah suatu sikap yang diambil oleh seorang individu ataupun kelompok untuk tidak ikut berpatisipasi dalam pemilihan.
Golongan putih (golput) dalam masyarakat Indonesia tentu tidak ada begitu saja, melainkan disebabkan oleh beberapa faktor penyebab. Faktor-faktor tersebut yaitu :
1. Faktor Internal
Faktor-faktor internal meliputi rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah mulai dari para anggota legislatif, para menteri atau para kepala daerah yang diakibatkan pada maraknya kasus korupsi di lingkungan pemerintahan tersebut, masyarakat tidak mempunyai pilihan dari kandidat yang tersedia, masyarakat tidak percaya bahwa Pemilu akan membawa perubahan dan perbaikan, masyarakat tidak dapat melihat dan menyadari betapa pentingnya pelaksanaan Pemilu, dan adanya alasan teknis seperti telat bangun, merasa malas, atau lebih mementingkan pekerjaannya.
2. Faktor Eksternal
Faktor-faktor eksternal meliputi kesalahan teknis yang justru dilakukan oleh penyelenggara Pemilu dalam hal ini pihak KPU seperti masyarakat tidak terdaftar atau malah terdaftar ganda serta penempatan lokasi TPS yang jauh dari masyarakat calon pemilih.
Adapun, upaya-upaya dan strategi yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi maraknya golongan putih (golput) dalam proses demokrasi yaitu Pemilihan Umum adalah sebagai berikut :
1. Pemerintah bekerjasama dengan KPU untuk melakukan kegiatan sosialisasi Pemilu.
Sosialisasi Pemilu ialah proses transfer pengetahuan yang berkaitan dengan tata cara setiap tahapan Pemilu dan penjelasan mengenai pentingnya Pemilu kepada seluruh masyarakat. KPU sebagai penyelenggara penting untuk melakukan sosialisasi karena mereka sudah pasti lebih cakap dalam hal pemahaman teknis dan aturan kepemiluan.
Sehingga, masyarakat yang akan memilih tidak bingung dengan tata cara melakukan Pemilihan Umum serta lebih memahami betapa pentingnya Pemilu yang akan berdampak baik pada menurunnya sikap apatis dan acuh tak acuh masyarakat terhadap Pemilu.
2. Pihak calon legislatif, calon kepala daerah serta calon presiden peserta Pemilu juga partai yang mengusungnya harus melakukan sosialisasi mengenai visi dan misi serta program yang akan dijalankan oleh mereka apabila nantinya terpilih ke daerah-daerah di seluruh Indonesia.
Sehingga, masyarakat dapat memiliki gambaran mengenai siapa-siapa saja yang ingin mereka pilih dan siapa-siapa saja yang memang cocok untuk menjadi pemimpin selanjutnya.
Selain itu, calon peserta Pemilu dan partai yang mengusungnya juga harus meningkatkan kepercayaan masyarakat bahwa mereka akan membawa dampak dan perubahan yang baik kedepannya serta mereka tidak akan melakukan kejahatan korupsi dengan memakan uang rakyat yang nantinya memang harus benar-benar tidak dilakukan ketika mereka terpilih.
3. Pihak penyelenggara Pemilu yaitu KPU harus menghindari terjadinya kesalahan teknis seperti masyarakat yang tidak terdata atau bahkan terdata ganda dengan melakukan perbaikan sistem.
Pihak KPU juga harus memastikan siapa saja masyarakat yang telah terdaftar sebagai pemilih tetap.
4. Pemerintah bekerjasama dengan pihak KPU untuk menyebar luaskan informasi yang berkaitan dengan jadwal penyelenggaraan Pemilu melalui pemberitaan atau media massa baik media online maupun media cetak dan media elektronik secara konsisten dan berulang-ulang hingga dapat diingat di luar kepala.
Pemberitaan tersebut haruslah dilakukan secara lengkap dan terperinci, yaitu menjelaskan di mana saja lokasi TPS yang dapat dijangkau serta kapan waktu pelaksanaan Pemilu beserta hari, tanggal, sampai jamnya sehingga masyarakat dapat mengantisipasi terjadinya keterlambatan sampai ke lokasi TPS atau bahkan telat bangun tidur.
5. Pemberitaan mengenai jadwal penyelenggaraan Pemilu serta pemberian ajakan resmi bagi masyarakat untuk ikut melaksanakan Pemilu juga dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai platform media sosial.
Pemerintah dan pihak KPU dapat memanfaatkan website resmi, Instagram, Facebook, Twitter, Youtube dan bahkan Tik-Tok untuk mendorong minat pemilih dalam menggunakan hak pilihnya. Cara ini dapat lebih sempurna lagi apabila dilakukan dengan bantuan para influencer media sosial yang sudah banyak dikenal masyarakat.
6. Strategi lain yang dapat dilakukan yakni opinion leader strategy atau strategi menggunakan keterlibatan para tokoh agama dan tokoh masyarakat dalam mempermudah sosialiasi dan ajakan kepada masyarakat untuk ikut serta memberikan hak pilihnya dalam kegiatan Pemilihan Umum.
Hal itu dikarenakan, pada sebagian daerah di Indonesia, fatwa dan wejangan para tokoh agama dan tokoh masyarakat masih lebih didengar serta dapat diterima semua agama dan lapisan masyarakat.
Adapun, agar terkesan lebih formal dan efektif, maka perlu dibuat sebuah perjanjian kerja antara pihak KPU daerah dengan para tokoh agama dan tokoh masyarakat tersebut. Dengan menggunakan strategi ini, diharapkan masyarakat tidak lagi malas untuk datang ke TPS dan tidak lagi mementingkan pekerjaannya daripada ikut memilih dalam Pemilu.
7. Strategi yang terakhir yaitu strategi teknis jemput bola yang dilakukan oleh para petugas TPS.
Cara ini dapat digunakan untuk mengatasi tingginya tingkat golput disebabkan jauhnya tempat TPS dari tempat tinggal masyarakat atau dapat juga dikhususkan pada masyarakat yang telah berusia lanjut, sedang sakit, atau berkebutuhan khusus.
Pihak TPS dapat mengunjungi rumah calon pemilih satu persatu ditemani oleh petugas keamanan serta saksi setelah proses pemilihan langsung di tempat telah selesai dilaksanakan atau dengan kata lain agenda jemput bola dilakukan siang harinya saat seluruh pemilih yang datang ke TPS sudah terlayani dengan baik.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.