Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Merajut Kembali Gagasan Indonesia Berparlemen

Politik | 2023-07-31 04:22:30

In het heden ligt het verleden, in het nu wat komen zal; adagium klasik ini mengajarkan kepada kita bahwa di masa kini tercakup masa lalu, dan di masa sekarang terkandung masa depan. Di tengah hiruk pikuk jagad politik di negeri ini, sampailah kita pada fase dimana nilai-nilai universalitas dari politik itu mengalami transvaluasi dan alienasi. Kondisi politik yang demikian itu kemudian terbawa serta ke dalam parlemen, sebagai suatu ruang untuk mencapai keseimbangan baik sebagai lembaga yang mewakili rakyat maupun sebagai salah satu ‘alat’ dalam menjalankan kekuasaan negara (kekuasaan legislatif).

Sejarah mencatat perjalanan mengenai gagasan parlemen di Indonesia telah dimulai sejak sebelum kemerdekaan: kongres SI-1919, Tan Malaka-Naar de republiek Indonesie-1924-disebutnya ‘majelis permusyawaratan nasional’, konferensi GAPI 1939 yang melahirkan gagasan "INDONESIA BERPARLEMEN", rancangan permulaan dari UUD oleh Soepomo, Ahmad Soebardjo, Maramis-1942, serta berlangsung dalam situasi kepentingan yang ketat dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia sepanjang tahun 1945 sampai 1960-an akhir. Sebagai akibat dari belum tuntasnya rajutan konsepsi parlemen di masa itu, maka ketidakjelasan itu pula seringkali melegitimasi, memelihara serta melahirkan suatu ‘orde’. Sehingga perlulah untuk ditinjau kembali Kedaulatan parlemen itu sebagai wujud dari kedaulatan rakyat dengan serius dan akademik.

Bahwa memang teori pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh Montesquieu merupakan suatu konsep yang tidak pernah dapat dilaksanakan. Secara kontekstual ia merupakan gagasan yang sifatnya utopis. Oleh karenanya, pada sekitar awal abad ke-20 berkembang pemikiran Progressive Movement di Amerika yang menolak mentah-mentah gagasan Montesquieu. Titik tekannya adalah spoil system dalam rekruitmen birokrasi (Frank Johnson Goodnow), dan birokrasi harus dipisahkan dari pengaruh politik struktural. Artinya, parlemen merupakan ruang negara untuk menyatakan fungsi politiknya dalam bentuk UUD maupun UU, yang selanjutnya dilaksanakan secara administratif.

Adapun mengenai fungsi politik tersebut Carl Joachim Friederich merumuskannya menjadi parliament as representative assembly dan parliament as deliberative assemblies, yakni tempat dilakukannya pembahasan serta menemukan solusi atas masalah-masalah dalam masyarakat, dilakukan melalui speech and debate, questions dan interpellation. Sulit untuk mengatakan bahwa sistem parlemen Indonesia kini bersifat joint session. Disana seringkali masih terjadi perdebatan apakah sistemnya adalah unikameral.

Dari situ bisa dikatakan bahwa mengenai konsep parlemen tersebut belumlah tuntas perdebatannya. jika di urai berdasarkan kewenangan formalnya, maka konsep parlemen di masa RIS-lah 1949 yang paling jelas wilayah legislasinya. Titik singgungnya adalah pada perwakilan daerah, dimana dalam UUD 1945 pasca amandemen 1999-2002, DPD sebagai salah satu lembaga legislasi tidak mendapatkan kewenangan sebagaimana DPR (telah terjadi pemusatan kekuasaan pada DPR). Lain halnya dengan konsep parlemen yang dimuat dalam konstitusi RIS, disitu perwakilan daerah mendapatkan posisi legislasi yang kuat secara formatur di struktur Senat (pasal 81 UUD RIS 1949) serta memiliki kewenangan ekslusif terkait kebijakan.

Meskipun parlemen (Konstitusi RIS) tersebut hanya berumur singkat, tetapi dimasa itulah parlemen Indonesia mengalami proses pembentukan ‘jati dirinya’ sebelum akhirnya dibubarkan melalui Piagam pernyataan terbentuknya NKRI yang berkonstitusikan UUD Sementara – berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950. Dari serangkaian pergeseran-pergeseran yang sifatnya konstitusional inilah kemudian terbentuk suatu pola pemikiran (UUD’45 pasca amandemen 1999-2002) parlemen yang kehilangan esensinya, yakni DPD mewakili rakyat dalam konteks kedaerahan, sementara DPR mewakili rakyat dengan orientasi kepentingan nasional.

Dalam logika ketatanegaraan, NKRI itu berarti kesatuan dari tiap-tiap daerah secara politis, ia bukan persatuan secara sosiologis apalagi adat, dan perwujudannya lebih terakomodir lewat Senat dijaman RIS. Disitulah pengertian nasional dalam konsep DPR tidak lebih daripada wujud implisit kehendak ‘politik’. Disana seringkali parlemen (khusus DPR) menunjukkan otoritas fungsi politisnya ketimbang bersinergi dan membangun konsensus baik secara sosiologis maupun adat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image