Usia Bukan Patokan Kematangan Seorang Anak
Parenting | 2023-07-24 00:52:07Dua pekan sudah si bungsu mulai bersekolah TK. Terasa sekali kerepotan yang saya alami. Kerepotan ini punakan dirasakan oleh ibu-ibu yang mulai menyekolahkan anak. Berbagai persiapan dilakukan menjelang hari pertama masuk sekolah. Mulai dari persiapan alat tulis dan seragam sampai persiapan mental.
Dilihat dari usia, anak saya sudah bisa dikategorikan sebagai siswa TK besar. Dia pun ingin bersekolah seperti kedua saudaranya yang lain. Hampir setiap hari ada saja pembicaraan yang mengarah ke sana.
Kerepotan Bersekolah
Rasa senang ingin bersekolah itu ternyata berimbas di hari pertama dia sekolah. Dia bangun lebih awal, segera sholat subuh, dan minta mandi. Tentu saja saya senang melihat hal itu, tetapi kerepotan di pagi hari sangat terasa.
Sampai di sekolah, ternyata tidak membuat dia takut. Bahkan dia meminta saya untuk pergi atau pulang. Khawatir dia akan menangis, saya menungguinya. Masya Allah ternyata di luar dugaan saya, dia tidak mengalami ketakutan atau menangis seperti yang dialami beberapa temannya sehingga ibunya harus menunggui di kelas.
Saya lihat dia bisa mengikuti apa yang disampaikan gurunya. Dia bermain bersama teman, mencuci tangan dan makan bekal di meja dengan tertib, dan bermain di halaman sekolah dengan baik. Ini yang membuat saya bangga padanya.
Kemandirian Anak Bersekolah di TK atau SD bukan karena usia anak sudah lewat 5 tahun atau 7 tahun. Bukan karena pada kenyataan yang ada, anak dengan usia yag lebih besar dari si bungsu tidak menunjukkan kemandirian. Mereka harus ditunggui sang ibu sampai 2 pekan ini.
Kemandirian seorang anak harus dimiliki ketika mereka sudah akan bersekolah. Kemandirian ini perlu dilatih di rumah sebelum mereka akan bersekolah. Sebab kemandirian ini yang akan membuat anak mudah menghadapi tantangan di hari-harinya bersekolah.
Dikutip dari Ameera. Republika.co.id. bahwa pendiri sekaligus pengajar ACTS Montessori Learning Center, Henderina Corry M.Y, mengatakan orang tua perlu menanamkan nilai-nilai kemandirian sejak dini pada anak. Kemandirian ini akan membentuk kepribadian anak di kemudian hari. Kemandirian ini harus diajarkan oleh orang tuanya di rumah dengan baik.
Bentuk Kemandirian Anak
Ada beberapa hal yang membuat kita menyebut bahwa seorang anak disebut mandiri. Pertama, mandiri dalam mengerjakan sesuatu yang bersifat pribadi, seperti makan, minum, mandi, bersuci, berpakaian, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan tubuhnya. Saat anak akan memasuki dunia sekolah, orang tua harus mengajarkan kemandirian ini jauh sebelum peristiwa itu terjadi.
Kemandirian itu akhirnya akan berfungsi saat seorang anak menghadapi dunia baru. Dia harus bisa melakukan kegiatan sederhana yang itu tanpa bantuan orang tua atau orang dewasa lain. Hal ini penting untuk menjaga privasi dirinya.
Kedua, kemandirian sosial. Anak yang mandiri adalah anak yang mampu membangun sosialnya dengan baik. Sederhananya, ada bisa bergaul dengan lingkungan di sekitarnya. Dalam hal ini si anak mampu mendapatkan teman baru, bergaul dengan baik bersamanya, dan mampu beradaptasi dengan keadaan yang ada di sekolah.
Ketiga, kemandirian terhadap tugas yang diberikan. Sebenarnya bukan tugas yang sulit dan dikeluhkan banyak anak. Yang ada adalah kemampuan anak dalam menerima perintah kepadanya.
Anak yang mandiri adalah anak yang mampu melaksanakan apa yang diperintah atau diberikan oleh orang dewasa dengan penuh pengertian. Anak ini tahu bahwa perintah atau tugas itu adalah sesuatu yang harus dikerjakan. Mereka akan menerima setiap penugasan dengan senang hati meskipun penugasan itu terasa asing unuk dilakukan.
Pembentuk Kemandirian Anak Kemandirian anak sangat berperan saat mereka akan 'dilepaskan' ke dunia luar selain keluarga. Keluarga yang menjadi faktor penentu kemandirian seorang anak. Anak yang serba ada dan dituruti permintaannya akan tumbuh menjadi anak yang suka melakukan perbuatan sekehendaknya sendiri. Mereka cenderung mengabaikan perintah orang lain.
Berbeda dengan anak yang suka melakukan kegiatan di rumah sendiri meskipun sesekali orang tua membantunya. Mereka akan terbiasa melakukan kegiatan bersama saudara-saudara dan mampu mengatasi setiap kendala dengan baik. Tanpa orang tua pun mereka bisa melakukan sesuatu dengan sendiri.
Saya termasuk orang tua yang tidak segera menanggapi keriuhan saat ketiga anak saya bermain. Biasanya saya hanya memantau dari kejauhan. Saya akan membiarkan mereka bermain. Dari sana saya tahu bahwa keributan pasti akan terjadi, tetapi seringkali keributan akan berhenti karena mereka mengusahakannya untuk berhenti.
Ketika anak saya meminta sesuatu, terkadang saya tidak langsung memenuhinya karena ada alasannya. Namun, ada alasan yang paling mendasar bagi saya melakukan hal itu. Saya ingin mereka tahu bahwa tidak semua permintaan itu harus terpenuhi dan ada mereka belajar untuk kecewa.
Jadi, yang perlu diingat bahwa keluarga adalah pondasi seorang anak menjadi mandiri saat harus menjalani perannya di luar. Oleh karena itu orang tua harus betul-betul melakukan tugasnya sebagai model sekaligus guru dalam kemandirian di rumah. Ajarkan anak melakukan kegiatannya sendiri meskipun kadang-kadang ekspektasi tidak sesuai.
Ajarkan mereka membasuh tubuhnya sendiri setelah berhadats. Ajarkan mereka mengambil dan memakai pakaian sendiri. Ajarkan mereka mandi sendiri. Ajarkan mereka makan dan minum sendiri, dan ajarkan mereka bergaul dengan saudara mereka dengan pertengkaran-pertengkaran kecil.
Meskipun anak sudah berusia kurang dari batas usia yang disarankan, bisa jadi dia anak yang mandiri. Namun, banyak juga anak yang berusia di atas rentang usia bersekolah malah menunjukkan ketidajmandirian. Jadi, sekali lagi usia bukan patokan bagi anak untuk disebut mandiri.
Sumber kutipan:
Rezkisari, Indira. 1 Juli 2016. Bagaimana Cara Menanamkan Kemandirian Pada Anak? Ameera. Republika.co.id.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.