Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Jika Anda Ingin Melihat Karakter Asli Seseorang, Berilah Ia Kekuasaan

Agama | Tuesday, 28 Dec 2021, 16:24 WIB

SEJATINYA segala aktivitas ibadah mahdhah (yang langsung berhubungan langsung dengan Allah) seperti ibadah shalat, puasa, tilawah Al-Qur’an, dan sebagainya mewarnai segala aktivitas kehidupan kita. Kesalehan diri kita selama melaksanakan ibadah shalat dan puasa, keteraturan kata-kata ketika tilawah Al-Qur’an harus benar-benar diimplementasikan dalam kehidupan keseharian.

Dengan kata lain, akhlak atau karakter keseharian hidup kita merupakan cerminan dari kualitas ibadah mahdhah yang kita lakukan. Nilai-nilai luhur ibadah mahdhah yang kita laksanakan harus menjadi ruh segala aspek kehidupan, baik aspek muamalah maupun siyasah.

Aspek muamalah dan siyasah sengaja disebutkan, sebab kedua aspek ini sangat menyita kebanyakan waktu kegiatan setiap orang. Lebih dari itu jika ditelusuri, sebenarnya makna muamalah dan siyasah itu beragam dan sangat luas, salah satunya bermakna sosial dan politik. Sosial meliputi kehidupan ekonomi dan kemasyarakatan, sementara politik meliputi kekuasaan dan pemerintahan.

Dalam kehidupan sehari-hari, terkadang kita melepaskan kehidupan sosial-politik sebagai bagian dari ibadah. Terlebih-lebih ketika ibadah hanya dimaknai sebatas ibadah mahdhah.

Jika menelusuri hadits-hadits, kehidupan sosial-politik sebenarnya sangat mempengaruhi terhadap diterima atau tidaknya ibadah mahdhah yang kita laksanakan. Shalat merupakan ibadah mahdhah, ibadah individual yang langsung berhubungan dengan Allah.

Agar pahala shalat kita berlipat ganda, Rasulullah saw memerintahkan agar shalat tersebut dilaksanakan secara berjamaah. Salah satu makna dari shalat berjamaah adalah belajar melakukan interaksi sosial satu sama lainnya.

Dalam melaksanakan shalat berjamaah, wajib ada imam. Pengangkatan imam merupakan ranah sosial, dalam arti jamaah di suatu masjid sepakat untuk mengangkat seorang imam. Jika seorang imam sudah disepakati, tak boleh ada orang lain yang memaksakan diri menjadi imam, tanpa persetujuan jamaah dan imam yang telah disepakati sebelumnya. Dari sini secara tidak langsung sudah terbentuk kesepakatan secara sosial.

“Janganlah seseorang maju menjadi imam di wilayah kekuasaan orang lain kecuali dengan izinnya, dan janganlah duduk di teras rumah orang lain kecuali dengan izin pemiliknya” (H. R. Abu Daud, Sunan Abu Daud Juz I, Bab Man Ahaqqu bi al Imamah, hadits nomor 582, penerbit Maktabah Dahlan, Indonesia).

Dalam kehidupan sehari-hari, muamalah atau kehidupan bermasyarakat, baik yang berhubungan dengan ekonomi seperti perdagangan misalnya merupakan salah satu ukuran kesalehan seseorang. Profesi dagang, sekalipun perdagangan kecil yang dianggap hal biasa misalnya memenuhi kebutuhan sembako sehari-hari yang dilakukan seseorang, berpeluang besar menutup pintu neraka dan membuka pintu sorga.

Jika seseorang melakukan transaksi perdagangannya dengan jujur, seperti mengukur dan menimbang dengan jujur, barang yang dijualnya merupakan barang yang halal untuk diperjualbelikan, maka sorga terbuka lebar baginya, di dalamnya ia akan duduk sejajar dengan para Nabi, syuhada, dan orang-orang jujur.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar r.a, Rasulullah saw bersabda, “Seorang pedagang muslim yang jujur dan amanah (terpercaya) pada hari kiamat akan dikumpulkan (di sorga) bersama para Nabi, orang-orang jujur dan orang-orang yang mati syahid” (H. R Ibnu Majah, hadits nomor 2139 ).

Seperti halnya dengan dunia muamalah, dunia siyasah (politik) dapat menjadi peluang bagi seseorang untuk menutup pintu neraka dan membuka pintu sorga. Hanya saja, dalam dunia politik tantangannya lebih berat jika dibandingkan dengan muamalah.

Dunia politik sangat erat dengan tahta dan kekuasaan. Sudah sejak lama, tahta dan kekuasaan dapat menjadikan seseorang menjadi mabuk dan pelupa. Ia lupa, suatu saat kekuasaannya harus dipertanggungjawabkan di hadapan yang Maha Kuasa. Ia lupa, kekuasaan itu merupakan amanat dari rakyat untuk mewakili dan mensejahterakan kehidupan rakyat seraya membimbing mereka agar tetap menapak di jalan yang lurus.

Tahta dan kekuasan dapat merubah karakter seseorang. Jika tanpa nilai-nilai keimanan dan akhlak yang baik, banyak orang yang berubah karakternya setelah memegang kekuasaan. Orang yang berakhlak baik sebelum berkuasa menjadi berakhlak jelek setelah ia berkuasa. Orang yang berakhlak jelek sebelum berkuasa, akhlaknya semakin jelek, sombong, dan bersikap kemaruk setelah berkuasa.

Abraham Lincoln, salah seorang Presiden Amerika Serikat yang pernah ikut melahirkan kemajuan Negeri Paman Sam tersebut pernah mengatakan, “jika Anda ingin melihat karakter asli seseorang, berilah ia kekuasaan. Kemudian perhatikan karakter setelah ia berkuasa, apakah ia masih berkarakter mulia, dermawan, jujur, hidup sederhana, dan tidak kemaruk seperti sebelum berkuasa atau malah sebaliknya?”

Pada umumnya kekuasaan sering merubah karakter seseorang . Rutger Bregman, pemikir asal Belanda pernah mengatakan, “ketika memegang kekuasaan, rayuan korup dari kekuasaan membuat orang-orang berhati tulus menjadi keji dan rakus.”

Bagi orang-orang yang kehausan dan kelaparan dengan kekuasaan, gelap mata dan hati menyelimuti pandangannya, rasa malunya pun terbang melayang, hilang dari dirinya. Orang yang kelaparan karena kekurangan makanan masih bisa bertahan dengan melakukan puasa, namun orang yang haus dan kelaparan dengan kekuasaan, jarang sekali dapat melakukan puasa kekuasaan.

Demi kekuasaan, orang berani mengorbankan apapun, termasuk mengorbankan harga dirinya, bahkan mengorbankan harga diri dan jiwa orang lain. Kericuhan dan kegaduhan yang terjadi di suatu negeri, ujung-ujungnya banyak disebabkan karena perebutan kekuasaan, baik secara halus maupun secara kasar.

“Nanti engkau akan begitu tamak kepada kekuasaan. Namun kelak di hari kiamat, engkau akan benar-benar menyesal” (H. R. Bukhari , Shahih Bukhari, hadits nomor 7148).

Imam Ibnu Baththal menyatakan ketamakan manusia kepada kekuasan begitu nyata. Itulah yang menyebabkan adanya pertumpahan darah, menginjak kehormatan orang lain, terjadinya kerusakan sampai kekuasaan tersebut dapat diraih. Karena kerakusan kepada kekuasaan inilah yang membuat keadaan menjadi jelek, dan karena memperebutkan kekuasaan inilah terjadi pembunuhan, saling meninggalkan, saling merendahkan, atau tewas karenanya, itulah yang menjadi penyesalan pada hari kiamat. (Ibnu Batthal, Syarh Al Bukhari, Juz 8 : 218).

Baik aktivitas muamalah maupun siayasah tidak akan menjadi penyesalan kelak di akhirat, bahkan tidak akan menjadi penyesalan selama hidup di dunia, manakala semua aktivitas tersebut dilaksanakan berdasarkan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Siapapun yang melaksanakan aktivitas apapun, termasuk muamalah dan siyasah berdasarkan tuntunan Allah dan Rasul-Nya , ia telah melaksanakan etika dan moral tertinggi dalam kehidupannya.

Jika aktivitas muamalah dan siyasah, sosial-politik dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya, kedua aktivitas tersebut akan menjadi jalan pembuka kebaikan yang berujung kepada terbuka lebarnya keridaan Allah dan sorga-Nya.

Sebaliknya jika kedua aktivitas tersebut dilakukan dengan penuh kebohongan, penipuan, melanggar ketentuan Allah dan Rasul-Nya, kedua aktivitas tersebut akan menjadi jalan pembuka keburukan yang berujung kepada terbuka lebarnya murka Allah. Na’udzu billahi min dzalik.

Ilustrasi : Meraih posisi kekuasaan itu laksana bermain catur (sumber gambar : ichi.pro)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image