Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Asman

Pendidikan Keteladanan

Edukasi | 2023-07-18 10:29:14

Melihat realitas Pendidikan kita saat ini, saya teringat kepada para tokoh Pendidikan yang memperjuangkan kualitas Pendidikan Indonesia menjadi jauh lebih. Ki Hajar Dewantara merupakan salah satu tokoh tersebut. Anak-anak zaman sekarang, bahkan ada yang masih tidak tahu siapa Ki Hajar Dewantara. Mengapa demikian terjadi.? Pola Pendidikan yang didapatkan tidak lagi berbasis pada keteladanan. Saat ini, banyak hal yang menjadi tontonan dijadikan sebagai tuntunan dalam berlaku baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam dunia Pendidikan.

Banyak factor yang menyebabkan pendidikan kita tidak lagi memperhatikan Pendidikan keteladanan, diantaranya tuntutan untuk mencapai agregat nilai, capaian peserta didik dalam angka, tuntutan pasar industry dan sebagainya. Menjadi satu barometer sehingga keteladanan dalam dunia Pendidikan tidak lagi menjadi penting di perhatikan.

Saya teringat sebuah film Jepang yang di berjudul “Crows Zero” karya Hiroshi Takahashi dan di Sutradarai oleh Takahi Miike. Film ini diambil dengan setting pada sebuah sekolah di Jepang yang bernama Zuzuran. Film ini termasuk dalam ketegori film aksi yang menceritakan bagaimana dalam Lembaga pendiidkan terdapat gengstar.

Takiya Genji atau Shun Oguri pemeran utama dalam film ini sebagai siswa kelas tiga yang baru saja pindah ke sekolah zuzuran pada saat masa orientasi siswa baru di sekolah tersebut. Karena mereka adalah anak kelas tiga, maka mereka menjadi penguasa sekolah. Bahkan dalam film ini, tidak ada satupun guru yang mampu mengajar di sekolah tersebut.

Tawuran dan saling serang antara sekolah merupakan beberapa kegiatan yang menajdi wabij dilaukan untuk meningkatkan popularitas sekolah tersebut. Sehingga Takiya Genji untuk bisa menjadi pemimpin di sekolah tersebut, maka ia harus menaklukkan pimpinan geng yang ada di sekolah Zuzuran.

Begitupun dengan film Indonesia sendiri yang berjudul “Total Chaos” yang dibintangi oleh Rulli atau Ricky Harun. Film ini juga menceritakan bagaimana Gengster di sekolah laki-laki yang sering melakukan tawuran. Selain itu, dalam film ini juga menunjukkan adengan adanya bullying kepada anak-anak sekolah yang dikatakan “culun” tidak memiliki kekuatan fisik yang memadai.

Bahkan dalam film tersebut, tidak pernah menunjukkan keberadaan guru atau system dalam sekolah yang bisa memberikan peringatan dan pembelajaran bagaimana selayak sekolah. Guru-guru tidak menjadi hal penting untuk di dengarkan.

Jika merujuk pada aspek Psikologi, apa yang dilihat oleh anak dalam kehidupan sosialnya akan sangat berpenaguruh kepada tindakan seorang anak. Terlebih penting apa yang dilihat anak dari orang tuanya di rumah dan kehidupan sehari-hari. Sehingga menjadi penting apabila anak mendapatkan perlakuan yang bisa mengembangkan sikap positifnya.

Rasanya seperti realitas Pendidikan kita film-film tersebut, ada sekolah tapi tidak ada keteladanan di sana. Pendidikan seharusnya disandarkan kepada pengembangan moralitas yang berdasarkan iman kepada Tuhan yang maha esa, berbudi pekerti luhur, kepribadian dan sebagainya. Pendidikan yang ada, seringkali melupakan aspek moralitas atau keteladanan dan mengembangkan aspek kognitif lebih jauh. Pendidikan kita saat ini bisa dikatakan kokoh tapi rapuh.

Mungkin saja anak-anak sekolah itu yang sering tawuran, membully bahkan melakukan kekerasan di sekolah, bisa saja tontonan yang mereka tonton mereka jadikan sebagai tuntunan. Sehingga apa yang mereka lihat, membuat ardenalin mereka memuncak untuk melakukan hal demikian. Tentunya ini persoalan yang amat penting. Dibutuhkan solusi secara kolektif dari semua pihak, agar Pendidikan itu tidak hanya focus mencerdaskan anak, menggali skillnya agar bisa bersaing di dunia kerja.

Peran penting guru sangat di harapkan di sana. Tidak hanya sekadar menggugurkan kewajiban, membuat perangkat mengajar dan sebagainya, karena untuk mengubah sifat dan tingkahlaku seorang manusia tidak hanya dengan mengajarkan tulisan, melainkan dibutuhkan keteladanan atau contoh yang diberikan oleh pendidik.

Upaya untuk menanamkan Pendidikan keteladanan, selalu terhenti kepada pola pikir sederhana. Bukankah kalua anak atau siswa melakukan kekerasan mereka akan berhadapan dengan hukum.? Bukankah guru hanya bertanggungjawab kepada anak saat ia di titipkan di sekolah.? Bukankah ini seharusnya tugas orang tua.?

Orang gampang berbicara, seperti gampangnya melupakan janji yang sudah di ikrarkan, tanpa melaksanakan secara sungguh-sungguh tugas mulia yang ia kerjakan. Mahatma Gandhi mengatakan jika ia seorang pembohong, maka tidak ada gunanya saya mengajarkan kepada murid-murid saya untuk mengatakan yang sebenarnya.

Saya teringat kisah Bung Karno muda yang diceritakan oleh Haris Priyatna dalam bukunya. Dikisahkan Bung Karno belajar kepada HOS Tjokroaminoto tentang bagaimana menjadi sosok pemimpin yang bijak dan cerdas. Bung Karno melihat kegagahan HOS Tjokroaminoto yang tidak pernah takut terhadap penjajah dan terus menyuarakan keadilan dan perlawanan pribumi.

Hasilnya, Bung Karno tumbuh menjadi sosok pemimpin yang memiliki kharismatik energi dan berpengetahuan tinggi. Bukan hanya secara kognitif melainkan secara psikomotorik ia tumbuh menjadi manusia yang amat peduli terhadap berbagai aspek kehidupan manusia. Tentunya hal demikian ia dapatkan pada gurunya yang selalu menjadi corong perjuangan masyarakat kecil di masanya.

Keberadaan infrastruktur yang begitu tersedia, sepertinya tidak menjadi jaminan untuk meningkatnya kualitas Pendidikan menjadi lebih baik (bukan pada aspek kognitif). Pendidikan kita saat ini, tidaklah kurang jika persoalan kognitif. Melainkan Pendidikan kita sedang tergerus pada aspek moralitas karena kurangnya pengetahuan tentang keteladanan.

Hilangnya sosok teladan di sekolah-sekolah menjadi penyebab banyaknya masalah pada dunia Pendidikan. Guru banyak yang salah kaprah dengan mengartikan kedekatan siswa dan guru itu bisa membangun hubungan yang baik dalam proses pembelajaran dan keseharian.

Kedekatan guru dan siswa selayaknya terbangun dengan baik, dengan catatan dalam kondisi tertentu guru bisa menunjukkan kewibawaannya dalam proses pembelajaran. Guru yang kehilangan wibawa di mata siswa, tidak melihat kondisi dan keadaan dalam melakukan pendekatan dengan ikut bermain justru akan menimbulkan hilangnya wibawa seorang pendidik.

Hilangnya wibawa pendidik akan berimbas kepada proses pembelajaran dan kualitas Pendidikan yang di capai. Olehnya itu, seorang pendidik harus memiliki strategi yang benar dalam melakukan pendekatan, serta memperlihatkan keteladan dalam bersikap, bertutur kata dan cara memperlakukan siswa yang heterogen.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image