Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Ekonomi Rente (Kapitalisme) Jadi Penghambat Kemajuan Ekonomi Nasional

Politik | Friday, 14 Jul 2023, 14:09 WIB

Di bawah panji-panji Trisakti dan Nawacita, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Ma'ruf Aminmenabur harapan bagi banyak orang Indonesia. Di bawah panji-panji Trisakti dan Nawacita, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dan Ma'ruf Amin menabur harapan bagi banyak orang Indonesia.
Pemerintahan yang resmi berkuasa tanggal 20 Oktober 2019 lalu ini diharapkan bisa membawa Indonesia menjadi lebih baik: berdaulat di bidang politik, berdikari di lapangan ekonomi, dan berkepribadian secara budaya

Tetapi perjuangan memenuhi harapan itu tidak gampang (dan malah sama saja dengan rezim rezim sebelumnya. Sudah 3 Tahun lebih Jokowi-Amin (Jokowi Jilid 2) berkuasa, tanda-tanda mewujudnya harapan itu belum juga kelihatan. Malahan, berbagai persoalan makin membelit negeri yang sudah berusia 78 tahun ini.

Namun, dari sekian banyak persoalan itu, isu soal ekonomilah yang paling mengemuka. Terutama setelah pemerintahan Jokowi-Amin mengeluarkan Omnibus Law. Terang sekali, Omnibus Law itu justru untuk melancarkan arus masuk modal asing dan meliberalisasi lagi sendi sendi Perekonomian di Indonesia.

Masihkah kita bisa menaruh harapan pada Jokowi-Amin untuk memperjuangkan Trisakti dan Nawacita? Apakah Jokowi-Amin kelanjutan atau pertentangan dari rezim sebelumnya? Apa sesungguhnya persoalan mendasar ekonomi nasional kita?

Kita lihat akhir-akhir ini bangsa kita dihadapkan pada banyak persoalan dan kelesuan ekonomi menjadi tema sentral, Kebijakan Omnibus Law dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatasi "kelesuan ekonomi". saat ini, kita seharusnya bertolak dari kebijakan-kebijakan yang muncul sejak kemunculan Orde Baru puluhan tahun lalu. Perubahan dari rezim Orde Lama ke Orde Baru tidak hanya perubahan kepemimpinan politik melainkan terjadi perbedaan paradigma. Usaha dekonstruksi kondisi pascakolonial yang dilakukan Bung Karno menjadi rusak dan dampaknya masih terus berlangsung hingga sekarang. Karena itu terdapat problem konsolidasi bangsa yang serius dalam membangun ekonomi Indonesia yang mandiri.

apa yang dimaksud dekonstruksi kondisi pascakolonial?

Dibilang persoalan dekonstruksi kondisi pascakolonial bisa dilihat dari dari karakteristik masyarakat Indonesia sebagai bekas jajahan Belanda, yang membedakannya dengan tempat lainnya. Sebagai jajahan Belanda, kekayaan alam negeri ini dieksploitasi dan rakyatnya ditindas. Kesempatan memperoleh pendidikan lebih tinggi hanya diperuntukan bagi anggota masyarakat strata tertentu. Borjuasi nasional tidak tumbuh. Masyarakat Indonesia banyak diisi kaum marhaen, baik memiliki alat produksi atau tidak.

Berbeda, misalnya, dengan kondisi masyarakat di India. Negeri yang dijajah Inggris itu menjadi pasar karena overproduksi di negara induk. Imperialisme dagang Inggris menjual berbagai barang di India berupa gunting, pisau, sepeda, mesin jahit, dan pakaian. Namun, di sisi lain, di India kelas borjuasi nasional bertumbuh sehingga mereka merasa tersaingi dengan kehadiran imperialisme Inggris. Karena itu, kalangan borjuasi nasional tampil menjadi pemimpin pergerakan India sehingga muncul nama-nama seperti Nehru, Tata, dan Birla. Salah satu semboyan gerakannya adalah swadesi (gerakan yang menganjurkan penggunaan barang-barang buatan bangsa sendiri) untuk melawan imperialisme dagang Inggris.

Salah satu semboyan gerakannya adalah swadesi (gerakan yang menganjurkan penggunaan barang-barang buatan bangsa sendiri) untuk melawan imperialisme dagang Inggris. Kapitalisme modern masuk ke Nusantara juga tidak seperti terjadi di Eropa pada masa Revolusi Perancis abad 18. Di Nusantara kapitalisme modern masuk melalui kolonialisme, tidak mengganti feodalisme melainkan memanfaatkannya sebagai jaringan dan budaya kerja. Karena itu di zaman pergerakan nasional bahkan hingga pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda 1949, para borjuasi komprador yang diuntungkan zaman Belanda tidak mau ikut. Banyak kalangan bangsawan juga masih bersikap wait and see. Para pemimpin pergerakan lebih banyak dari kalangan intelektual.

Meski mereka sendiri umumnya juga berasal dari keluarga kalangan priyayi dan pedagang luar Jawa, tapi mereka merupakan kalangan yang tercerahkan dan bukan dari keluarga yang terlibat jauh dalam sistem kolonialisme. Bung Karno, misalnya, meski bapaknya priyayi tapi berprofesi sebagai guru, bukan priyayi yang memiliki kedudukan tinggi.

Pada era 1950-an, melalui Program Benteng, Bung Karno Dan Kabinet Natsir bermaksud mendorong tumbuhnya borjuasi nasional. Borjuasi nasional itu diharapkan menjadi marhaenis yang membangun ekonomi nasional berkeadilan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Sejak awal melontarkan gagasan marhaenisme secara tertulis di Pengadilan Kolonial di Bandung pada 1930, Bung Karno menghendaki marhaenis, yakni mereka yang memperjuangkan kaum marhaen untuk mengangkat derajatnya, baik para pengusaha, intelektual, para pegawai kelas menengah, dan sebagainya.

Gagasannya merujuk pada cita-cita tumbuhnya masyarakat ekonomi dan politik yang berorientasi kerakyatan, dalam arti semua golongan berjuang bersama untuk keadilan dan kesejahteraan.

Namun Program Benteng disalahgunakan. Para pemburu rente memanfaatkannya untuk memperoleh keuntungan dengan cara monopoli, jual-beli lisensi, dan praktik bisnis bermodal kedekatannya dengan kekuasaan. Mereka bersinergi dengan kapitalis birokrat (kabir) yang menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri dengan melayani pemodal, kaki tangan asing, memanipulasi anggaran negara, suap, pungli, hingga menjadi centeng berseragam. Para pemburu rente dan kabir di Indonesia merupakan produk persilangan dari kolonialisme, kapitalisme, dan feodalisme.

Pengusaha pemburu rente dan kabir menjadi benalu sejak 1950-an dan semakin berkembang pada era Orde Baru dengan pola tersentral di lingkaran Soeharto dan kroninya. Di zaman reformasi (dan juga sekarang), para pemburu rente dan kabir tidak tersentral lagi, tapi bukannya hilang melainkan menyebar sampai ke pelosok dengan memanfaatkan otonomi daerah. Banyak politisi era reformasi lahir dari kalangan ini. Mereka juga memainkan peranan penting dalam Pemilu Legislatif, Pemilihan Kepala Daerah, hingga Pemilihan Presiden.

Hal tersebut yang tadi saya bilang terdapat problem konsolidasi bangsa yang serius dalam membangun ekonomi bangsa yang mandiri. Para pemburu rente dan kabir terus bermain mempengaruhi kebijakan pemerintahan dari tingkat pusat hingga daerah.

apakah ada yang membedakan Pemerintahan Jokowi-Amin dengan pemerintahan-pemerintahan reformasi sebelumnya? Sebuah kelanjutan atau pertentangan?

Pemerintahan Jokowi-Amin memang memiliki visi Trisakti yang dijabarkan dalam Nawacita dalam setiap Kampanye nya selama Pemilu 2019 (dan sebelumnya Pemilu 2014). Berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam ekonomi, serta berkepribadian dalam budaya. Kalau itu yang jadi ukuran, maka pemerintahan Jokowi sebetulnya menjadi antitesanya (harusnya).

Jokowi memiliki potensi untuk itu. Dia bukan berlatar belakang pengusaha pemburu rente yang mengejar proyek pemerintahan dan besar karena nepotisme. Sebagai kelas borjuasi, ia termasuk dari kalangan borjuasi mandiri yang masih sedikit di Indonesia. Kalangan semacam ini akan gerah terhadap birokrasi yang berbelit dan korup karena membebani usahanya. Ia memiliki potensi menjalankan perannya sebagai marhaenis yang berjuang bersama kaum marhaen membangun struktur sosial yang berkeadilan.

Pemerintahannya sudah memulai langkah memberantas pemburu rente dan kabir sebagai mafia dalam sektor migas, pangan, illegal fishing, dan illegal minning. Namun, kembali lagi pada persoalan konsolidasi untuk membangun ekonomi bangsa yang mandiri. pemerintahan Jokowi juga tidak steril. Sebagian tidak memiliki komitmen terhadap jalan Trisakti. salah Satunya : Pemutihan Lahan Sawit Illegal sebanyak 3,3 Juta Hektar, menjadi wajar ketika kita mempertanyakan komitmennya terhadap Komitmennya terhadap Penerapan dan Pelaksanaan Trisakti Sukarno.

Apa yang seharusnya atau sebaiknya dikerjakan pemerintahan Jokowi-Amin dengan situasi yang serba mendesak ini seperti darurat ekonomi, darurat korupsi, darurat agraria, dan darurat kebudayaan?

Pemerintahan Jokowi seharusnya mengoreksi semua peraturan dan kebijakan yang dibuat sejak tahun 1967 kalau bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. Ketika sebuah konglomerasi bisa menguasai tanah sampai ratusan ribu hektar akibat kedekatannya dengan kekuasaan di masa lalu, padahal jutaan kaum tani hanya menjadi gurem, tentu sulit membangun ekonomi pedesaan sebagaimana menjadi salah satu program Nawacita. Rohnya kemandirian ekonomi bangsa ada di Pasal 33 UUD 1945. Peninjauan ulang kontak pertambangan yang merugikan negara dan memarginalkan rakyatnya, penguatan koperasi berbasis pembangunan pedesaan, hingga reforma agraria sejati harus dijalankan. Jadi perlu gerakan nasional untuk kembali ke Pasal 33 UUD 1945.

Hal tersebut tentu akan diganggu sejumlah pihak dalam dan luar negeri. Dari dulu juga begitu, kolonialisme bisa masuk dan berkembang dengan menggunakan jaringan dan budaya feodalisme. Belanda bisa menjajah di sini karena diundang masuk ketika Pangeran Haji bekerjasama dengan VOC menggulingkan bapaknya sendiri, Sultan Ageng Tirtayasa. Setelah Pangeran Haji menjadi raja, kerajaan Banten memberikan hak monopoli kepada VOC yang menjadi cikal bakalnya menguasai perdagangan di Pulau Jawa dan Nusantara. Pada abad 19, tanam paksa juga bisa terlaksana karena peran bupati sebagai pengawas dan kepala desa sebagai mandor. Sama halnya dengan sekarang, nekolim tidak akan masuk kalau tidak diundang dari dalam. Para pemburu rente dan kabir tidak akan tinggal diam untuk mempertahankan eksistensinya. Mereka tetap ingin menjadi benalu. Dan sayangnya juga, masyarakat kita mudah dipecah belah konsentrasinya dengan isu SARA sehingga mengganggu proses konsolidasi bangsa.

Perubahan harus dimulai dari atas dengan kristalisasi di pemerintahan dari pusat hingga daerah untuk menjalankan Trisakti. Revolusi mental tidak akan berjalan baik kalau tidak ada perjuangan strukural. Persoalan kultural tidak berada dalam kevakuman, ia berada pada konteks struktural menyangkut proses akumulasi modal dan pembentukan-pembentukan sosial yang berlangsung lama dan meluas. Sayangnya saya sendiri Pesimis, melihat Jokowi hari ini, berbagai kebijakannya selalu bertolak belakang dengan apa yang digembar gemborkannya selama Kampanye 2019 atau 2014.

Apakah program Trisakti dan Nawacita ini riil dan sakti di tangan pemerintahan Jokowi-Amin dalam mengatasi berbagai masalah yang serba darurat ini?

Harusnya dari awal berkuasa Pemerintahan Jokowi memiliki komitmen membangun iklim usaha sehat dan pemerataan pembangunan. Pembangunan infrastruktur masif di berbagai daerah, perluasan akses usaha, hingga debirokratisasi mulai dijalankan namun tetap jangan menggusur tanah Kaum Marhaen. Borjuasi nasional mandiri bisa tumbuh berkembang untuk membuat lompatan strategi industrialisasi berbasis penguasaan teknologi. Namun industri yang masuk ke Indonesia sejak Orde Baru dibangun tanpa visi melakukan alih teknologi. Borjuasi nasional mandiri bisa memberi kontribusi besar bagi perekonomian nasional. Pasal 33 UUD 1945 dimaksud para pendiri bangsa, seperti Bung Karno dan Bung Hatta, untuk membangun masyarakat sosialisme Indonesia. Kelas borjuasi bisa tumbuh sepanjang tidak melakukan eksploitasi, penindasan, serta mendorong kemajuan dan kemandirian ekonomi nasional. Namun jangan mimpi soal sosialisme Indonesia jika tahap feodalisme saja masih belum tuntas dilewati, sebagaimana tercermin dari masih banyaknya para pemburu rente dan kabir.

Perubahan sosial masyarakat Indonesia pasca Majapahit ketika feodalisme yang menguat bertemu kolonialisme dan kapitalisme. Setelah Majapahit runtuh, tidak ada kekuatan politik besar di Nusantara sehingga menguntungkan VOC untuk menguasai perdagangan di Nusantara. Dikatakan feodalisme menguat karena setelah VOC memusnahkan golongan menengah (para pemilik kapal serta pedagang antar pulau dan internasional), tradisi kebangsawanan menjadi berkembang sedangkan tradisi ekonomi mengecil. Bahasa Jawa yang di zaman Majapahit hanya tiga tingkat kemudian menjadi delapan tingkat sehingga semakin lebar jarak penguasa dan rakyat jelata. Perkembangan feodalisme ini menjadi tradisi dan membuka jalan bagi politik kolonialisme selanjutnya dan dampaknya masih terasa hingga sekarang.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image