Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Abdul Azziz

Pancasila Ide Penuntun

Eduaksi | 2021-12-28 12:10:55

Pancasila: Sebagai Ide Penuntun

Pancasila masih terus diperbincangkan, terutama menyangkut konsekuensi sila pertama: apakah ia mendukung konsep Negara sekuler atau berbasis agama? Piagam Jakarta selalu kembali problematis karena memori itu memang menyangkut fakta mayoritas penganut Islam. Karena itu, membayangkan Pancasila sebagai ideology non-doktriner akan lebih produktif bagi penyelenggaraan demokrasi. Pancasila lebih layak dijadikan ide penuntun dan bukan sebagai ide pengatur. Kemajemukan harus tumbuh dari percakapan etika politik.

Dalam diskursus kritik, kebenaran adalah ampas dari perspektif. Seketika prespektif berubah, kebenaran segera menjadi barang bekas. Jadi, tidak ada sebenarnya persaingan kebenaran, karena perspektif selalu ada dalam kondisi semiotis. Pertengkaran tentang kebenaran hanyalah ekspresi dari penyesalan terhadap kondisi falibilis dari politik. Akan tetapi, itulah hakikat kemajemukan dalam demokrasi, ia dibuat justru untuk menampung potensi falibilis manusia.

Bagaimana mempertahankan status Pancasila sebagai “kesepakatan dasar” dari suatu masyarakat majemuk? Bernegara membutuhkan “kesepakatan dasar”. Formalnya, itu adalah “Konstitusi” (dalam arti luas juga termasuk konvensi-konvensi ketatanegaraan). Namun, lebih dari itu, diperlukan semen social untuk merekatkan kehangatan pergaulan antara warga Negara. Suatu “etika publik” harus diberlakukan agar transaksi politik dalam proses bernegara dapat tumbuh dalam suasana “sekuler”, yaitu suasana yang tanpa obsesi eskatologis. Saya menyebut sebagai “etika publik” dalam arti prinsip yang dihasilkan melalui transaksi argument, dan bukan mengikuti tutorisasi politik yang doctrinal. Tentunya dalil agama dapat juga mengisi diskursus sekuler etika public dengan cara mentransliterasikan dalil-dalil teologisnya ke dalam proposisi-proposisi sosiologis agar ia dapat diargumentasikan secara majemuk. Konsep “adil dan sejahtera” dalam wilayah teologis, misalnya, harus dapat ditranslasikan ke dalam model keadilan empiric dan diargumentasikan secara rasional agar tak berhenti sebagai postulat moral yang ahistoris. Pun seluruh obsesi teologis adalah sah sebagai pengalaman nyata warga Negara dan karena itu ia menuntut pengakuan Negara. Akan tetapi, justru karena itu harus diterima pengandaian rasional bahwa ruang demokrasi tak boleh dihuni secara menetap oleh suatu “comprehensive doctrine”, termasuk bila Pancasila juga beralih menjadi “comprehensive doctrine”, yaitu system ideology yang berambisi mengatur semua soal sosiologis dengan ketentuan-ketentuan teologis yang absolut.

Kesepakatan dasar bernegara tentu diperlukan, tetapi bukan untuk menghalangi ekspresi pikiran politik warga Negara. Kesepakatan dasar itu menjamin tertib social secara etis, tetapi bukan secara hokum. Artinya, kedudukan Pancasila sebagai “dasar Negara”, maksimal dimaksudkan sebagai penanda bagi relasi etis antar warga Negara. Kematangan berdemokrasi tak memerlukan terlalu banyak aturan hokum. Justru bila terdapat banyak aturan, maka pergaulan warga Negara menjadi terlalu teknis. Kehangatan bernegara harus diselenggarakan dalam kultur kemajemukan pandangan hidup warga Negara. Itu artinya harus diaktifkan suatu etika sekuler yang memungkinkan percakapan (dan bahkan perselisihan pendapat) tumbuh dalam ruang public yang deliberative. Hukum menjamin pemenuhan hak dan pemulihan ketertiban, tetapi bernegara mengandaikan kemampuan etis warganegara untuk hidup dalam perbedaan. Menjadi tugas Negara untuk mengaktifkan percakapan etis warga Negara, tanpa mengarahkan pilihan hidup masing-masing, karena demokrasi hanya mampu menyediakan “ruang hidup bersama” sambil menghormati “tujuan hidup masing-masing”.

Pancasila harus dipahami dalam paradigm itu. Menyebut Pancasila sebagai “ideology Negara” harus dipahami sebagai sekedar “ide penuntun” dan bukan sebagai “ide pengatur”. Sebagai ide penuntun, ia tak boleh menentukan pilihan orientasi politik dan semua prefernsi hidup individu. Pancasila memang tak boleh difinalkan agar ia tak berubah menjadi doktrin.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image