Kembali pada Konstitusi Anti-Kolonialisme!
Politik | 2023-07-05 06:11:59Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, tepatnya tanggal 18 Agustus 1945, sebuah konstitusi baru telah ditetapkan oleh Panitia yang ditunjuk untuk menyempurnakan kemerdekaan Indonesia, dengan tambahan 6 orang dari kalangan pemuda, diantaranya, Sukarni, Chaerul Saleh dan Wikana. Itulah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Konstitusi negara kita.
UUD ini pada dasarnya, selain dimaksudkan untuk memenuhi kelengkapan pendirian negara baru ini, juga ditujukan untuk memperkuat kemerdekaan negara yang sedang menghadapi ancaman serius dari negara-negara imperialis-kolonialis. UUD ini mempunyai sifat anti-kolonialisme dan anti-imperialisme yang sangat kental. Di bagian pembukaannya dinyatakan bahwa kemerdekaan merupakan hak segala bangsa, dan tercantum seruan ke arah penghapusan penjajahan kolonial di atas dunia.
Dalam perjalanannya, Indonesia beberapa kali mengalami pergantian konstitusi, yaitu tahun 1949 dengan konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), lalu pemberlakuan UUDS 1950, dan terakhir kembali pada UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Konstitusi RIS sangat berbau federalistik, dan sangat sesuai dengan taktik kolonial untuk melakukan penetrasi di negara-negara bagian.
Segera setelah rezim Soeharto berkuasa secara sporadik, UUD 1945 mengalami “pengkultusan” yang luar biasa dalam berbagai cara, namun jiwa dan sifat anti-kolonialnya sudah dihilangkan. Naiknya Soeharto sudah merupakan penghianatan terhadap UUD 1945, karena telah memutar-haluan politik, ekonomi, dan kebudayaan; telah melakukan pembunuhan dan penyiksaan terhadap jutaan kaum kiri dan nasionalis selama 1965-1966.
Selain itu, pada awal kekuasaannya, Soeharto pun menyetujui pengesahan UU Penanaman Modal Asing (PMA) (dengan "memaksa" Sukarno untuk menandatangani nya), yang telah merestorasi kekuasaan kolonialis dalam lapangan ekonomi di Indonesia. Tidak berhenti di situ, Soeharto telah melembagakan “kediktatoran militeristik” dengan menindas gerakan rakyat dan membunuh kehidupan demokrasi, padahal UUD 1945 menempatkan kedaulatan rakyat sebagai hal yang harus diutamakan dan mengakui prinsip-prinsip demokrasi.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa rezim Soeharto telah melakukan penyelewengan besar-besaran terhadap UUD 1945, menjadikannya sebagai dogma yang kasar dan menjauhkannya dari lapangan praktik. Salahnya, kemudian, ada yang menganggap bahwa Soeharto identik dengan Pancasila Dan UUD 1945. Padahal, jika kita perhatikan secara seksama, praktik kekuasaan rezim Soeharto sangatlah bertolak belakang dengan UUD 1945.
Paska kejatuhan Soeharto (reformasi?), UUD 1945 sudah empat kali mengalami perubahan (amandemen). Sebagian besar amandemen ini didorong oleh beberapa hal: Pertama, semangat anti-Soeharto yang kebablasan, seolah-olah Soeharto identik dengan Pancasila Dan UUD 1945, sehingga inti-sari UUD 1945 warisan founding father, yaitu pasal 33 UUD 1945, pun turut dibongkar. Kedua, ada kecenderungan untuk melemahkan UUD 1945, menghilangkan sifat anti-kolonialisme dan anti-imperialisme, demi membuka jalan kembali bagi neo-kolonialisme dan imperialisme.
Jadinya, perubahan ini justru menjadikan UUD 1945 hasil amandemen sebagai kuda tunggangan kepentingan neo-kolonialisme untuk menjajah kembali bangsa dan tanah air Indonesia.
Lebih parah lagi, bahwa proses amandemen ini dilakukan tanpa sedikit pun melalui konsultasi dengan seluruh rakyat. Di bawah pemerintahan Jokowi, konstitusi UUD 1945 makin diperlakukan tidak bagus, terkait berbagai praktik kebijakan ekonomi, politik, dan budaya yang menindas rakyat; pendidikan dan kesehatan diserahkan kepada pasar, sebagian besar rakyat masih menganggur, kekayaan alam sebagian besar diserahkan pada pihak asing, fakir miskin dan anak terlantar diabaikan negara, dan lain sebagainya. Pada intinya, Jokowi telah menjadi “penganut garis keras” kebijakan neoliberalisme,–jubah baru dari neo-kolonialisme modern(tak ada bedanya dengan rezim sebelumnya dalam Masa Pasca Mei 1998).
Tidak ada pilihan lain; jika kita hendak meluruskan kembali rel perjalanan bangsa ini, maka kita harus kembali kepada jiwa dan semangat proklamasi itu sendiri, termasuk di dalamnya adalah UUD 1945 yang anti-kolonialime dan anti-imperialisme.
Namun demikian, sehubungan dengan perubahan zaman dan perkembangan masyarakat kita, tidak menutup kemungkinan bahwa beberapa pasal dalam UUD 1945 itu memerlukan perubahan-perubahan. Namun, perlu kita tegaskan, bahwa setiap perubahan terhadap konstitusi harus melalui konsultasi dan persetujuan rakyat.
Dengan kembali pada jiwa UUD 1945 yang anti-kolonial dan anti-imperialis, maka kita telah menemukan kembali Revolusi kita!
YUDYA PRATIDINA MARHAENIS!
MERDEKA!
(Bandung, 5 Juli 2023)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.