Waste to Energy: Kolaborasi Sektor Publik dan Swasta dalam Pengelolaan Limbah
Eduaksi | 2023-07-03 15:33:16Waste to Energy: Menilik Kolaborasi Sektor Publik dan Swasta dalam Pengelolaan Limbah Sampah Menjadi Energi
(Studi Kasus TPST Bantar Gebang)
Limbah adalah masalah yang sangat krusial di setiap daerah bahkan negara, terutama limbah sampah. Sampah yang tidak dikelola dengan baik akan berdampak buruk bagi lingkungan khususnya sampah yang sifatnya sulit terurai. Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam masalah limbah karena ini berkaitan dengan kepentingan dan kenyamanan publik. Dalam mengatasi masalah sampah pemerintah tidak bisa mengatasi sendiri, pemerintah perlu berkolaborasi dengan pihak swasta. Dengan adanya kolaborasi yang baik maka dapat mengatasi masalah sampah menjadi lebih efektif, seperti di negara Singapura pihak pemerintah dan swasta bahu-membahu dalam mengatasi masalah sampah di negaranya, terdapat industri pengelolaan sampah yaitu Tuas Nexus yang dimana industri tersebut merupakan industri pengelolaan sampah yang dapat mengelola 75 ton sampah per hari menjadi tenaga listrik. Upaya tersebut dapat dicontoh oleh Indonesia dalam mengatasi masalah sampah.
Berdasarkan data jumlah sampah di Indonesia hanya 40% yang dapat dikelola dan hanya 5% yang dapat di daur ulang, hal ini dipicu karena belum meratanya kolaborasi antara pemerintah dan swasta dalam mengatasi masalah sampah. Industri-industri pengelolaan sampah hanya terpusat di pulau Jawa. Maka dari itu pemerintah mulai mengepakkan sayapnya untuk berkolaborasi dengan pihak swasta. Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang adalah salah satu contoh nyata bahwa pemerintah telah melakukan kolaborasi dengan pihak swasta dalam mengelolah sampah. Tepat tahun 2020 pemerintah DKI menginiasikan dengan melibatkan sektor swasta dalam pengelolaan masalah sampah di Bantar Gebang. Sejak tahun 1989 TPST Bantar Gebang telah digunakan untuk menampung sampah dari Jakarta, tempat ini dikelola oleh kerjasama antara pemprov DKI Jakarta dengan pemkot Bekasi.
Pada awalnya dalam proses pengelolaan sampah di TPST Bantar Gebang pemprov DKI Jakarta menerapkan konsep pengelolaan dengan menggunakan sistem open dumping dan sanitari landfill atau menimbun sampah dengan tanah merah kemudian akan ditutup menggunakan geomembrane, sistem tersebut menyebabkan kerusakan lingkungan karena menghasilkan air lindi dan gas metana. Upaya pengoptimalan proses pengelolaan sampah terus dilakukan sampai dikeluarkannya undang-undang pengelolaan sampah. Pada tahun 2020 volume sampah di Bantar Gebang sekitar 7.000-8.000 ton sampah per hari yang diangkut oleh 1.200 truk sampah, bahkan sekarang telah mengalami kenaikan sampai pada 8.000 ton per hari. Diantara sampah-sampah tersebut sekitar 60% sampah berasal dari sampah domestik yaitu sampah rumah tangga. Dengan melihat banyaknya volume sampah yang dihasilkan dan ditampung di TPST Bantar Gebang menjadi pemicu utama masalah yang sangat krusial di tempat ini, daya tampung di Bantar Gebang terus menyusut. Kapasitas maksimum yang bisa ditampung hanya 49 juta ton, pada tahun 2020 kapasitas yang tersisa hanya 10% ditambahkan lagi dengan sistem pengelolaan open dumping dan sanitari landfill telah melampaui ketinggian 35 meter dengan jarak bau mencapai 10 km.
Dengan melihat permasalahan yang ada pemprov DKI Jakarta mengubah sistem pengelolaan sampah menjadi sistem landfill mining yaitu penambangan gas metana dari sampah dengan tujuan ketika sampah yang telah tertimbun di zona landfill mining dapat tereduksi dan kemudian sampah tersebut dapat dimanfaatkan kembali. Pemanfaatan sampah tersebut digunakan untuk sumber energi baru atau refuse derived fuel (RDF). Sistem landfill mining diawali dengan penambangan sampah yang kemudian sampah akan dicacah dan dihaluskan sesuai dengan ukuran tertentu, setelah mendapatkan ukuran yang sesuai, hasil itu akan digunakan sebagai bahan baku refuse derived fuel (RDF). Jika terdapat sisa sampah lama yang tidak sesuai atau tidak layak digunakan untuk bahan baku refuse derived fuel (RDF) maka akan dijadikan tanah humus yang memiliki kesuburan yang baik untuk tanaman.
Dalam pengelolaan sampah menjadi energi baru ini pemprov DKI Jakarta mengajak lembaga pemerintah nonkementerian yaitu Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Dalam kerjasama dengan BPPT sebagian sampah yang terdapat di TPST Bantar Gebang ini diolah menjadi energi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Pembangkit listrik ini dibangun dengan kapasitas 50-100 ton sampah per hari yang akan menghasilkan listrik sebesar 400 kWh. Pengelolaan sampah 2.110,69 ton per hari akan menghasilkan 41.580,61 kW.
Selain dari mengubah sampah menjadi energi listrik, sampah di TPST ini diolah menjadi bahan bakar bagi indutri. Dalam mengolah sampah menjadi bahan bakar industri Pemprov DKI Jakarta tidak hanya mengajak dan berkolaborasi dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), namun melibatkan beberapa pihak swasta diantaranya PT Solusi Bangun Indonesia (SBI). Kolaborasi ini ditujukan untuk mensukseskan tujuan pemprov DKI Jakarta dalam mengelolah TPST Bantar Gebang dengan penerapan sistem pengelolaan baru. Dalam kolaborasi ini pihak swasta sangat mendukung. Sampah yang telah diolah menjadi bahan bakar alternatif atau yang disebut sebagai refuse derived fuel (RDF). RDF ini akan dialokasikan menjadi pengganti batu bara industri semen PT Solusi Bangun Indonesia (SBI). Proses mengubah sampah menjadi bahan bakar diawali dengan penggalian, pencacahan (cruching), pengeringan (drying) dan pengayakan atau pengalusan kemudian akan dikirim ke lokasi pabrik PT Solusi Bangun Indonesia untuk dan hal tersebut dilakukan guna mendapatkan refuse derived fuel (RDF) yang berkualitas.
Dengan adanya sistem pengelolaan landfill mining dan refuse derived fuel (RDF) menjadi solusi untuk mengatasi masalah sampah yang menumpuk di TPST Bantar Gebang. Terdapat 2.000 ton sampah dapat diolah menjadi 700 ton refuse derived fuel (RDF) per hari, yang mana hasil dari olahan tersebut bukan hanya didistribusikan kepada PT Solusi Bangun Indonesia namun ke indutsri semen lain yaitu PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk. Hasil dari refuse derived fuel (RDF) produksi dari TPST Bantar Gebang telah mampu menghasilkan 5.000 (kkal) per kg, yang mana angka tersebut telah memenuhi standar minimum yang dapat diterima oleh kedua perusahaan swasta yaitu PT Solusi Bangun Indonesia (SBI) dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk.
Kolaborasi pemprov DKI Jakarta bukan berhenti sampai disana, namun pemprov DKI Jakarta terus berinisiasi melibatkan sektor swasta dalam mengatasai masalah sampah ini karena seperti yang telah dilakukan sebelumnya dengan menjalin kolaborasi dengan industri semen membuahkan hasil. Selain dari menginisiasikan sampah menjadi energi pemprov DKI Jakarta akan terus berupaya menekan atau mengurangi sampah dari sumber hulu baik sampah rumah tangga maupun lainnya. Dalam upaya ini pemerintah berkolaborasi dengan PT Unilever Indonesia, dalam kolaborasi ini PT Unilever Indonesia akan membantu pemprov DKI Jakarta dalam mengurangi sampah dari sumber hulu, yang mana PT Unilever akan mengurangi setengah dari penggunaan plastik baru dengan mengurangi penggunaan kemasan plastik dan menggunakan plastik daur ulang pada produk-produknya.
Berbagai strategi yang dilakukan oleh PT Unilever, mulai dari hulu ke hilir pada model bisnisnya. Dari hulu PT Unilever akan mengembangkan dan menerapkan desain produk yang lebih tahan lama tanpa sekali pakai, dan menggunakan plastik daur ulang bahkan direncakan kedepan tanpa menggunakan material plastik lagi.
Tentunya dalam kolaborasi ini akan selalu ada tantangan yang akan dihadapi, baik tantangan dari faktor internal maupun eksternal. Pada pengelolaan sampah menjadi energi yang telah terlihat hasilnya saja masih terdapat celah yang harus diatasi bersama. Tantangan tersebut dapat dilihat dari kebutuhan dari industri semen yang lebih banyak daripada hasil yang dikeluarkan dari proses pengolahan sampah tersebut, terdapat 2.500 ton refuse derived fuel (RDF) per hari yang dibutuhkan oleh industri semen PT Solusi Bangun Indonesia (SBI) dan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, namun sekarang produksi hanya 700 ton per hari, maka dari itu masih ada kesenjangan kebutuhan. Hal tersebut dapat dikatakan masih ada ruang untuk terus melakukan inovasi dalam pengolahan sampah menjadi energi ini. Pemerintah dapat terus berkolaborasi dengan pihak lain, seperti dari para investor, yang mana nantinya investor dapat mendukung dari segi teknologi yang ada, teknologi yang semakin canggih dan baik akan semakin cepat menghasilkan output.
Upaya kolaborasi yang telah dilakukan harus didukung juga oleh berbagai lapisan masyarakat, akan percuma saja jika dari masyarakat tidak ikut serta berpartisipasi dalam upaya pemprov DKI Jakarta dan pihak swasta dalam mengurangi jumlah sampah yang menumpuk tanpa pengelolaan lebih lanjut di TPST Bantar Gebang. Dukungan masyarakat ini dapat menjadi sebuah tantangan pemprov DKI Jakarta dan pihak swasta dalam pengelolaan masalah sampah, jika tidak adanya dukungan maka akan lebih sulit merealisasikan inisiasi dan strategi yang telah direncanakan.
Contoh sederhana dukungan masyarakat adalah mengurangi penggunaan barang yang bermaterial plastik terutama barang sekali pakai, membiasakan untuk memilah sampah, sampah kering dan basah, karena jika sampah telah terpisah dengan baik akan lebih mudah proses mengubah sampah antara menjadi bahan bakar refuse derived fuel (RDF) atau menjadi tanah humus. Namun, ini juga tidak terlepas dari upaya pemerintah dan swasta selain bertindak sebagai pelaku dalam proses pengelolaan sampah perlu juga untuk terus mengkampanyekan dan mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai pengelolaan sampah sehingga masyarakat semakin mengerti dan ikut serta mendukung upaya pemerintah dan swasta dalam pengelolaan masalah sampah ini.
Kolaborasi pemerintah dan swasta dalam pengelolaan limbah yaitu limbah sampah dapat menjadi pendekatan yang lebih efektif untuk mengatasi masalah sampah yang sangat kompleks. Karena jika hanya dikerjakan oleh pemerintah saja maka akan sangat tidak efektif jika dilihat dari upaya yang dilakukan nanti akan tidak sebanding dengan jumlah atau kuantitas sampah yang ada. Maka dari itu perlu adanya dukungan dalam bentuk kolaborasi dari berbagai pihak dalam hal ini pihak swasta dalam mendukung pengelolaan sampah yang lebih baik di TPST Bantar Gebang yang selama ini kita ingat sebagai tempat sampah buruk tanpa pengelolaan yang baik, namun setelah adanya upaya pemprov DKI Jakarta dengan berkolaborasi dengan swasta stigma tersebut akan perlahan menghilang dan justru kita sebagai masyarakat akan semakin bersemangat mendukung gerakan yang telah dilakukan.
Referensi :
Tatan Sukwika. (2020). Status Keberlanjutan Pengelolaan Sampah Terpadu di TPST-Bantargebang Bekasi: Menggunakan Rapfish dengan R Ststistik. Jurnal Ilmu Lingkungan: UNDIP
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.