Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image NINDYA CIPTA KARIZA

Perlindungan Perempuan dan Maraknya Kasus Kekerasan Seksual

Info Terkini | Monday, 27 Dec 2021, 20:38 WIB

Beberapa waktu lalu publik dibuat heboh dengan kasus pemerkosaan yang dialami belasan santriwati di daerah Bandung kawasan Cibiru yang terjadi dari tahun 2016 hingga 2021 dan diantaranya sudah melahirkan.

Berdasarkan informasi yang beredar, aksi bejat itu dilakukan oleh Herry Wirawan (36), guru yang juga disebut sebagai pemimpin pesantren. Adapun beberapa fakta terkait kasus pemerkosaan tersebut yakni : Anak yang lahir dari santriwati korban pemerkosaan Herry Wirawan sebanyak 9 bayi, dan dua anak masih dalam kandungan, anak yang lahir dijadikan alat untuk meraup donasi, dilakukan di pesantren-hotel pakai dana sumbangan.

Proses hukum hingga kini masi berjalan dengan ancaman pidana bagi pelaku dengan UU Perlindungan anak disertai pemberatan yakni 20 tahun. dari kasus tersebut dapat disimpulkan otak kejahatan seksual dapat berasal dari mana saja, bahkan pondok pesantren yang dianggap tempat menimba ilmu agama.

Adapun kasus kasus kekerasan seksual lain di tahun 2021 seperti, Pelecehan pegawai KPI, 3 Anak Diperkosa Ayah Kandung di Luwu Timur, pelecehan oleh oknum dosen di Universitas Riau, dan masih banyak lainnya.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), dalam tiga tahun terakhir ada 26.200 kasus kekerasan pada perempuan. Pada 2019 tercatat sekitar 8.800 kasus kekerasan pada perempuan, kemudian 2020 sempat turun di angka 8.600 kasus, dan kembali mengalami kenaikan berdasarkan data hingga November 2021 di angka 8.800 kasus. Dilansir dari data tersebut maraknya isu kekerasan seksual yang terus meningkat hingga tahun ini sudah semestinya ditangani dalam berbagai upaya preventif maupun represif, sehingga tidak perlu adanya degradasi moral yang ada pada masyarakat.

Payung Hukum Upaya Pemberantasan Kekerasan Seksual

Tentu saja pemerintah dan aparat penegak hukum dalam hal ini tidak tinggal diam dalam upaya preventif maupun represif. berbagai upaya yakni yang Pertama, dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 70 tahun 2020. PP tersebut mengatur tentang hukuman kebiri kimia bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Sebelumnya aturan ini menuai pro-kontra dikalangan masyarakat, lantaran bertentangan dengan nilai-nilai HAM. Namun tidak sedikit yang menilai pengaturan ini merupakan trobosan baru dalam penegakan hukum progresif. Adanya PP ini merupakan bentuk keseriusan Pemerintah dalam hal upaya memberantas kejahatan seksual pada anak.

Kedua, Melalui Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021. Permendikbud tersebut berisikan tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di ruang lingkup Perguruan Tinggi. Sehingga peraturan ini adalah bentuk respon serta upaya pencegahan persoalan kekerasan seksual yang berperspektif korban pada lingkup Kampus. kadati demikian Peraturan ini menuai pro-kontra karena dianggap melegalkan zina. Padahal tidak ada satu pasal pun yang membahas secara eksplisit persoalan legalisasi perzinaan. Sehingga frasa "persetujuan korban" yang dianggap sebagai legalisasi zina pada intinya hanya berdasar pada penafsiran dan tergantung cara pandang.

Disamping adanya pembaharuan hukum yang diberlakukan, dalam hal preventif dan represif juga mengedepankan institusi yakni Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). yang mana dalm hal pemberantasan Kekerasan seksual komnas perempuan terus berupaya untuk melakukan pemantauan,termasuk pencarian fakta dan pendokumentasian tentang segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan pelanggaran hak asasi perempuan, serta penyebarluasan hasil pemantauan kepada publik dan pengambilan langkah yang mendorong pertanggungjawaban dan penanganan.

Pemerintah dan Aparat penegak hukum mengambil peran dalam upaya pencegahan secara masif. Namun lagi lagi berkaca dari 4-6 bulan terakhir nyatanya masih banyak kasus kasus yang melibatkan kekerasan terhadap perempuan terutama kekerasan seksual. hal ini membuktikan bahwa belum adanya bentuk keseriusan dalam hal upaya pemberantasan Kekerasan seksual, sehingga dapat menjadi evaluasi kedepan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image