Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dimas Muhammad Erlangga

Revolusi Mental (Yang Sebenarnya) Jawabannya!

Politik | Saturday, 01 Jul 2023, 14:38 WIB

Republik Indonesia sudah hampir akan menginjak 78 tahun merdeka. Namun, cita-cita kemerdekaan, yaitu masyarakat adil dan makmur, masih jauh dari kenyataan.

Lihat saja kenyataan di sekitar kita: kemiskinan, ketimpangan sosial, pengangguran, korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) yang merajalela, dan masih banyak lagi. Semua itu menunjukkan ada persoalan besar yang dihadapi bangsa ini dan tidak kunjung disentuh untuk diselesaikan.

Apa sebetulnya persoalan besar bangsa ini? Bagaimana menjawab persoalan bangsa tersebut? Apakah pemerintahan Jokowi-Amin (Jokowi Jilid 2) Saat ini bisa menjawab persoalan itu? Rentetan pertanyaan itu perlu mendapatkan jawaban.

Sudah 78 tahun merdeka, tampaknya kita belum berangkat juga menuju Indonesia adil dan makmur sebagaimana cita-cita Proklamasi 1945. Dari Obrolan Warkop Hingga Sekolah-Sekolah, semua orang menjawab hal yang sama, Sebagian besar menjawab: Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN).

Tetapi ada pandangan juga bahwa korupsi bukanlah masalah mendasar. Imperialisme atau neokolonialisme sebagaimana Presiden Sukarno menyebut kondisi penjajahan baru pasca kemerdekaan, masihlah menjadi pengganjal utama. Karena itu tanpa mengerti persoalan mendasar yang dihadapi Republik. Harapan terhadap KPK, misalnya, bisa menjadi sia-sia. Kegaduhan politik justru yang ditimbulkan sebab KPK pun dapat menjadi lembaga baru untuk melakukan juga tindakan kongkalikong politik seperti yang ditunjukkan dengan fenomena tebang pilih dalam menjerat koruptor, menjadi alat pecah belah. Namun sekarang KPK sebagai benteng terakhir melawan rasuah ini diamputasi gerak geriknya lewat Revisi UU KPK tahun 2019, dan sekarang betul betul menjadi macan ompong, gampang terpengaruh oleh intrik politik kekuasaan.

Tentu saja, kalau kita mau ambil akarnya situasi ini cukup mudah dianalisis dengan Trisakti. Politik kita tidak bisa berdaulat penuh karena proses pengambilan keputusan bisa dipengaruhi kekuatan asing, apalagi soal kemandirian ekonomi dimana konsolidasi kekuatan nasional tidak menunjukkan hasilnya. Kepercayaan diri untuk mengelola sumber daya belum muncul sehingga soal pangan kita dipaksa makan gandum, padahal ada beras, jagung, umbi-umbian sorgum, sagu dan lain-lain, yang sangat mungkin untuk memenuhi pangan nasional dengan diversifikasi pangan. Termasuk soal energi dari Sumber Daya Alam (SDA) yang kita miliki; minyak, gas, panas bumi, surya, angin, dan lain-lain. Serta kepribadian dalam kebudayaan yang memiliki nilai-nilai khas: gotong-royong, budi pekerti, rembug-an dan seabreg produk-produk budaya dan seni. Namun semua itu rontok ketika nilai individualis-liberalis mendominasi dan pragmatisme menjadi nilai yangg makin universal, maka korupsi sebagai jalan pintas menjadi persoalan besar. Soal kelembagaan bisa dikoreksi, namun soal tata nilai dengan nafsu besar kemewahan instan makin menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme. Selebihnya, keberanian seorang pemimpin yang harus didukung dengan konsensus warga bangsa. Untuk mengeksekusi. Sayangnya rumit sekali situasi hari ini, dengan sistem yang dibangun, malah menghasil Produk yang korup seperti Orde Baru. Orde Baru dan Orde Reformasi seperti sama saja kemasannya.

Kita lihat akhir-akhir ini bangsa kita dihadapkan pada banyak persoalan dan kelesuan ekonomi menjadi tema sentral. Beberapa paket kebijakan ekonomi dan penyederhanaan regulasi lewat Produk Yang bernama Omnibus Law dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatasi kelesuan ekonomi. Sebagai ikhtiar politik ekonomi itu bagi sebagian sudah benar, namun dengan mengorbankan rakyat jelas salah. situasi ekonomi global memang harus mendapatkan respon agar ekonomi nasional tidak tertular dan makin parah. Kita harus punya inisiatif. Inspirasi Bung Karno soal Konferensi Asia-Afrika bisas ditarik untuk mencari solusi global bersama. Lobi internasional menjadi sangat penting. Sekaligus kita menguji kemampuan bangsa!. Jika saya boleh sebut Jokowi tak sehebat Sukarno. Kenapa? Jokowi Tak Pandai Rem Investasi Asing yang merugikan bangsa, seperti Sukarno dahulu.

apakah ada yang membedakan Pemerintahan Jokowi-Amin dengan pemerintahan-pemerintahan reformasi sebelumnya? Sebuah kelanjutan atau pertentangan? Kita lihat misalnya hutang luar negeri dan investasi asing tetap menjadi andalan dalam membangun negeri. Jelas Tidak ada bedanya.

apa yang seharusnya atau sebaiknya dikerjakan pemerintahan Jokowi-Amin dengan situasi yang serba mendesak ini seperti darurat ekonomi, darurat korupsi, darurat agraria, darurat kebudayaan dan hak asasi manusia? Jelas Revolusi mental itu jawabannya. Tapi bukan sekedar Omong saja Revolusi Mental, tapi implementasi nya masih menghasilkan mental mental komprador-borjuasi.

Apakah program Trisakti dan Nawacita ini riil dan sakti di tangan pemerintahan Jokowi dalam mengatasi berbagai masalah yang serba darurat ini?

Hanya dengan keyakinan dan kesungguhan yang bisa mewujudkan itu! Tapi hampir menginjak 9 Tahun ini tak pernah ada perubahan yang berarti.

YUDYA PRATIDINA MARHAENIS!

Merdeka!

(Bandung, 1 Juli 2023)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image