Ilmu Kalam Menurut Ibnu Khaldun
Agama | 2021-12-27 15:15:40Kitab al-Muqaddimah karya Ibnu Khaldun tidak hanya memotret secara utuh mengenai bangkit dan jatuhnya negara dalam sejarah dan kebudayaan Arab Islam melalui kacamata ashabiyyah semata melainkan juga mengandung sejarah ide-ide mulai dari filsafat sampai ke ilmu sihir dan perbintangan yang muncul dari tradisi kesejarahan Arab Islam itu sendiri.
Dalam menjelaskan sejarah ide-ide dan munculnya pengetahuan dalam kebudayaan Islam, Ibnu Khaldun mendeskripsikan semuanya dengan sangat menarik dengan titik tolak sebagai seorang epistemolog yang kritis meski terkadang wajah keasy’ariyyahannya muncul dalam pembahasan-pembahasan mengenai teologi kalam.
Dalam ulasannya mengenai ilmu kalam, Ibnu Khaldun mendefinisikan bahawa ilmu kalam ialah:
علم يتضمن الحجاج عن العقائد الإيمانية بالأدلة العقلية والرد على المبتدعة المنحرفين في الاعتقادات عن مذاهب السلف وأهل السنة.
“Ilmu yang mencakup argumen-argumen untuk membela keyakinan agama dengan menggunakan bukti-bukti rasio dan mematahkan argumen-argumen lawan dari kalangan pembuat bidah yang melenceng dari jalan ulama salaf dan ulama Ahlu Sunnah dalam keyakinan.”
Melalui penjelasan Ibnu Khaldun ini, kita dihadapkan kepada dua definisi ganda dimana yang pertama dan yang kedua merefleksikan fase perkembangan tertentu ilmu kalam. Fase pertama, yakni “ilmu yang mencakup argumen-argumen untuk membela keyakinan agama dengan menggunakan bukti-bukti rasio” ialah fase ilmu kalam yang masih berada dalam genggaman aliran muktazilah.
Sejak awal kemunculannya, ilmu kalam ini digunakan oleh Muktazilah untuk mengkonter narasi-narasi yang gencar menyerang teologi Islam. Karena itu, ilmu kalam yang berisi argumen-argumen rasional dengan sangat baik digunakan Muktazilah di masanya untuk menghantam basis-basis teologis non-Islam. Ilmu ini sangat efektif di masanya dan di tangan Muktazilah mampu mengislamkan banyak penganut-penganut non-Islam.
Sedangkan fase kedua, yakni “mematahkan argumen-argumen lawan dari kalangan pembuat bidah yang melenceng dari jalan ulama salaf dan ulama Ahlu Sunnah dalam keyakinan,” hanya berlaku bagi ilmu kalam yang dirintis oleh aliran al-Asy’ariyyah.
Kendati mencerminkan dua fase berbeda dari perkembangan ilmu kalam, menariknya, definisi ganda ini merefleksikan afiliasi Ibnu Khaldun terhadap aliran al-Asy’ariyyah. Pasalnya, ide dan gagasan yang terkandung dalam fase kedua ilmu kalam ini ialah upaya mematahkan argumen-argumen pembuat bidah yang melenceng dari garis pemikiran ulama salaf dan ahlusunnah dan itu artinya ilmu kalam digunakan untuk menyerang musuh-musuh al-Asy’ariyyah yang selain Sunni dan Ulama salaf.
Dengan demikian, fase kedua ini ialah fase perkembangan ilmu kalam yang menyerang Muktazilah sebagai sekte yang dianggap telah menyeleweng dari ajaran salaf, atau paling tidak, muktazilah dicap sebagai salah satu bagian dari sekian sekte-sekte bidah lain yang dianggap keluar dari jalan yang benar dalam berteologi. Siapa lagi musuh bebuyutan al-Asyariyyah selain Muktazilah.
Bagi Ibnu Khaldun, ketika membela keyakinan agama dari serangan-serangan kelompok non-islam lainnya, Muktazilah telah menggunakan akal sampai di luar batas-batas jangkauannya, batas dimana akal tidak boleh menyeberangi wilayah yang tak mungkin dapat dijamahnya. Inilah titik kesalahan terbesar Muktazilah menurut Ibnu Khaldun.
Bagi Ibnu Khaldun, akal tidak akan mampu memahami hakikat zat ilahi beserta sifat-sifat-Nya.
Di sisi lain, zat dan sifat itu sendiri merupakan tema sentral dalam bahasan ilmu kalam. Lalu apakah ilmu kalam dapat menggapai pengertian mengenai sifat dan zat Allah? Jika tidak demikian halnya, bagaimana Ibnu Khaldun memberikan justifikasi bagi ketidakmampuan nalar dalam memahami hakikat ketuhanan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, Ibnu Khaldun memulai pembahasannya dengan terlebih dahulu menjelaskan bahwa tujuan utama ilmu kalam ialah tauhid, mengesakan Allah.
Lebih jauh lagi, Ibnu Khaldun mendefinisikan tauhid secara berbeda dari yang kita temukan dalam definisi para ulama lain. Tauhid bagi Ibnu Khaldun ialah:
العجز عن إدراك الأسباب وكيفية تأثيرها وتفويض لك إلى خالقها المحيط بها
“Ketidakmampuan nalar untuk memahami hukum kausalitas dan kelemahannya dalam menafsirkan keterkaitan antara sebab dan akibatnya serta menyerahkan semua proses kausalitas ini kepada Sang Maha Pencipta”.
Jauh sebelum Ibnu Khaldun, dari kalangan al-Asyari sendiri, ada Imam al-Ghazali yang menolak hukum sebab akibat.
Berdasarkan penolakan atas hukum kausalitas ini, ulama asy’ariyyah yang diwakili oleh al-Ghazali memandang bahwa hukum sebab akibat akan menjurus kepada asumsi mengenai ketidakmampuan Tuhan dalam menciptakan dan mengatur alam semesta secara mutlak.
Padahal, bagi kalangan al-Asy’ariyyah, Tuhan memiliki kehendak mutlak yang bebas untuk menciptakan sesuatu berdasarkan tabiat tertentu dan bebas juga dalam menentukan tabiat kebalikannya. Misalnya, Tuhan bebas menciptakan api dengan tabiat panas dan bebas pula menciptakannya dengan tabiat dingin.
Penolakan terhadap hukum kausalitas oleh kalangan al-Asy’ariyyah ini memiliki implikasi yang cukup serius, yakni bahwa mereka terjerumus ke dalam apa yang disebut Ibnu Rusyd sebagai tajwiz ‘pandangan yang serba mungkin’; air bisa jadi api, api bisa jadi udara, udara bisa jadi debu dan seterusnya tanpa ada hukum yang pasti. Prinsip yang serba mungkin ini pada tahap selanjutnya, kata Ibnu Rusyd justru akan menolak ilmu pengetahuan, dan bahkan akan menolak adanya Tuhan sendiri sebagai sumber sebab dan akibat.
Demikianlah, Ibnu Khaldun dan ulama asy’ariyyah pada umumnya memberikan penjelasan mengenai tauhid yang berangkat dari deskripsi mengenai sebab-akibat untuk membuktikan adanya Tuhan, penyebab dari segala sebab (musabbib al-asbab) dan setelah itu, mereka kemudian mengabaikan sebab-akibat itu sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.