Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image feti anilah

Kurangi Emisi Gas Karbon: Kebijakan Transisi Kendaraan Listrik, Efektif?

Info Terkini | Tuesday, 27 Jun 2023, 13:22 WIB

Perubahan iklim global yang semakin terasa mengharuskan setiap negara untuk berkontribusi dalam mengendalikan pemanasan global. Perubahan iklim atau yang biasa disebut dengan pemanasan global ini disebabkan oleh meningkatnya gas rumah kaca pada lapisan atmosfir dalam jangka waktu tertentu. Meningkatnya GRK dipicu oleh aktivitas manusia dalam menggunakan bahan fosil, kegiatan industri, kegiatan alih lahan yang berlebihan, sehingga gas karbon CO2 yang dihasilkan terus menumpuk di lapisan atmosfir bumi. Hal ini yang menyebabkan panas matahari tidak dapat keluar atmosfir karena terhalang gas CO2.

Menurut Aisyi (dalam Alfi & Sudarti, 2021), gas buang yang dihasilkan oleh Indonesia sebesar 4,47%, apabila diurutkan, secara global Indonesia berada diurutan keenam. Tak hanya itu, dikutip dari (Alfi & Sudarti, 2021), menurut Wardhana dalam Lestari, dkk, 2021, gas buang bahan bakar fosil yang dihasilkan dari sektor transportasi sebesar 75%. Karena alasan tersebut, atas kesepakatan dunia untuk mengendalikan pemanasan global tidak lebih dari dua derajat celcius, maka Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Atas komitmen tersebut Indonesia memilih alternatif dengan menerapkan kebijakan pada sektor transportasi dengan beralih dari bahan bakar minyak ke bahan bakar listrik. Namun, apakah kebijakan ini mempu mengurangi emisi gas rumah kaca di Indonesia?

Peraturan Presiden Nomor 55 tahun 2019

Dilansir dari halaman Esdm.go.id, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 20 persen pada tahun 2030. Atas komitmen tersebut, Indonesia menetapkan kebijakan transisi dari kendaraan berbahan bakar minyak ke kendaraan berbahan bakar listrik. Kebijakan tersebut tertuang dalam Perpres Nomor 55 tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) Untuk Transportasi Jalan.

Dikutip dari halaman Menpanrb.go.id, perpres tersebut sebagai upaya percepatan program KBL (kendaraan berbasis listrik) berbasis baterai untuk kendaraan dengan melalui beberapa poin: a. Percepatan pengembangan industri KBL berbasis baterai dalam negeri; b. Pemberian insentif; c. Penyediaan infrastruktur pengisian listrik dan pengaturan tarif tenaga listrik untuk KBL berbasis baterai; d. Pemenuhan terhadap ketentuan teknis KBL berbasis baterai; dan e. Perlindungan terhadap lingkungan hidup.

Maksud dari perpres ini adalah untuk mempercepat pengembangaan industri KBL berbasis baterai, maka dilakukan melalui kegiatan industri KBL berbasis baterai dan atau industri komponen KBL berbasis baterai. Dalam melakukan kegiatan industri tersebut, perusahaan industri wajib membangun fasilitas manufaktur KBL berbasis baterai dalam negeri baik itu dilakukan sendiri ataupun melalui kerja sama produksi dengan perusahaan industri lain.

Penegasan lain dari perpres ini bahwa perusahaan industri komponen kendaraan bermotor dan/atau perusahaan industri komponen KBL berbasis baterai dalam negeri diwajibkan untuk mendukung dan melakukan kerja sama dengan industri KBL berbasis baterai dalam negeri. Maksud lain dari perpres ini yaitu untuk mempercepat program KBL berbasis baterai untuk transportasi jalan, maka pemerintah pusat dan daerah dapat memberikan insetif baik itu dalam bentuk fiskal maupun non fiskal.

Dilansir dari Carmudi.co.id, terkait infrastruktur pengisian daya KBL berbasis beaterai dibagi menjadi dua. Ini tercantum pada pasal 22 bab 14. Pertama, fasilitas paling sedikit pada infrastruktur pengisian daya KBL berbasis baterai terdiri dari peralatan catu daya listrik, sistem kontrol arus, tegangan, komunikasi, dan sistem proteksi keamanan. Kedua, fasilitas pengisian baterai telah memenuhi standar ketentuan ketenagalistrikan sesuai peraturan yang berlaku.

Target Kebijakan Kendaraan Listrik

Di lansir dari dataindonesia.id, pada tahun 2022, menurut Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Indonesia telah mencatat penjualan mobil listrik sebanyak 15.437 unit. Angka ini naik 383,46% dari tahun 2021 yang hanya mencapai 3.193 unit. Sedangkan penjualan mobil listrik global pada tahun 2022 bahkan mencapai 10 juta unit.

Untuk mempercepat program transisi kendaraan berbahan bakar listrik yang dikeluarkan pemerintah Indonesia, melalui Instruksi Presiden No. 7 tahun 2022, Presiden Joko Widodo menginstruksikan kepada internal pemerintahan untuk menggunakan kendaraan dinas operasional berbasis baterai. Dimana anggaran yang digunakan adalan anggaran pendapatan dan belaja negara (APBN) atau pendapatan lain yang sah.

Tak hanya itu, sebagai upaya percepatan program, pemerintah bahkan memberikan subsidi kendaraan listrik sebesar 7 juta rupiah per unit untuk 200 ribu unit motor listrik pada tahun 2023. Sedangkan insetif diberikan untuk kendaraan motor konversi dari bahan bakar minyak ke bahan bakar listrik dengan besaran yang sama 7 juta rupiah untuk 50.000 unit. Pemberian subsidi atau insetif ini harus sesuai ketentuan yaitu tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) minimal 40% yang mana kendaraan listrik tersebut diproduksi di Indonesia.

Komitmen Indonesia pada percepatan kendaraan listrik, pemerintah menargetkan pada tahun 2025 terdapat 1.000 unit Stasiun Pengisian Listrik Umum (SPLU), serta mobil listrik sebanyak 2.200 unit pada tahun 2025. Dan pada tahun 2030, peralihan penggunaan kendaraan berbahan bakar minyak ke kendaraan listrik ditargetkan sebesar 25%.

Percepatan transisi bahan bakar kendaraan ini diharapkan pada tahun 2030 dapat menurunkan emisi GRK sebesar 20%. Dan pada puncaknya, Indonesia dapat mencapai target emisi nol bersih (net zero) di tahun 2060. Komitmen emisi not zero pada Perjanjian Paris ini tidak hanya dijalankan Indonesia saja, tetapi juga negara besar lainnya seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Inggris bahkan Tiongkok melalui pelarangan penjualan kendaraan berbahan bakar minyak secara lebih cepat yaitu di tahun 2035.

Efektifkah Kebijakan Kendaraan Listrik?

Apabila ditinjau dari segi perbandingan antara kendaraan berbahan bakar listrik dengan kendaraan barbahan bakar minyak, maka banyak kelebihan berada pada kendaraan berbahan bakar listrik. Dari efisiensi penggunaan, kendaraan berbahan bakar listrik mampu memanfaatkan 80% energi yang disediakan oleh baterai lithium menjadi gerakan, sedangkan kendaraan berbahan bakar minyak hanya dapat memanfaatkan 12-30% energi dari pembakaran bahan bakar.

Selain itu, pada kendaraan listrik tidak memerlukan mesin pembakaran seperi kendaraan berbahan bakar minyak, sehingga tidak memerlukan knalpot yang dapat menghasilkan suaru bising. Perbandingan lain dari segi biaya, biaya pengisian kendaraan listrik lebih terjangkau karena dapat dilakukan di rumah, dibanding kendaraan bahan bakar minyak yang harus ke stasiun pengisian bahan bakar umum dengan biaya sedikit mahal. Dan yang paling penting, kendaraan listrik tidak menghasilkan polusi udara (namun hanya pada saat dijalankan) seperti kendaraan berbahan bakar minyak yang menghasilkan polusi udara berupa gas buang.

Namun demikian, dari seluruh kelebihan kendaraan listik tidak menutupi kenyataan bahwa kendaraan listrik juga menyumbang polusi udara melalui sumber lain, yaitu proses menghasilkan listrik melalui pembakaran fosil. Semakin banyak kendaraan listik yang dibutuhkan, maka semakin banyak juga fosil yang dibutuhkan untuk menghasilkan listrik. Pada kenyataannya pembangkit listrik terbesar di Indonesia adalah Pembangkit Listrik Tenaga Umum Batu Bara, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa pencemaran udara tetap akan terjadi selama tidak menghentikan operasi PLTU Batu Bara. Tak hanya itu, pembangunan PLT yang tidak merata justru akan menambah persoalan lain bagi wilayah di luar Pulau Jawa seperti biaya yang lebih mahal.

Dikutip dari Envihsa.fkm.ui, pencemaran lingkungan dari penggunaan kendaraan listrik juga dapat ditimbulkan melalui baterai, mengingat baterai memiliki batas pemakaian. Menurut International Council of Clean Transportasion (ICCT), di Amerika Serikat dari 99% baterai bekas yang didaur ulang hanya 5% yang berhasil didaur ulang. Ini menunjukkan bahwa kendaraan listrik tidak ramah lingkungan.

Lalu apakah kebijakan ini efektif diterapkan di Indonesia? Dilihat dari tujuan pemberlakuan kebijakan ini untuk menuju emisi net zero, maka ini mustahil untuk dicapai. Pada kenyataannya penggunaan kendaraan listrik pun juga menyumbang emisi gas rumah kaca. Sehingga ini perlu diperhatikan secara serius oleh pemerintah agar tidak ketergantungan terhadap pembakaran fosil seperti batu baru. Akan tetapi sebagai alternatif dapat menggunakan pembangkit listrik lain seperti panel surya dan turbin kayu.

Sebagai alternatif jangka waktu pendek, usaha untuk mengurangi gas rumah kaca, pemerintah dapat memberlakukan penggunaan transportasi umum secara masif di kota-kota besar untuk mengurangi polusi udara yang ditimbulkan kendaraan pribadi. Tentunya penambahan tranportasi ini disesuaikan dengan jumlah kepadatan di kota besar tersebut. Selain itu, juga menggalakkan penghijauan lahan kosong serta mengurangi pembukaan lahan yang dapat menimbulkan kerusakan ekosistem.

Sumber:

Alfi, K., & Sudarti, S. (2021). Efek Rumah Kaca Oleh Kendaraan Bermotor. Gravitasi: Jurnal Fisika Dan Sains, 4(2).

Envihsa.fkm.ui. (2022). Mobil Listrik: Persoalan atau Pemecahan Masalah? Environmental Health FKM UI. https://www.envihsa.fkm.ui.ac.id

Esdm.go.id. (2020). Pemerintah Dorong Percepatan Program Kendaraan Bermotor. Kementrian Energi Dan Sumber Daya Mineral. https://www.esdm.go.idpe.

JDIH BPK RI. (2019). Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 55 Tahun 2019. Database Peraturan. https://www.peraturan.bpk.go.id.

Menpanrb. (2019). Inilah Perpres No.55/2019 tentang Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai. Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi. htpps://www.menpanrb.go.id

Prastya, M. (2022). Perpres Nomor 55 Tahun 2019 atur Mobil Listrik, Apa Isinya? Carmudi.Co.Id. https://www.carmudi.co.id

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image