Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Lastri Lina Erliyawati

Nilai Sosial dalam Teater Renjana Pemenang untuk Dirinya Sendiri

Sastra | Monday, 26 Jun 2023, 16:41 WIB
Youtube: https://youtu.be/ueUL0Mr-16I

Seni petunjukan merupakan sebuah karya seni yang melibatkan aksi perorangan maupun kelompok pada waktu dan tempat tertentu. Seni pertunjukan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang dilakukan di waktu senggang. Seni pertunjukan pun memiliki empat unsur yang meliputi ruang, waktu, tubuh pemeran dan hubungan pemeran dengan penonton. Salah satu jenis seni pertunjukan yang dipentaskan yaitu teater. Teater merupakan aktifitas kegiatan yang dilakukan dalam seni pertunjukan yang kemudian gerak-gerik pemain di atas panggung disebut dengan acting. Dalam teater, biasanya memiliki jalan cerita yang mengandung pesan moral yang tersirat, sehingga dapat dijadikan sebagai pelajaran bagi kehidupan penonton. Teater biasanya meliputi keterampilan olah pikir, olah rasa, olah tubuh dan olah suara yang dalam pementasannya memadukan seni peran, seni rupa, seni gerak, seni sastra, seni tari hingga seni musik.

Dalam teater, ucapan tokoh-tokohnya disebut dengan dialog. Teater tidak bisa dikatakan sebagai teater jika tidak memiliki dialog. Dalam dialog, dapat terlihat peristiwa, penokohan hingga permasalahan yang hendak dikemukakan oleh pengarang. Hal ini dapat memberikan manfaat bagi penontonnya jika penonton dapat menghayati dan memahami pesan yang disampaikan. Ketika seorang penonton memahami isi dalam pementasan teater, penonton akan memperoleh nilai-nilai kehidupan yang terkandung di dalamnya. Pemahaman isi dalam pementasan tentulah tidak terlepas dengan memahami unsur-unsur yang terkandung dalam pementasan teater.

Secara umum, teater memiliki dua unsur yang terdiri dari unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik yang terbentuk dari bahasa yang indah. Unsur instrinsik dikatakan sebagai unsur yang berada di dalam karya sastra itu sendiri, meliputi tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang hingga amanat. Sedangkan unsur ekstrinsik dikatakan sebagai ussur yang berada di luar karya sastra itu sendiri dan mempengaruhi, meliputi nilai moral, nilai agama, nilai sosial dan nilai agama. Dengan memahami unsur tersebut, pembaca akan dengan mudah memahami apa isi dari sebuah pertunjukan yang ingin disampaikan oleh pengarang.

Pemahaman unsur sosial dalam pertunjukan teater tentunya akan memberikan gambaran tentang nilai-nilai kehidupan sosial yang ada di masyarakat. Nilai sosial disini meliputi hubungan pengarang dengan masyarakat dan juga hasil karya sastra dengan masyarakat. Nilai sosial dalam pertunjukan teater akan memudahkan penonton untuk memahami nilai sosial masyarakat teater, sehingga permahaman terhadap isi pertunjukan teater dapat menyeluruh. Oleh sebab itu, dalam menganalisis pertunjukan teater ini harus menggunakan pendekatan yang sesuai, yaitu pendekatan sosiologi sastra.

Pendekatan sosiologi sastra merupakan salah satu pendekatan dalam kajian sastra yang memahami dan menilai karya sastra dengan mempertimbangkan segi-segi sosial kemasyarakatan. Sering dikatakan bahwa karya sastra mencerminkan kehidupan sosial masyarakatnya karena masalah-masalah yang terdapat dalam karya sastra diangkat dari kehidupan sosial masyarakat pengarang sebagai anggota masyarakat. Sehingga, hal ini harus terjadi interaksi interdisiplin dalam mengkaji suatu karya sastra.

Pertunjukan Teater Renjana yang berjudul Pemenang Untuk Dirinya Sendiri ini merupakan sebuah pertunjukan teater yang berisi perjuangan seorang anak dalam mewujudkan mimpinya. Hal ini tentunya terdapat beberapa rintangan dan problematika yang berbeda-beda dari setiap tokohnya. Terdapat seorang anak yang memiliki keterbatasan ekonomi sehingga harus mengubur mimpinya, seorang anak yang memiliki orang tua yang suka memaksakan kehendaknya dan ada juga yang dilarang untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi. Konteks sosial ini tentunya sering ditemukan dalam masyarakat. Sehingga pertunjukan ini sangat cocok dikaji menggunakan teori sosiologi sastra.

Berikut penjelasannya berdasarkan dengan dialog-dialog yang terdapat didalam pementasan:

1. Dengan Keterbatasan Ekonomi, Seseorang Akan Dipandang Rendah

Dalam realita sosial, ketika seseorang memiliki ekonomi yang terbatas dalam kehidupannya, maka ia akan dipandang sebelah mata oleh orang-orang disekitar. Bukan hanya di lingkungan sekitar rumah, bahkan di sekolahpun akan mendapat perlakuan yang tidak mengenakan. Tidak menutup kemungkinan dengan batasnya ekonomi yang dimiliki seseorang akan memunculkan ejekan dari seseorang yang bahkan tidak diketahui alasan seseorang untuk mengejek. Seperti yang tampak pada kutipan adegan berikut:

Pak Mamat: ”Baiklah, saya akhiri pembelajaran hari ini. Dan untuk kamu Sera, kalau kamu ingin ikut Ujian Tengah Semester, saya harap kamu bisa membayar SPP selama dua bulan ini”.

Sera: ”Baik, Pak”.

Teman kelas 1: ”Wah, ada yang nggk ikut ujian nih!”.

Teman kelas 2: ”Gua juga mau nggk ikut ujian. Tapi sayang, SPP gua udah lunas” (menyombongkan diri).

Teman kelas 3: ”Cie.. nggk ikut ujian” (dengan nada mengejek).

Kutipan tersebut sebagai bukti bahwa dalam realita sosial, seseorang yang memiliki ekonomi terbatas akan mendapatkan perilaku yang kurang mengenakan dikalangan sosialnya. Hal ini dibuktikan pada adegan Sera yang diejek teman satu kelasnya. Tidak ada hal yang pasti alasan teman Sera yang mengejek Sera. Karena sudah menjadi hal yang lumrah ketika terdapat seseorang yang memiliki keterbatasan ekonomi, pasti akan mendapat perlakuan yang tidak mengenakan. Seharusnya sesama teman tidak perlu mengejek. Kita harus membantu teman kita ketika mereka sedang kesusahan.

2. Perempuan Tidak Perlu Sekolah Tinggi, Karena Nantinya Hanya Menjadi Seorang Ibu Rumah Tangga

Dalam realita sosial, banyak masyarakat yang mengutip bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Sebab pada akhirnya akan menjadi ibu rumah tangga. Mengurus anak, suami dan keperluan rumah lainnya. Berada di dapur terkadang menjadi kodrat perempuan. Sehingga, banyak perempuan yang mengurungkan niatnya untuk memiliki pendidikan yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan kutipan adegan berikut:

Ibu Luna: ”Lagi-lagi kamu pulang telat. Kamu itu perempuan harusnya di rumah, bantuin mamah” (dengan nada sedikit naik).

Luna: ”Aku juga punya kegiatan, Mah”.

Ibu Luna: ”Kegiatan apa? Pelajaran tambahan? Nggk perlulah kamu belajar pinter-pinter kaya gitu, toh, ujung-ujungnya kamu juga bakal jadi ibu rumah tangga. Belajar tuh, belajar masak. Urus rumah yang baik. Jangan kaya papah kamu, nggk jelas kerjaannya”.b

Kutipan diatas membuktikan bahwa dalam realita sosial seorang perempuan hanya akan menjadi seorang ibu rumah tangga. Sehingga seorang perempuan tidak perlu untuk memiliki pendidikan yang tinggi. Cukup dengan belajar memasak dan mengurus rumah yang baik. Mereka menganggap bahwa itu memang sudah kodrat seorang perempuan. Padahal di zaman modern ini, seorang perempuan bisa menjadi wanita dengan karir yang baik. Pendidikan yang tinggi juga diperlukan sebagai seorang perempuan. Karena perempuan merupakan pendidikan pertama bagi anak-anak mereka nantinya.

3. Seorang Anak Akan Menjadi Korban Dari Pertengkaran Kedua Orang Tuanya

Dalam realita sosial, seorang anak akan menjadi korban dari pertengkaran kedua orang tuanya. Hal ini terkadang membuat seorang anak merasa tidak dihargai dalam keluarga. Dimana keberadaannya terkadang hanya akan menjadi pelampiasan dari emosi kedua orang tuanya. Hal ini dibuktikan dengan kutipan adegan berikut:

Luna: ”Pah, Mah, aku ini capek baru pulang sekolah. Bisa nggk sih, sehari aja kalian nggk usah marah-marah terus. Apa salahnya sih aku mentingin pendidikan aku. Iya, aku akan jadi ibu rumah tangga yang bisa lebih dari mamah”.

Ibu Luna: ”Cakap sekali omongan kamu, Luna”.

Ayah Luna: ”Lihat nih, didikan kamu, sifatnya sama seperti kamu. Suka melawan” (dengan naik tinggi).

Ibu Luna: ”Salahku lagi? Dia anakmu juga”.

(Luna membanting tas nya dan pergi meninggalkan kedua orang tuanya yang sedang bertengkar).

Kutipan tersebut membuktikan bahwa seorang anak menjadi pelampiasan dari amarah kedua orang tuanya. Hal ini membuat seorang anak merasa tidak dihargai dalam keluarganya. Sehingga seorang anak menjadi korban dalam pertengkaran kedua orang. Seharusnya, kita sebagai orang tua tidak menjadikan anak sebagai pelampiasan dari amarah kita. Hal ini akan menyebabkan masalah pada psikologi anak.

4. Orang Tua Suka Memaksa Anaknya Untuk Mengikuti Kehendaknya

Dalam realita sosial, orang tua terkadang suka memaksa anaknya untuk mengikuti apa yang menjadi kehendaknya. Meskipun itu bukan merupakan apa yang disenangi atau dicita-citakan anaknya, mereka akan memaksa dengan beralasan orang tua lebih mengetahui apa yang terbaik untuk anaknya. Hal ini dibuktikan dengan kutipan adegan berikut:

Abram: ”Apa sih, Bun. Apa salahnya sih, jadi ahli astronomi?”.

Bunda Abram: ”Sulit, Bram. Kamu itu belum dewasa. Belum tahu apa yang akan terjadi nantinya. Udah deh, kamu masuk kedokteran aja”. (seperti nada memaksa).

Abram: ”Tapi ini cita-cita Abram, Bun. Abram sendiri yang akan jalanin. Bunda nggk bisa paksa Abram buat jadi apa yang Bunda mau”.

Bunda Abram: ”Bunda nggk pernah minta apa-apa dari kamu ya, Bram. Pokoknya Bunda mau, kamu tetep masuk kedokteran”.

Kutipan tersebut membuktikan bahwa dalam realita sosial, orang tua suka memaksakan kehendaknya kepada sang anak. Seorang anak dituntut untuk mengikuti keinginan orang tuanya. Meskipun itu bukanlah hal yang dinginkan dan disenangi sang anak. Mereka akan memaksa sang anak dengan alasan pilihan orang tua merupakan yang terbaik bagi anaknya. padahal sesuatu yang dipaksakan tidak selamanya baik. Seharusnya sebagai orang tua, kita harus mendukung keinginan anaknya.

5. Keterbatasan Ekonomi Menjadi Penyebab Seseorang Untuk Mengubur Mimpinya

Dalam realita sosial, seorang yang memiliki keterbatasan ekonomi akan sulit untuk menggapai cita-cita. Banyak dari mereka yang sudah pesimis dalam meraih mimpi mereka. Mereka merasa bahwa tak ada yang mendukung baik dari segi ekonomi maupun orang tuanya. Hal ini dibuktikan pada kutipan adegan berikut:

Sera: ”Eh, Bram. Lu tuh enak. Lu kemana aja bisa karena punya ekonomi bagus. Gue? Gue harus ngubur mimpi gue buat jadi jaksa, karena apa? Karena nggk ada yang ngedukung gue. Lu harusnya bersyukur, Bram”.

Kutipan tersebut menjadi bukti nyata bahwa dalam realita sosial, seorang yang memiliki keterbatasan ekonomi akan merasa pesimis dalam mewujudkan mimpinya. Sehingga, mereka harus mengubur mimpinya dalam-dalam karena merasa tak ada yang mendukungnya. Padahal masih banyak cara lain untuk mewujudkan mimpinya. Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Pertunjukan Teater Renjana yang berjudul Pemenang Untuk Dirinya Sendiri ini merupakan sebuah pertunjukan teater yang berisi nilai-nilai sosial yang melekat di masyarakat. Seperti dengan keterbatasan ekonomi, seseorang akan dipandang rendah, perempuan tidak perlu sekolah tinggi, karena nantinya hanya menjadi seorang ibu rumah tangga, seorang anak akan menjadi korban dari pertengkaran kedua orang tuanya, orang tua suka memaksa anaknya untuk mengikuti kehendaknya dan keterbatasan ekonomi menjadi penyebab seseorang untuk mengubur mimpinya.

Hal ini tampak jelas dituangkan oleh pengarang dalam dramanya. Sehingga terlihat jelas jika pertunjukan Teater Renjana yang berjudul Pemenang Untuk Dirinya Sendiri sangat kental akan nilai sosial hal ini karena teater yang diangkat berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image