Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Inyoman Raditya

Rape Culture, Budaya yang Harus Dihapuskan

Gaya Hidup | Monday, 27 Dec 2021, 10:43 WIB

Rasanya, hampir setiap hari headline mengenai kasus pemerkosaan muncul di portal berita. Sejumlah kasus pelecehan dan kekerasan seksual marak mencuat di linimasa sebulan terakhir. Korban dari tindak kekerasan seksual ini beragam mulai dari usia dewasa, remaja, hingga anak-anakk sekalipun. Mulai dari kasus pencabulan santri di Bandung, kasus pemaksaan aborsi yang menyebabkan korban bunuh diri, hingga kasus pelecehan seksual di kampus. Bahkan berdasarkan pengumpulan data milik KemenPPPA, kekerasan pada anak di 2019 terjadi sebanyak 11.057 kasus, 11.279 kasus pada 2020, dan 12.566 kasus hingga data November 2021.

Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa pemerkosaan dan kekerasan seksual begitu sulit dihapus? kekerasan seksual dan pelecehan seksual tidak akan pernah hilang sampai Rape Culture (budaya pemerkosaan) berhenti.

Pernahkah anda mendengar atau membaca komentar terhadap kasus kekerasan seksual yang ada di media sosial? Misalnya, kalimat, "Ah pasti dia pakai bajunya seksi", "Siapa suruh mau diajak cowok enggak jelas, kejadian kan", "Dia emang cewek nakal, pantas saja sampai begitu", “Kucing kalau dikasih Ikan asin pasti nggak bakal nolak lah!”.

Kalimat-kalimat tersebut merupakan analogi rendahan yang sering sekali dipakai orang untuk menggiring opini yang salah ketika berhadapan dengan kasus pelecehan seksual. Biasanya perempuanlah yang seringkali mendapat stigma buruk dan dampak negatif karena sebagian besar korban pelecehan seksual adalah perempuan. Walaupun hal itu tidak menutup kemungkinan terjadinya pelecehan terhadap kelompok laki-laki. siapa pun pelaku entah perempuan ataupun laki-laki patut disalahkan atas perbuatannya.

Ungkapan dan ekspresi yang disampaikan di atas adalah budaya pemerkosaan (rape culture) dalam bentuk menyalahkan korban (Victim Blaming), dan menilai apa yang terjadi sebagai hal yang wajar. Istilah rape culture ini ditemukan pada tahun 1970an dan didefinisikan sebagai “lingkungan sosial yang memungkinkan kekerasan seksual untuk dianggap normal dan dibenarkan, yang dipicu oleh ketidaksetaraan gender yang terus-menerus muncul dan sikap terhadap peran gender serta seksualitas”.

Kita hampir terbiasa menemui di persimpangan jalan, segerombolan laki-laki yang terus memoncongkan mulutnya, mengeluarkan suara seperti peluit yang nyaring ke arah perempuan saat berjalan sendirian. Hari ini kita menyebutnya dengan istilah “catcalling”.

Hal seperti itu seolah dianggap normal oleh masyarakat, bentuk pujian karena perempuan tersebut dianggap cantik dan pantas digoda. Padahal, catcalling merupakan intimidasi dan kadang punya maksud dan tujuan tertentu.

Besarnya pengaruh ideologi patriarki terhadap rape culture. budaya patriarki di negara berkembang seperti Indonesia sangat mengakar kuat. Ideologi patriarki sebagai sebuah ideologi yang menganak emaskan laki-laki, menjadikan perempuan sebagai second sex atau setengah manusia. Hal tersebut selalu memposisikan laki-laki lebih unggul dibanding perempuan. Laki-laki sebagai pengambil keputusan dan laki-laki yang memimpin. Diposisikan sebagai penanggung jawab dalam urusan mencari nafkah, lebih banyak berkiprah di ranah publik yang memungkinkan untuk mengembangkan diri dan beraktivitas di luar. Sebaliknya, perempuan hanya diposisikan di ranah domestik, tugas-tugas reproduksi, pengasuhan dan pendidikan anak, mengurus rumah tangga, dan melayani suami.

Konstruksi sosial yang mengatribusi jenis kelamin tersebut pun berlaku pada pelecehan seksual. Dalam konteks perempuan dituduh sebagai pelaku pelecehan seksual, sering kali juga mengalami berbagai stigma di masyarakat. Seperti ungkapan ‘perempuan kok seperti itu?’ dan sebagainya.

Selain terhadap perempuan, laki-laki sebagai korban juga mendapat komentar miring. Seperti anggapan bahwa laki-laki tersebut lemah, di mana dalam konstruksi sosial laki-laki diidealkan sebagai sosok yang kuat dan sudah seharusnya melakukan perlawanan. Padahal, pelecehan seksual dapat terjadi di mana-mana, dan tidak memandang jenis kelamin juga gender.

Kebiasaan menerapkan rape culture dapat menyudutkan korban dan membuatnya ragu atau takut untuk melaporkan kejadian yang dialaminya. Apa lagi kalau orang-orang enggak menganggap serius laporan tersebut dan malah mengolok-olok korban atau mengatakan bahwa dirinya seharusnya enggak memancing pelaku berbuat seperti itu. Pada akhirnya, bukan hanya luka fisik yang mungkin diderita korban, tetapi juga mental. Ini juga berarti kita turut menyalahkan korban atas hal yang terjadi bukan karena kesalahannya. Kemudian korban akan semakin merasa nggak nyaman dan terancam karena hidupnya nggak dapat sebebas pelaku, yang aksinya didukung oleh rape culture ini.

Meski tidak mudah dan dibutuhkan partisipasi banyak pihak, menghilangkan praktik pelanggengan pemerkosaan di masyarakat masih mungkin untuk dilakukan. Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk meniadakan praktik rape culture di tengah masyarakat. Upaya itu mulai dari membenahi diri sendiri, mengedukasi lingkungan, hingga mendesak pihak berwenang untuk mengubah aturan hukum yang kurang sesuai.

Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk meniadakan praktik rape culture di tengah masyarakat. Upaya itu mulai dari membenahi diri sendiri, mengedukasi lingkungan, hingga mendesak pihak berwenang untuk mengubah aturan hukum yang kurang sesuai. Mulai dari hal kecil, misalnya tidak melakukan candaan seksual (sexist joke), tidak menyalahkan korban (victim blaming), dan tidak menganggap remeh tindakan seksual apa pun.

Pendidikan seks juga menjadi langkah selanjutnya yang perlu dilakukan. Dalam hal ini, peran keluarga terutama orang tua menjadi sangat penting dalam melakukan edukasi dan pembelajaran seks terhadap anak. Seperti makan, minum dan tidur, seks juga merupakan bagian yang melekat pada diri seseorang apapun gendernya. Bukan sebagai hal yang tabu karena menjadi bagian dari aktivitas yang dilakukan manusia sehari-hari. Nantinya, pendidikan seks justru akan membuka wawasan anak-anak dan remaja sehingga mereka akan berani melapor ketika telah menimpa mereka.

Pelecehan seksual dianggap sebagai pelanggaran serius. Namun, tidak ada undang-undang khusus yang mengatur bentuk pelecehan seksual, sanksi dan cara mengatasi pelecehan seksual. Kasus-kasus kekerasan seksual selain perkosaan dan pencabulan saat ini tidak ada payung hukumnya, sehinga sulit untuk dibawa ke ranah hukum yang serius.

Di ranah hukum, Menurut Pasal 289 sampai Pasal 269 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) hanya terdapat dua jenis kekerasan seksual yang diakui secara undang-undang yakni pemerkosaan dan pencabulan. undang-undang tersebut mendefinisikan kekerasan seksual begitu sempit. Padahal, kekerasan seksual merupakan segala bentuk tindakan baik ucapan atau perbuatan yang dilakukan untuk mengintimidasi, menguasai, memaksa dan atau memanipulasi dalam melakukan aktivitas seksual yang tidak dikehendaki.

Ancaman tidak selalu berbentuk fisik. Bisa juga bentuk ancaman seperti meluluskan ujian, menyebarkan foto korban dalam kondisi tidak pantas juga dapat disebut sebagai ancaman yang mengerikan untuk korban. Akan tetapi, hal itu tidak termasuk dalam penjelasan peraturan hukum yang saat ini ada.

Permasalahan utama yang sering dialami oleh keluarga korban atau saksi kunci korban kekerasan seksual adalah mereka sering mendapatkan ancaman atau bahkan kekerasan untuk membungkam kesaksian mereka.

Karena itulah Rancangan Undang-Undangan Penghapusan kekerasan Seksual (RUU PKS) harus segera disahkan. RUU-PKS tidak hanya melindungi korban kekerasan langsung, tapi juga memberikan perlindungan bagi keluarga korban dan saksi yang ingin memberikan kesaksian mereka selama proses hukum.

RUU ini juga memberikan Sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual yang tercantum dalam draf RUU PKS, antara lain, pemerkosaan, pelecehan seksual, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan aborsi, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, pemaksaan kontrasepsi, dan pemaksaan perkawinan.

Nyatanya, masih ada banyak pihak yang menentang hadirnya RUU PKS dengan alasan yang beraneka ragam. Di tengah masyarakat awam, ketidakpahaman tentang konsep kekerasan seksual mengakibatkan sebagian orang menganggap negatif rancangan undang-undang ini.

Padahal, RUU PKS sudah bisa kita anggap sebagai penyelamat bagi korban kekerasan seksual, bukan lagi kita berdebat soal isinya, tapi sudah sesuatu yang harus disahkan. Kalau tidak, kasus-kasus kekerasan seksual terus menjamur di indonesia.

Untuk memutus rantai kekerasan kita perlu merubah cara pandang kita dan sadar bahwa kekerasan berbasis gender apapun bentuknya bukanlah hal yang sepele, korban bisa mengalami trauma dan kerugian lainnya, selain itu untuk melindungi korban payung hukum untuk kasus ini perlu diperkuat seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual misalnya. karena Korban kekerasan seksual memerlukan kepastian hukum atas tindak pidana yang dilakukan oleh para pelaku. Mereka membutuhkan bantuan kita untuk memperoleh keadilan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image