Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image MUHAMMAD RIZQI HILMIY

RIVALITAS PERANG DAGANG AUSTRALIA & CHINA SERTA USAHA EKSPANSI PASAR BARU DI INDONESIA

Bisnis | Monday, 27 Dec 2021, 10:20 WIB

Salah satu sumber devisa suatu negara ialah dengan melalui adanya perdagangan internasional dengan mengandalkan devisa negara dari kegiatan ekspor impor akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Perang dagang merupakan suatu hal yang mudah dimulai namun sulit untuk dihentikan seperti halnya yang terjadi pada Australia dan China. Hubungan dua negara yang sama- sama memiliki pengaruh di pasifik ini memburuk mulai tahun 2018 ketika Australia menolak Huawei China masuk untuk ke jaringan 5G nya dan semakin pecah saat Canberra melakukan penyelidikan asal- usul virus corona pada april 2020 yang dinilai China sebagai bentuk sebuah provokasi. Hal itu mengakibatkan pembalasan diplomatik kedua negara ini terus terjadi seperti evakuasi jurnalis Australia dari Tiongkok, penggrebekan rumah jurnalis Tiongkok di Australia, dan tindakan serta kebijakan perdagangan yang ditetapkan Tiongkok pada ekspor Australia.

Rivalitas antar kedua negara ini saya nilai tidak relevan sebab Australia bukanlah negara yang superpower dan masih bergantung perekonomiannya oleh Tiongkok. Hal ini berdasarkan pada data IMF 2019 yang lalu bahwa Tiongkok merupakan pasar ekspor keseluruhan teratas Australia yang bernilai 104 Miliar US$. Sehingga pemutusan hubungan perdagangan yang lama dan sikap kebijakan punitif Tiongkok akan merusak perekonomian Australia dan menjadi ujian yang berat bagi sejumlah industri di Australia. Pengiriman seperti daging sapi, gandum, batu bara, kayu,lobster anggur, dan biji- bijian Australia diberhentikan dan diberikan probe anti dumping serta anti subsidi. Industri yang bernilai miliaran dolar ini merupakan produk unggulan yang paling berpengaruh bagi Australia. Salah satu ekspor utama Australia ialah jelai gandum yang secara efektif diakhiri oleh Tiongkok dengan bea anti dumping dan bea anti subsidi sebesar 80,5%. Begitu pula bagi industri lobster di Tasmania yang ikut terkena dampak akibat ketegangan kedua negara ini bahwa Tiongkok juga turut memberikan sanksi dagang dan melayangkan tuduhan bahwa lobster karang Australia ini mengandung kadmium logam berat yang berlebihan namun ketika di lakukan uji coba oleh lembaga pemerintah Australia tidak terbukti adanya kontaminasi pada lobster tersebut. Hal ini membuat harga lobster anjlok dari $85 perkilo sekarang hingga $25 saja.

Saat ini Tiongkok sedang mencoba dan memaksa Australia untuk mendukung kepentingannya dengan melemahakan perekonomian negeri kanguru tersebut. Hal ini juga dinilai sebagai hukuman bagi Australia karena mengadopsi kebijakan dan posisi yang tidak disukai oleh Tiongkok seperti isu Laut China Selatan, Xinjiang, dan Huawei serta desakan pemerintah Australia lalu untuk melakukan penyelidikan asal muasal wabah virus corona menjadi katalisator perang dagang yang dilancarkan oleh Tiongkok. Hambatan perdagangan yang terjadi ini menjadi kasus pemaksaan ekonomi Tiongkok oleh Australia yang saya yakini berasal dari tuntutan Partai Komunis China untuk membalas segala ancaman terhadap kepentingan Tiongkok dan harus mengakui integritas teritorial Tiongkok. Apabila tujuan dari adanya sanksi perdagangan ini ialah untuk memprovokasi industri yang terkena dampak agar mendapatkan lobi dari pemerintah untuk meringankan kebijakan dan menenangkan Tiongkok, strategi ini terbukti gagal karena Australia melakukan perlawanan terhadap tekanan politik dan ekonomi yang tak akan menutup tagihan bagi produsen yang mata pencahariannya terdampak dari sanksi yang telah diberikan Tiongkok. Australia juga meningkatkan serangannya seperti pembatalan perjanjian negara bagian Victoria dengan Tiongkok dengan alasan keamanan nasional oleh pemerintah federal. Australia juga terbukti cukup kritis dengan kebijakan Tiongkok contohnya dalam konteks Hak Asasi Manusia dan melakukan perimbangan kekuatan untuk memberikan pesan pada Tiongkok agar tidak berlaku semena- mena pada Australia karena Australia dibeking oleh negara superpower dan musuh bebuyutan Tiongkok yakni Amerika Serikat dan Inggris yang terbukti dengan hadirnya AUKUS yang tidak serta merta menjadi pertahanan namun juga pesan agar Tiongkok tidak boleh menerapkan kebijakan yang pulitif. Hal ini juga telah disampaikan oleh WTO sebagai organisasi perdagangan internasional menengahi perselihan konflik ini secara obyektif dan efisen dengan mereksturisasi serta mereformasi perjanjian perdagangan dunia dan memulihkan sistem penyelesaian sengketa WTO yang mengikat.

Kondisi yang kian memanas ini membuat Australia kehilangan pasar ekspor nya, lalu apakah Indonesia mampu menjadi pasar baru bagi Australia mengingat Indonesia juga merupakan negara dengan penduduk terbanyak ke 4 di dunia. Indonesia dan Australia menandatangani kebijakan baru yaitu Indonesia- Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement. Dengan adanya perjanjian ini memberikan kesempatan untuk memperbaiki kemitraan dalam bidang perekonomian, ketahanan, perdagangan, dan keamanan. Australia dapat mengakses pasar Indonesia secara lebih luas dan Indonesia juga akan menghapus tarif bagi sejumlah produk unggulan Australia seperti pada industri pertaniannya. Perjanjian tersebut memang belum semaju yang diinginkan sehingga Indonesia juga belum mampu menggantikan peran Tiongkok sebagai solusi tujuan ekspor pasar barunya meskipun kedua negara ini melakukan hubungan perdagangan yang kuat. Lalu, perbedaan culture dan politik sebagai salah satu alasan mengapa kerjasama dalam bidang perdagangan ini masih tergolong lemah dan belum semaju seharusnya. Indonesia dan Australia cenderung memilki persamaan dalam komoditas ekspornya dari Tiongkok seperti mineral, gas, batu bara, dan sumber daya alam lainnya sehingga keduanya tidak saling memprioritaskan tujuan ekspor dan Tiongkok tidak semudah itu digantikan perannya terutama dalam 2 sektor komoditas tersebut. Adapun keuntungan dari terjadinya perang dagang Australia dan Tiongkok ini membuat pertumbuhan ekspor batu bara meningkat dengan tinggi yaitu lebih dari US$ 100, diikuti pada produk alumunium dan alumina yang menjadi primadona ekspor Indonesia.

Akan tetapi, Indonesia dan Australia masih memiliki kesempatan besar dan potensi yang menarik untuk menguatkan kerjasama dalam bidang perdagangan dengan menemukan komplementaritas antar kedua negara contohnya Indonesia dapat mengekspor makanan jadi ke Australia dengan bahan baku dari sana. Begitu pula sebaliknya, Australia dapat berperan menjadi tempat otomotif berbasis listrik dengan bahan baku dari Indonesia dan lebih mengeksplorasi hubungan dagang antar kedua negara ini. Menanggapi konflik dagang antar Tiongkok dan Australia membuat perlunya pendekatan diplomatik untuk menyelesaikan masalah tersebut karena tidak ada win solution apabila menyuarakannya di depan umum dan berdebat secara terbuka.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image