Konflik dalam Pemilu
Politik | 2023-06-21 09:40:24Pelaksanaan Pemilu 2024 semakin dekat, kurang lebih sekitar delapan bulan lagi kita akan memilih kembali wakil rakyat serta pemimpin nasional (presiden dan wakil presiden). Kita sebagai bagian warga negara berharap pemilu ke enam era reformasi ini dapat berjalan dengan aman, tertib, dan damai. Sehingga tidak terjadi konflik horizontal atau vertikal sesama anak bangsa. Harapan kita Pemilu 2024 nanti seutuhnya dapat melahirkan wakil rakyat serta pemimpin yang bertanggungjawab kepada rakyatnya.
Indikator kesuksesan Pemilu 2024 salah satunya tidak terjadi konflik, meskipun kita mamahami kontestasi elektoral di negara manapun, sangat berpeluang melahirkan konflik terbuka, karena pemilu merupakan peristiwa kolosal melibatkan jumlah massa sangat banyak, yang bergerak serentak memberikan dukungan kepada para kontestan pemilu, tidak menutup kemungkinan terjadi gesekan diantara kontestan serta pendukungnya.
Konflik didefinisikan pertentangan atau perselisihan, benturan perbedaan pendapat, persaingan individu antar idividu atau kelompok antar kelompok (Surbakti, 1992). Konflik merupakan sebuah gejala sosial yang senantiasa hadir ditengah-tengah masyarakat, bahkan dipandang sebagai peristiwa lumrah terjadi, karena hakikatnya tidak pernah ada hubungan sosial harmonis bersifat mutlak dimanapun juga (Rauf, 2002).
Bahkan terdapat sebuah tesis mengatakan manusia sejatinya makhluk konflik (homo conflictus) selalu terlibat persaingan. Konflik sendiri dipahami sebagai kewajaran, tanpa konflik, masyarakat tidak diberikan kesempatan menemukan ruang dialektika dan dinamikanya. Kontradiksi ditengah masyarakat ini terkadang bisa mengarah kepada perkembangan dan kemajuan, syaratnya konflik itu harus terkelola dengan baik, bila tidak mampu terkelola akan berujung pada hancurnya bangunan sosial (Hoffer, 1988).
Konflik dan Demokrasi
Di dalam negara demokrasi modern perbedaan itu suatu keniscayaan, termasuk memiliki perbedaan pemikiran serta pilihan politik. Negara mengklaim dirinya menganut sistem demokrasi terdapat jaminan setiap individu atau kelompok bisa menyampaikan pemikiran serta pilihan politik secara terbuka. Terlebih politik adalah industri atau pabrik pemikiran, masing-masing pihak diberikan kesetaraan dalam menyampaikan pemikiran kepada masyarakat, serta tidak menutup kemungkinan antara satu pemikiran bertentangan dengan pemikiran lain, hal ini menjadi kewajaran dalam tradisi dan budaya demokrasi.
Meskipun memperbolehkan konflik pemikiran, dalam sistem demokrasi tersedia tempat serta ruang untuk melakukan resolusi konflik, salah satunya di gedung parlemen atau legislatif, disanalah muara perbedaan pendapat didiskusikan dan diperdebatkan antar anggota parlemen dari partai politik berbeda, mereka membawa aspirasi dari konstituennya dalam mencari titik temu dari benturan pendapat ketika merumuskan regulasi berupa undang-undang. Selain menyelesaikan perbedaan pendapat di parlemen atau legislatif, mekanisme menyelesaikan konflik selanjutnya melalui lembaga peradilan, konflik tidak mampu diselesaikan akan dikembalikan ke ranah hukum yang bersifat adil dan setara.
Konflik Politik
Konflik politik merupakan persaingan atau perebutan kekuasaan di dalam negara, konflik bisa bersifat komunal kalau terjadi mobilisasi dari pendukung elit politik. Terdapat beberapa sumber potensi konflik politik, yaitu (1) Konflik bersumber pada mobilisasi atas nama politik identitas, (2) Konflik bersumber dari kampanye hitam di antara kontestan politik, (3) Konflik bersumber aksi premanisme politik dengan pemaksaan kehendak, (4) Konflik muncul dari manipulasi dan kecurangan perhitungan suara, (5) Konflik muncul dari perbedaan penafsiran atas regulasi pemilu (Agustino, 2009).
Konflik bersumber pada mobilisasi atas nama politik identitas. Potensi konflik bisa muncul bila politik berbasis primordial ini digunakan oleh para elit untuk meraih dukungan massa. Isu berbasis politik identitas dilakukan dengan menebarkan kebencian kepada kelompok-kelompok berbeda, menciptakan wacana bersifat pertentangan antara “kelompok kita” dengan “kelompok mereka”, seakan-akan ditengah masyarakat terjadi polarisasi sangat tajam tidak dapat disatukan. Padahal kontestasi politik yang ideal itu bertumpu kepada tawaran gagasan dan pemikiran, bukan memperbesar polarisasi atau jurang perbedaan yang bersifat primordial.
Konflik bersumber dari kampanye hitam di antara kontestan politik. Publik harus bisa membedakan antara kampanye hitam dengan kampanye negatif. Kampanye hitam menyudutkan rival politik dengan menebarkan berita bohong, fitnah, dan palsu. Intinya tidak berbasis kepada data bisa diverifikasi, dengan tujuan mempengaruhi pilihan politik publik. Sedangkan kampanye negatif menyampaikan kelemahan dari argumentasi lawan politik berbasiskan pada rekam jejak, data, serta fakta dilapangan, kelemahan sang rival politik berdasarkan kenyataan yang terjadi bukan dari berita bohong atau fitnah. Sehingga yang terjadi adalah beradu argumentasi secara cerdas dan kritis diantara para kontestan.
Konflik bersumber aksi premanisme politik dengan pemaksaan kehendak. Artinya konflik bisa muncul disebabkan budaya kekerasan yang digunakan untuk memperoleh kemenangan politik, dengan melakukan berbagai tindakan intimidasi, paksaan, serta kekerasan untuk mempengaruhi pilihan politik dari para pemilih. Aksi premanisme politik ini bertentangan dengan semangat demokrasi dalam mewujudkan kompetisi politik bersifat transparan dan terbuka, dengan melibatkan unsur paksaan untuk mempengaruhi hasil pemilu, menjadikan kontestasi politik terciderai oleh perilaku tidak beradab dan tidak bermartabat.
Konflik muncul dari manipulasi dan kecurangan perhitungan suara. Ketika pemilih selesai memberikan hak politik di bilik suara, penyelenggara pemilu wajib melindungi suara itu dari perbuatan keji seperti tindakan manipulasi. Setiap suara dari masyarakat harus betul-betul mendapatkan perlindungan dan penjagaan maksimal dari penyelenggara pemilu, tindakan sekecil apapun untuk mengurangi atau menambahkan suara harus mendapatkan ganjaran hukuman setimpal, karena ruh dari demokrasi itu sendiri adalah menjamin tegaknya perlindungan atas hak suara dari masyarakat.
Konflik muncul dari perbedaan penafsiran atas regulasi pemilu. Regulasi mengenai pelaksanaan pemilu harus dapat dipahami dengan baik serta benar oleh penyelenggara, pengawas, dan kontestan. Keseragaman dalam memahami teks undang-undang mengenai pelaksanaan pemilu dapat meminimalisir perbedaan tafsir mengenai aturan pemilu, sehingga terjadi kesepahaman diantara berbagai pihak, hal ini bisa mengurangi potensi munculnya konflik disebabkan perbedaan tafsir atas regulasi pemilu.
Penutup
Konflik bersifat fisik harus diantisipasi kemunculannya, terlebih pelaksanaan Pemilu 2024 kian mendekat, tentunya segala potensi penyebab konflik harus bisa kita hindari, dengan komitmen semua elemen bangsa bahwa pesta demokrasi nanti bisa menghasilkan kompetisi politik secara terbuka, transparan, dan berkeadilan.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.