Menyingkap Pemanfaatan Empati Masyarakat terhadap Gelandangan dan Pengemis Disabilitas
Edukasi | 2023-06-17 21:53:52Pengemis Disabilitas di Jalanan. Sumber: Republika
Fenomena kehadiran gelandangan dan pengemis disabilitas merupakan suatu masalah sosial yang dihadapi di banyak kota di Indonesia. Adanya gelandangan dan pengemis di jalanan dapat mengganggu ketertiban, keamanan, kebersihan, dan keindahan. Selain itu, adanya gelandangan dan pengemis juga membuat masyarakat sekitar merasa tidak nyaman dan tidak aman, serta dapat menimbulkan kriminalitas (Waleleng & Pratiknjo, 2023).
Penanggulangan masalah gelandangan dan pengemis yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara tampaknya masih belum terselesaikan hingga kini. Padahal, dalam Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 menyebutkan bahwa “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”, dilanjut dengan ayat 2 yang menegaskan bahwa “negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan” (Isabela, 2022).
Mengapa Penyandang Disabilitas Menjadi Gelandangan dan Pengemis?
Alasan mereka memilih menjadi gelandangan dan pengemis adalah karena sulitnya mendapat pekerjaan yang layak, sehingga mereka menjadi pasrah dan berusaha bertahan hidup dengan cara seperti itu. Akan tetapi, kemiskinan yang terjadi di masyarakat Indonesia saat ini tidak semata-mata disebabkan oleh faktor perekonomian saja, namun juga terdapat aspek non-ekonomi seperti kesehatan dan kerentanan.
Keterbatasan kemampuan fisik individu, seperti cacat dan gangguan mental juga mendorong seseorang menjadi gelandangan dan pengemis. Akibat kecacatan fisik, seseorang menjadi sulit bersekolah atau terbatas secara akademis yang menjadikan meminta-minta dan mengemis belas kasihan sebagai satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukan.
Para penyandang disabilitas biasanya berdiri di pinggiran jalan, walaupun ia tunanetra atau tidak bisa melihat tapi tetap berupaya menawarkan tissue, kacang, keripik, atau dagangan lainnya untuk dibeli oleh masyarakat yang melewati jalanan tersebut. Selain itu, adanya gangguan mental dan ketidakpedulian keluarga terhadap para penyandang disabilitas juga membuat mereka hidup menggelandang dan mengemis untuk bertahan hidup.
Charity Model dalam Memandang Disabilitas
Penerapan medical model terhadap disabilitas yang salah tempat melahirkan konsep charity model. Charity model adalah cara pandang yang melihat disabilitas sebagai orang yang tidak mampu, beban masyarakat, dan layak mendapatkan bantuan (Admin, 2022). Masyarakat memandang para penyandang disabilitas sebagai orang yang cacat dan tidak normal, sehingga patut dikasihani. Padahal sebenarnya di sisi lain penyandang disabilitas merasa baik-baik saja.
Stigma semacam ini berdampak pada hilangnya fungsi sosial, sehingga para penyandang disabilitas dianggap sebagai beban dan kehilangan banyak kesempatan untuk bekerja. Penggunaan konsep charity model terhadap penyandang disabilitas seharusnya sudah tidak lagi digunakan karena memanfaatkan belas kasihan dan tidak mengutamakan inklusivitas terhadap kalangan disabilitas.
Kondisi cacat fisik yang dialami oleh penyandang disabilitas merupakan keadaan darurat yang membuatnya harus mencari nafkah dengan cara mengemis (Suraya, 2020). Penyandang disabilitas yang bekerja sebagai pengemis biasanya adalah penyandang tunadaksa, yakni orang dengan keterbatasan gerak atau cacat fisik yang tidak memungkinkannya untuk bekerja layaknya orang normal. Kebanyakan dari mereka hidup dan menetap di jalanan, pinggiran pertokoan, atau berbagai fasilitas umum yang memungkinkan.
Akan tetapi, ada pula orang-orang yang secara fisik normal dan mampu mencari pekerjaan, namun berpura-pura menjadi penyandang disabilitas dengan mengemis di jalanan. Mereka mengemis dengan cara meminta-minta, terkadang sambil membawa anak atau menggunakan pakaian selayaknya penyandang disabilitas untuk memancing belas kasihan dari orang-orang sekitar. Miris bukan?
Seorang pengemis yang terlihat buntung ternyata bisa berjalan layaknya orang normal. Sumber: Penulis
Pemanfaatan empati dari masyarakat di jalanan, terutama oleh orang-orang yang secara fisik mampu untuk beraktivitas secara normal merupakan suatu hal yang tidak bermoral. Berpura-pura menjadi penyandang disabilitas mungkin memang menguntungkan bagi sebagian orang, namun hal tersebut juga dapat mengubah perspektif masyarakat terhadap penyandang disabilitas.
Keadaan tersebut membuat sebagian masyarakat sulit membedakan mana penyandang disabilitas asli yang benar-benar perlu dibantu dan mana penyandang disabilitas palsu yang hanya berpura-pura untuk dikasihani. Bahkan, beberapa berita menyebutkan bahwa pengemis disabilitas mengalami penurunan pendapatan karena ada peminta-minta dengan kondisi normal yang pura-pura buntung.
Kesimpulan dan Saran
Penyebab para penyandang disabilitas menjadi gelandangan dan pengemis adalah karena keterbatasan fisik dan gangguan mental, serta kurangnya akses terhadap pendidikan, pekerjaan, dan kesejahteraan. Oleh sebab itu, dibutuhkan solusi dan penanganan yang tepat dalam menanggulangi kehadiran gelandangan dan pengemis dari kalangan disabilitas.
Pertama, dengan memberikan bantuan dan pelatihan khusus agar para penyandang disabilitas dapat memiliki keterampilan. Kedua, menyediakan sarana dan prasarana yang dapat membantu mereka mencari nafkah secara lebih layak. Ketiga, memperhatikan kebutuhan-kebutuhan penyandang disabilitas dengan menyediakan tempat tinggal bagi para difabel yang ditelantarkan oleh keluarganya. Terakhir dan yang paling penting adalah perlunya kerjasama dari berbagai lintas sektoral untuk menanggulangi keberadaan mereka agar dapat diperlakukan dengan baik, serta dipenuhi hak-haknya atau disebut dengan cara pandang human right model.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.