Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Halway Syahirah Assilah

Hak Penyandang Disabilitas Terhadap Aksesibilitas Pendidikan

Eduaksi | 2023-06-20 11:14:50

Pandangan Yuridis Hak Pendidikan

Sumber: iStock (Simbol Aksesibilitas Universal Ilustrasi Stok)

Pendidikan adalah alat penunjang suatu bangsa dalam pencerdaskan warga negaranya. Hal ini berkoherensi dengan preambule Undang-Undang Dasar 1945 pada alinea ke-4 menyatakan, “ mencerdasakan kehidupan bangsa..” (Pemerintah Republik Indonesia n.d.:1). Dengan meningkatkan mutu pendidikan, maka diharapkan Indonesia dapat mengimplementasikan nilai luhur yang tercantum dalam Grundnorm di atas. Pendidikan juga merupakan hak warga negara yang harus dipenuhi oleh negara, oleh sebab itu hak pendidikan ditanggung seutuhnya oleh negara secara langsung. Hak tersebut dijamin secara yuridis dalam Pasal 31 ayat (1) UUD 1945, “Setiap warga negara berhak mendapatkan hak pendidikannya” (Pemerintah Republik Indonesia n.d.:10).

Peningkatan mutu pendidikan yang dimaksud salah satunya dalam penyediaan aksesibilitas pendidikan bagi keseluruhan warga negara yang terdapat di dalamnya. Seiring berjalanya waktu, teori sering kali bertolak belakang dengan realitas yang terjadi di tengah masyarakat. Hal tersebut dibuktikan dengan anak penyandangan disabilitas yang sukar untuk mendapatkan akses pendidikan dengan sebaik-baiknya.(Wiwik Afifah and Syofyan Hadi 2018:85) Justru saudara-saudara kita penyandang disabilitas memperoleh tindakan diskriminatif dalam proses mencapai pemenuhan hak mereka. Oleh sebab itu, tindakan semacam menjadi atensi bagi khayalak umum dimana setiap orang mampu untuk mendapatkan hak yang sama (Wiwik Afifah and Syofyan Hadi 2018:85–86). Terlepas dia dilahirkan dari keluarga kaya maupun miskin, berkebutuhan khusus atau tidak hendaknya mewujudkan kesempatan yang sama dalam bidang pendidikan.

Penyandang Disabilitas dan Hak Pendidikan

Penyandang disabilitas dalam aksesibilitas pendidikan ditujukan kepada siswa penyandang disabilitas. Adapun siswa penyandang disabilitas didefinisikan sebagai siswa yang mana tidak sesuai dengan model perilaku standar atau siswa yang mempunyai kebutuhan khusus (Dena Widyawan 2020:746). Siswa tersebut harus mendapatkan pendidikan yang sama dengan siswa-siswi lainnya. Perlakuan yang intens dan khusus terhadap siswa tersebut harus senantiasa digaungkan oleh berbagai elemen pendidikan seperti guru, dinas terkait dan pemerintah. Para peserta didik di atas haruslah mempunyai kesempatan yang sama dalam mengikuti pembelajaran. Mereka akan mendapatkan perlakuan yang berbeda dengan teman sebayanya yang norma dalam keikutsertaan pendidikan jasmani. Faktor pendukung terjadinya permasalahan itu antara lain, kurangnya tenaga pendidik yang adaptif, sikap negatif dari para tenaga pendidik, isolasi sosial yang diberikan kepada siswa disabilitas dan juga asumsi bahwa siswa difabel tidak mampu untuk melakukan pembelajaran tersebut dengan kata lain diskriminasi oleh teman mereka yang normal (Dena Widyawan 2020:748). Diperlukan upaya penanggulangan sebagai tanggapan oleh pemerintah dan sekolah agar lebih jauh meminimalisir hambatan, memberikan tunjangan finansial untuk pengajaran, dan memberikan tenaga pendidikan yang mampu berjiwa profesional dan releven berfokus terhadap pengajaran siswa penyandang difabel (Dena Widyawan 2020:759).

Pemerintah sebagai nahkoda bagi masyarakat luas, telah menetapkan regulasi dalam perlindungan dan pemenuhan hak-hak bagi penyandang difabel yakni dalam rana mendapatkan pendidikan yang bermutu (Septiana and Effendi 2019:13). Pelaksanaannya direalisasikan dengan meningkatkan mutu layanan pendidikan bagi saudara kita yang berkebutuhan khusus. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Kementerian Riset dan Teknologi No. 46 Tahun 2017 dimana tercantumkan mengenai beberapa hak bagi penyandang difabel yang dipenuhi oleh penyelenggara pendidikan tinggi (Septiana and Effendi 2019:15). Komitmen pemerintah terhadap penyandang difabel diimplementasikan hingga di pendidikan lanjut yakni di perguruan tinggi. Bentuk pemenuhan hak tersebut antara lain, regulasi penerimaan peserta didik, sarana prasarana, dan pendekatan serta adapatasi pola pendidikan dan proses pembelajaran. Dengan begitu, pemerintah dapat memanifestasikan kesetaraan (Equality) dan inklusivitas bagi para penyandang difabel di Indonesia (Septiana and Effendi 2019:17).

Sebagaimana realitas yang terjadi di masyarakat akan peningkatan aksesibilitas pendidikan terhadap penyandang difabel ditemukan berbagai hambatan (Lestari, Sumarto, and Isdaryanto 2017:7). Rintangan yang harus dihadapi seperti sukar menemukan Balai Rehabilitas milik pemerintah, keterbatasan anggaran yang disediakan kepada para difabel, terbatanya Sumber Daya Manusia (SDM) yang professional dan kompeten, minimnya pemahaman keluarga kepada penyandang disabilitas dengan dalil menutupi anak-anak mereka yang mengalami kebutuhan khusus sebagai aib dalam keluar (Lestari et al. 2017:8). Selanjutnya, kurangnya dana yang dikeluarkan bagi penyandang difabel dan rendahnya infratruktur, saran serta prasarana di sekolah penunjang bagi penyandang disabilitas.

Kasus Diskrimanatif Penyandang Disabilitas dalam Pendidikan

Penjelasan di atas seharusnya diiringi dengan realitas yang teraktualisasikan di tengah masyarakat. Kasus perundungan atau bullying terjadi kepada anak Sekolah Menengah Atas (SMA) di Cirebon, Jawa Barat. Kejadian tersebut berlangsung dengan melakukan kekerasan fisik kepada korban difabel. Kekerasan tersebut berupa menekan-nekan dan menginjak punggung dengan alasan kaki. Hal ini menurai kontroversi hingga ditangani oleh Komisi Nasional Republik Indonesia atau KNDRI. Komisioner komisi tersebut menyanyangkan tindakan tersebut dengan alasan tidak berperi kemanusiaan.

Diperlukan kepedulian terhdap disabilitas yang dapat ditanamkan di lingkungan keluarga dan sekolah. Dia berpesan kepada Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Riset dan Teknologi agar bertindak tegas tanggap untuk mengatasi masalah tersebut. Pesan tersebut berisikan penanaman rasa kemanusiaan dan peduli terhadap penyandang disabilitas yang dapat dimuat di dalam Program Merdeka Belajar sebagai bentuk kurikulum baru di sekolah. Program yang dimaksud terinspirasi dari Pancasila sebagai bentuk modalitas yang baik. Diharapkan dengan realisasinya program inovatif di atas dapat mereduksi dan menekan sikap yang tidak selaras dengan profil pelajar Pancasila. Tujuan mulia penegakan kasus perundungan di Indonesia ialah bentuk menghormati, menghargai dan mengakui kepada mereka yang mempunyai kebutuhan khusus (difabel) yang harusnya dipandang sama seperti layaknya orang normal.

Daftar Pustaka

Dena Widyawan. 2020. “Inklusi dalam Pendidikan Jasmani: Perspektif Siswa Penyandang Disabiltas.” Jurnal Sportif: Jurnal Penelitian Pembelajaran 6:746–62.

Lestari, Eta Yuni, Slamet Sumarto, and Noorochmat Isdaryanto. 2017. “PEMENUHAN HAK BAGI PENYANDANG DISABILITAS DI KABUPATEN SEMARANG MELALUI IMPLEMENTASI CONVENTION ON THE RIGHTS OF PERSONS WITH DISABILLITIES (CPRD) DALAM BIDANG PENDIDIKAN.” Integralistik 28(1):1–9. doi: 10.15294/integralistik.v28i1.11804.

Pemerintah Republik Indonesia. n.d. UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1945. Jakarta.

Septiana, Fajar Indra, and Zulfa Rahmah Effendi. 2019. “MEWUJUDKAN AKSES PENDIDIKAN TINGGI BAGI PENYANDANG DISABILITAS.” 1(01).

Wiwik Afifah and Syofyan Hadi. 2018. “Hak Pendidikan Penyandang Disabiltas di Jawa Timur.” DiH Jurnal Ilmu Hukum14.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image