Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rizka Ovilia Putri

Melangkah ke Masa Depan dengan Agile Culture: Mengatasi Budaya Lempar Tangan Antarinstitusi

Edukasi | Saturday, 17 Jun 2023, 12:29 WIB
Sumber: https://joel-krapf.com/agile-culture-check-acc/

Budaya organisasi memainkan peran penting dalam kesuksesan suatu institusi ataupun lembaga. Budaya organisasi mencerminkan keberhasilan institusi atas nilai dan asas yang ditanamkan pada setiap individu di dalamnya. Namun, disebabkan banyaknya fenomena yang terjadi di Indonesia perkara budaya saling melempar pekerjaan atau tanggung jawab, saling menyalahkan, dan saling menunggu antarinstitusi ataupun antarlembaga pemerintahan negara yang sudah mengakar, kini telah menjadi rahasia umum bagi rakyat Indonesia. Keberterusan menerapkan budaya yang buruk ini menjadi hambatan bagi produktivitas, efektivitas, dan efisiensi institusi, khususnya institusi yang berperan terhadap kemaslahatan khalayak ramai, termasuk dalam pelayanan masyarakat. Menanggapi budaya merugikan yang perlu diubah ini, institusi maupun lembaga negara seharusnya berupaya mengadaptasi budaya Agile Culture yang sudah diterapkan oleh banyak perusahaan sebagai respons atas situasi krusial berkenaan dengan kinerja.

Dikutip dari prasmul-eli.co, secara umum, Agile Culture merujuk pada sebuah budaya yang mengedepankan sikap gesit dalam bekerja. Ciri khas budaya agile (gesit) di lingkungan kerja salah satunya dapat merespons berbagai perubahan dengan cepat dan tidak terpaku pada prosedur yang kaku. Perusahaan sering kali menyatakan bahwa kemampuan untuk menjadi agile sebagai salah satu kriteria yang harus dimiliki oleh karyawannya. Banyak orang yang berpendapat bahwa perusahaan dengan mental karyawan yang agile dapat mengatasi berbagai kondisi sulit yang tengah dihadapi.

Budaya organisasi mencerminkan kepribadiannya – yang dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk ukuran, penyebaran geografis, kepercayaan, dan nilai. Orang dan peristiwa juga memengaruhi budaya organisasi. Agile Culture memberi organisasi seperangkat nilai inti, perilaku, dan praktik yang memungkinkannya berkembang di dunia yang ditandai dengan hal yang berubah-ubah/ketidakpastian, kompleksitas, dan ambiguitas. Dalam sebuah organisasi, setiap individu belajar menjadi tangguh dan adaptif dalam menjalani tugas-tugas yang kompleks, menghadapi segala ketidakpastian dan perubahan.

Prinsip dalam menerapkan Agile Culture yang sesuai pada pola pikir, perilaku, dan proses dalam organisasi, di antaranya:

1. Tujuan

Setiap individu berdiri di belakang visi organisasi/institusi, sehingga dapat dirasakan pekerjaan yang dilakukan bermakna. Setiap individu di dalamnya menghayati nilai-nilai organisasi yang dibentuk secara otentik. Ini memengaruhi tindakan individu di dalam perusahaan dan kontak mereka dengan mitra eksternal. Oleh karena itu, seluruh individu bisa tahu bagaimana komitmen mereka berkontribusi pada pencapaian tujuan organisasi.

2. Kepercayaan dan Transparansi

Setiap individu mempraktikkan komunikasi dan metode kerja yang terbuka dan berorientasi umpan balik. Dengan demikian, semua tim secara proaktif berbagi pengetahuan dan sumber daya. Dengan cara ini, seluruh orang di dalamnya menciptakan budaya positif di mana setiap orang dapat mengungkapkan pendapatnya secara terbuka dan jujur. Ini menciptakan keamanan dan kenyamanan dalam psikologis.

3. Open Error Culture (Budaya Terbuka terhadap Kesalahan)

Setiap tim dapat secara terbuka mengatasi kesalahan. Tim kemudian fokus pada penyebab kesalahan, daripada mencari siapa pelaku yang melakukan kesalahan. Ini membantu mengungkap masalah atau prosedur yang tidak produktif pada tahap awal.

4. Inovasi dan Keinginan untuk Belajar

Agile Culture merupakan budaya belajar kegesitan dalam bekerja. Ini berarti bahwa organisasi mendorong setiap individu di dalamnya untuk berpikir di luar kebiasaan (outside the box) dan mencari ide-ide inovatif. Untuk ini, organisasi membutuhkan lingkungan di mana kegagalan diakui sebagai kesempatan untuk belajar, dan pada akhirnya mencapai hasil yang lebih baik.

5. Adaptif

Transformasi Agile Culture menuntut organisasi untuk merespons secara proaktif terhadap perubahan lingkungan. Dalam praktiknya, ini berarti seluruh tim dengan cepat mengadopsi ide-ide baru dan menguji apakah itu layak. Dengan demikian, setiap tim memiliki wewenang untuk mengambil risiko sampai tingkat yang sesuai.

6. Fokus pada Nilai Tambah Pelanggan/Klien

Pola pikir dan proses dalam organisasi diselaraskan sedemikian rupa sehingga hasil akhirnya adalah nilai tambah yang tinggi bagi pelanggan (masyarakat). Oleh karena itu, setiap ketangkasan dalam bekerja berfokus pada nilai pelanggan.

Transformasi Agile Culture merupakan tantangan yang menuntut perusahaan untuk berinovasi di semua pilar organisasinya. Terutama adalah pembentukan budaya tangkas dalam bekerja. Hanya dengan ini organisasi (perusahaan, institusi, lembaga, badan) dapat mengubah struktur elemen, proses, dan teknologi mereka untuk benar-benar beroperasi dengan gesit di semua tingkatan.

Untuk melangkah ke masa depan dengan Agile Culture, penting untuk mengubah paradigma dan kebiasaan dari lempar tangan menjadi kerja sama. Setiap individu dan tim harus bertanggung jawab penuh atas tugas dan pekerjaan yang mereka lakukan. Dengan mengadopsi sikap saling mendukung dan berkolaborasi, kita dapat mengatasi budaya lempar tangan yang hanya memperburuk situasi. Selain itu, budaya saling menyalahkan, yang masih sering terjadi, merupakan sikap yang tidak produktif dalam menciptakan lingkungan yang adaptif dan responsif. Sebaliknya, kita harus memfokuskan energi kita pada identifikasi masalah dan pencarian solusi bersama. Dalam Agile Culture, kesalahan dianggap sebagai kesempatan untuk belajar dan memperbaiki, bukan sebagai alat untuk menyalahkan orang lain.

Agile Culture mendorong kerja sama antarinstitusi. Masa depan yang sukses membutuhkan kolaborasi yang kuat di antara semua pemangku kepentingan. Ketika institusi saling menunggu atau berkompetisi satu sama lain, inovasi terhambat dan kemajuan terhenti. Penerapan Agile Culture memperkuat sinergi dan kemitraan antarinstitusi, sehingga memungkinkan aliran informasi dan kolaborasi yang lebih baik.

Dalam mengatasi budaya lempar tangan, saling menyalahkan, dan menunggu antarinstitusi, kita harus mengadopsi sikap positif dan proaktif. Hal ini melibatkan mengubah pola pikir dan perilaku, membangun hubungan yang kuat antarindividu dan antarinstitusi, serta menerapkan prinsip-prinsip Agile Culture dalam semua aspek kerja kita. Dengan menerapkan Agile Culture, kita akan menciptakan lingkungan yang dinamis, kolaboratif, dan inovatif. Kita akan mampu menghadapi perubahan dengan cepat, mempercepat waktu pengembangan layanan atau produk, dan mencapai hasil yang lebih baik secara keseluruhan. Melangkah ke masa depan dengan Agile Culture adalah langkah penting dalam menghadapi tantangan yang kompleks dan berkelanjutan di dunia yang terus berkembang.

Notabene:

Salam hangat, Sobat Pembaca. Nama saya Rizka Ovilia Putri, seorang mahasiswa di Universitas Airlangga. Sebagai mahasiswa di Universitas Airlangga, saya merasa terhormat dan bangga dapat menjadi bagian dari civitas academica di universitas yang dinamis dan inspiratif ini. Di Universitas Airlangga, saya telah memiliki kesempatan yang luar biasa untuk terlibat dalam berbagai kegiatan akademik dan nonakademik. Dalam konteks topik yang dibahas dalam artikel opini ini, pengalaman saya sebagai mahasiswa di Universitas Airlangga memberi saya perspektif yang berharga. Melalui pendidikan dan interaksi dengan dosen dan sesama mahasiswa, saya telah belajar mengembangkan pemikiran kritis dan melihat isu-isu ini dari berbagai sudut pandang. Meskipun di sini saya menyampaikan keterangan afiliasi sebagai mahasiswa di Universitas Airlangga, penting untuk diingat bahwa pandangan yang saya sampaikan dalam artikel ini adalah pandangan pribadi dan tidak mewakili universitas atau mahasiswa secara keseluruhan. Saya berusaha menjaga objektivitas dan mempresentasikan argumen berdasarkan riset dan pemikiran kritis.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image