Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Alya Anggreani Sipayung

Perkembangan Keuangan Mikro di Indonesia

Lainnnya | Friday, 16 Jun 2023, 00:18 WIB

Keuangan mikro menjadi istilah penting dalam suatu pemberdayaan ekonomi di Indonesia yang mana sebagai bentuk penyediaan pelayanan keuangan dalam bentuk kredit, tabungan, asuransi dan transfer uang bagi masyarakat yang ingin mengembangkan suatu usaha. Pelayanan keuangan mikro ini dapat diberikan oleh Lembaga Keuangan Mikro (LKM), dimana lembaga ini sebagai lembaga keuangan yang memberikan suatu jasa keuangan berupa pinjaman atau pembiayaan terhadap usaha – usaha lingkup mikro, pengelolaan simpanan dan pemberi jasa konsultasi terhadap pengembangan usaha. Strategi pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia menjadi salah satu solusi dalam penyediaan kesempatan masyarakat di Indonesia untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, tercatat bahwa ada 242 Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia pada Desember tahun 2022. Secara rinci terdapat 161 LKM konvensional yang terdiri dari 100 koperasi dan sebanyak 61 perusahaan. Kemudian, 81 LKM syariah yang terdiri dari 80 koperasi dan 1 perusahaan.

Awal berdirinya Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di Indonesia sudah ada sejak berdirinya Bank Kredit Rakyat dan Lumbung Desa pada akhir abda ke -19 yang mana lembaga – lembaga ini dibentuk memiliki tujuan dalam membantu para buruh dan petani mengindari dari jeratan lintah darat. Kemudian pada tahun 1905 Bank Kredit Rakyat diganti menjadi Bank Desa dimana tujuannya diperluas dalam memberikan pelayanan usaha di berbagai bidang. Lalu pada rahun 1929, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Staatblad 1929 No. 137 mengenai pendirian Badan Kredit Desa (BKD) dengan tujuannya dalam penanganan kredit pedesaan di Jawa dan Bali. Setelah awal kemerdekaan, bank – bank pasar dan berbagai lembaga keuangan mikro mulai terbentuk oleh pemerintah daerah seperti Badan Kredit Kecamatan (BKK) di Jawa Tengah, Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) di Jawa Timur, Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali dan lainnya. Lembaga – lembaga tersebut masih dikenal masyarakat sebagai bank pasar atau lembaga kredit desa. Sementara itu terjadi perubahan yang lumayan signifkan setelah diterbitkannya Undang – Undang No.7 Tahun 1992 mengenai penetapan perbankan terhadap bank di Indonesia, yakni Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Ada juga yang disebut sebagai bank gelap, yaitu lembaga keuangan nonformal yang tidak dapat memenuhi syarat Bank Perkreditan Rakyat. Saat itu tercatat terdapat 2.272 LDKP dan 5.345 BKD yang tidak dapat memenuhi syarat sebagai Bank Perkreditan Rakyat (Ibrahim). Pada tahun 1950 sampai 1970, masyarakat berpengasilan rendah dipandang sebagai petani dan buruh yang tidak diperdulikan sehingga perlu adanya produktivitas yang lebih baik melalui pemberian kredit. Kemudian pada tahun 1980-an masyarakat berpenghasilan rendah dipandang sebagai pengusaha mikro, dimana kebanyakan adalah perempuan yang tidak mempunyai aset yang dapat dijadikan jaminan meskipun usaha yang dimiliki terdapat prospek untuk dikembangkan. Dengan begitu, adanya upaya lembaga nonpemerintah yang dikembangkan dalam penyediaan kredit mikro. Adanya peralihan dari kredit bersubsidi terhadap kredit tanpa subsidi disebabkan adanya argumen yang mengatakan bahwa masyarakat berpengasilan rendah sesungguhnya tidak membutuhkan subsidi bunga pinjaman, namun lebih membutuhkan akses terhadap sumber pembiayaan. Kemudian tahun 1990-an adanya perkembangan pelayanan keuangan mikro memberikan suatu inovasi cara penyaluran kredit berbentuk kelompok, yakni melalui pola Grameen Bank, yaitu suatu organisasi kredit mikro di Bangladesh yang memberikan pinjaman kecil kepada orang yang kurang mampu tanpa adanya suatu jaminan. Sementara itu, pada tahun 1990-an, terdapat beberapa studi mengamati suatu gejala yang makin terjadi tersisihnya golongan paling miskin dari pelayanan keuangan mikro yang diakibatkan oleh tingginya penekanan pada kelancaran pembayaran lembaga pemberi layanan keuangan mikro. Menurut pendapat Matin, Hulme dan Rutherford, tersingkirnya golongan yang paling miskin ini dakibatkan adanya rancangan layanan keuangan mikro tidak sesuai dengan pola penghidupan golongan masyarakat miskin, kegiatan ekonominya dilakukan dalam skala kecil yang mana juga memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap gejolak perekonomian. Perdebatan mengenai argumen tersingkirnya golongan paling miskin dari layanan keuangan mikro menghasilnya dua pandangan yang berbeda. Pandangan pertama beranggapan bahwa golongan paling miskin tidak membutuhkan pelayanan keuangan mikro, tetapi lebih membutuhkan bantuan langsung. Sedangkan pandangan kedua, beranggapan bahwa golongan paling miskin juga layak memerlukan suatu layanan keuangan mikro yang mana suatu rancangan perlu dibentuk sesuai dengan kebutuhan mereka (Matin, Hulme dan Rutherford).

Krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 menjadi suatu pukulan yang hebat bagi Indonesia dalam menghadapi pengaruhnya langsung di sektor ekonomi dan perbankan. Lembaga keuangan bank di Indonesia mengalami keterpurukan dan terjerat hutang yang sangat tinggi. Akan tetapi, bank umum dan lembaga keuangan pedesaan tidak memiliki pengaruh yang singnifikan akibat krisis ekonomi tersebut, hal tersebut menjadikan seluruh bank umum di Indonesia mulai fokus dan serius menanggapi potensi kredit mikro di Indonesia. Pada tahun 2000-an ditandai adanya jenis lembaga keuangan baru yang berprinsip hukum Islam, yaitu lembaga syariah dimana lembaga ini memiliki jenis pembiayaan modal ventura melalui sistem bagi hasil yang tidak berbunga. Selain itu, pada awal tahun 2000-an, dibentunya suatu forum Gerakan Bersama Pengembangan Keuangan Mikro di Indonesia atau dikenal sebagai “Gema PKM”, dimana forum tersebut memiliki tujuan dalam peningkatan cakupan dana untuk keuangan mikro. Akibat adanya forum tersebut, Bank Indonesia menerbitkan suatu peraturan yang khusus mengatur pengelolaan lembaga keuangan mikro pada tahun 2001, namun tidak ada persetujuan disahkanperaturan tersebut oleh DPR sehingga pada tahun 2003 Bank Indonesia dan lembaga Promotion of Small Financial Institution (Pro-Fi) mengeluarkan sebuah kajian serta rumusan mengenai pengelolaan dan pengembangan Lembaga Keuangan Mikro. Kemudian, isi pada kajian ini menyarankan agar pemerintah dapat menghilangkan hal yang dapat menghambat pengembangan Lembaga Keuangan Mikro dan pemerintah segera menyusun peraturan perundangan yang khusus mengatur terkait keberadaan dan pengelolaan LKM. Dengan demikian, kajian tersebut akhirnya berhasil pada tahun 2010 merumuskan Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Lembaga Keuangan Mikro. Namun, banyak juga pertentangan dalam proses pengesahan RUU yang ditentang oleh LKM seperti halnya LPD di Bali, bertentangan karena RUU tidak sesuai dengan landasan nilai-nilai desa adat Bali.

Referensi

B I Gde Kajeng. Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia. Denpasar: Universitas Udayana.

Ootoritas Jasa Keuangan. 2022. LEMBAGA KEUANGAN MIKRO, ALTERNATIF SIMPANAN DAN PENDANAAN MIKRO MASYARAKAT DESA. https://sikapiuangmu.ojk.go.id/FrontEnd/CMS/Article/40768

The SMERU Research Institue. Keuangan Mikro di Indonesia. www.smeru.or.id

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image