Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ardtel Siahaan

Bagaimana Adat Perkawinan Eksogami Menghindarkan Suku Batak dari Hubungan Incest

Edukasi | 2023-06-13 01:31:55

Perkawinan dalam suku Batak menyatukan dua Marga yang berbeda sehingga akan mengkoneksikan kedua belah pihak pengantin yaitu kelompok Parboru (keluarga mempelai wanita) dan kelompok Paranak (keluarga mempelai pria). Proses perkawinan dengan sistem eksogami (perkawinan dengan kelompok yang berbeda) menjadi ciri khas suku Batak sampai saat ini. Suku Batak menganggap pernikahan semarga (Namariboto) sebagai pernikahan sedarah (Incest). Oleh sebab itu masyarakat Batak melarang adanya pernikahan semarga. Lagipula masyarakat Batak akan menganggap perkawinan tidak resmi apabila dilalui tanpa proses adat sehingga akan sangat sulit untuk Namariboto melangsungkan pernikahan.

Incest adalah perkawinan dua individu kerabat dekat atau terkait erat secara genetik yang membawa alel dari nenek moyang yang sama. Keturunan hasil incest akan membawa

heterogenitas genetik yang sangat kecil. Hal ini disebabkan DNA berasal dari kedua orangtuanya kurang lebih sama. Karakter tubuh manusia yang tampak menonjol disebut dengan dominan, selain itu ada karakter yang terpendam disebut recessive. Semisal Ayah/Ibu/leluhur dua orang tadi memiliki gen recessive (mis: rambut keriting), bisa dibuktikan akan ada keturunan yang mendapat gen recessive tadi. Ada juga kerabat dekat posisi kedua (sepupu/saudara senenek) yang mempunyai kemiripan gen sampai persentase tertentu. Oleh sebab itu, bila dipaksakan menikah maka taraf timbulnya gen-gen recessive akan bertambah. Minimnya heterogenitas genetik DNA bisa memberi dampak jahat untuk kesehatan, seperti besarnya probabilitas terjangkit masalah kelainan genetik langka misalnya sistik, hemofilia, fibrosis, dan sebagainya. Kasus incest dalam keluarga lebih dikenal dengan inbreeding (consanguineous). Keturunan hasil inbreeding dipanggil inbred, antonim inbreeding adalah outbreeding (perkawinan random). Derajat keparahan inbreeding bergantung kepada kedekatan keluarga, artinya lebih dekat lebih banyak resiko. Setiap individu mempunyai 46 kromosom, 23 kromosom (set pertama) didapat dari ayah dan 23 kromosom (set kedua) dari ibu. Tiap set mempunyai sifat genetik berbeda untuk membentuk kromosom “kita” sendiri. Bagian paling penting yang akhirnya membedakan tiap individu adalah turunan gen milik Ibu dapat sangat kontradiktif dengan turunan milik ayah.

Mempunyai dua salinan gen merupakan sistem yang cerdas. Sebab, ketika salinan pertama rusak, masih ada salinan gen lain sebagai cadangan. Namun, pemilik satu gen rusak masih bisa mewariskan gen tersebut untuk keturunan selanjutnya (carrier) dimana mereka memiliki satu salinan rusak namun tidak memiliki penyakit tersebut. Disini mulai muncul masalah bagi anak hasil incest. Seorang pria adalah carrier dari gen yang rusak, ia punya kemungkinan 50% mewariskan gen rusak kepada keturunannya. Bukan masalah bila pria itu mempunyai istri yang punya gen sehat dan lengkap, yang kemudian besar kemungkinan anak pasangan mewarisi sekurang-kurangnya satu salinan yang sehat. Berbeda dengan incest, kemungkinan pasangan memiliki gen rusak yang sama rusak semakin besar. Sederhananya, masing-masing dari suami dan istri punya peluang menurunkan gen rusak pada anaknya sebesar 50%, sehingga keturunannya akan punya peluang memiliki penyakit pada gen rusak sebesar 25%.

Risiko lainnya adalah melemahnya sistem kekebalan tubuh anak hasil pernikahan incest. Sistem imunitas bergantung kepada Major Histocompatibility Complex (MHC) pada DNA. MHC merupakan sekumpulan gen penangkal/pelawan penyakit. Agar MHC dapat bekerja lebih maksimal dibutuhkan sebanyak mungkin variabilitas alel. Semakin banyak variasinya, semakin baik kinerja tubuh dalam melawan penyakit. Variabilitas tersebut adalah krusial sebab tiap gen dalam MHC bertugas memerangi berbagai penyakit. Dalam menentukan seberapa dekat gen seseorang dapat ditilik dari struktur keluarga dalam adat Batak, yang biasa digunakan adalah mengikuti garis keturunan Ayah dan sedikit dari garis keturunan Ibu. Sistem perkawinan suku Batak yang diakui adalah dengan pasangan yang bukan semarga (eksogami), sehingga perkawinan antara satu marga dilarang.

Perkawinan-perkawinan yang tidak akan diizinkan dalam suku Batak adalah sebagai berikut:

1. Bagi yang memiliki marga yang sama tidak diizinkan melakukan perkawinan;

2. Namariboto yaitu saudara satu ayah satu ibu;

3. Namarpadan (adanya janji) dilarang menikah dalam Adat Batak;

4. Pariban yang dilarang untuk dinikahi, misalnya dari tiga orang bersaudara jika si

sulung menikahi anak perempuan paman (tulang), maka saudara si sulung lainnya

tidak boleh lagi menikahi saudari mempelai perempuan tadi, dan sebaliknya;

5. Anak perempuan namboru (saudari ayah).

Perkawinan dengan satu marga (incest) dilarang sebab akan menghancurkan adat istiadat

dan hukum yang sudah lama dianut dan bisa mencoreng nama keluarga. Orang yang tetap

mengadakan perkawinan dengan satu marga akan dihukum dengan hukuman adat daerah yang berlaku, sesuai dengan seberapa dekat hubungan keluarga yang mengawinkan anaknya. Hukuman yang diberikan berupa disirang mangolu (diceraikan semasa hidup) dan pengasingan. Ada masa ketika pasangan yang mengadakan pernikahan dengan semarganya diusir dan diasingkan jauh dari desa. Namun nantinya di rumah adat akan digambar pahabang manuk na bontar (ayam berbulu putih) yang artinya meski mereka diusir dan diasingkan, mereka tetap dibekali dan diberi nasehat agar bisa sadar dan bertobat. Indonesia sendiri sudah memiliki pasal-pasal yang mengatur larangan pernikahan incest, salah satunya adalah dipertegas dalam Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan:

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;

b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara

seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;

d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan

bibi/paman susuan;

e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri,

dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;

f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Konsekuensi yang bisa didapat jika melanggar adalah seperti adanya petugas yang diutus berkewajiban mencegah pengadaan perkawinan-perkawinan incest, petugas penulis pernikahan dilarang menggelar atau membantu penyelenggaraan pernikahan, nilai keabsahannya tidak diakui sehingga keluarga tersebut tidak akan mendapat kepastian hukum untuk status dan jaminan perlindungan hak yang timbul. Namun, mengacu pada data Siaran Pers Catatan Tahunan Komnas Perempuan tahun 2019, kasus incest masih berada di angka yang tinggi. Contoh di 2018 mencapai kurang lebih 1071 kasus. Pelaku terbanyak dari kasus ini adalah Ayah kandung dan Paman. Seringnya incest turut disertai dengan kasus kekerasan baik sesama pasangan juga terhadap anak dari hubungan tersebut. Kasus pernikahan sedarah dan marital rape termasuk ke dalam bentuk eksploitasi yang sulit terungkap terutama untuk dibuka oleh korban, dikarenakan adanya hubungan kekeluargaan dan korban telah dipaksa untuk tidak membuka aib keluarga. Bukan tidak mungkin bahwa sebenarnya masih banyak kasus insect yang terjadi namun ditutup rapat-rapat baik oleh pelaku, korban, dan keluarga. Penyebab timbulnya incest adalah tidak lain karena rendahnya edukasi, minimnya penjagaan anak oleh orang tua, dan kekurangan dalam penanaman pendidikan moral dan religi pada diri sendiri. Ada pula faktor eksternal seperti lingkungan, globalisasi dankemajuan IPTEK, ekonomi, sosial budaya dan lainnya. Masyarakat perlu memahami bahwa pernikahan incest bukan hanya dapat memengaruhi dan merusak sisi psikologis dan biologis dari orangtua tetapi juga membuat keturunan mereka memiliki resiko lebih besar untuk terjangkit penyakit. Adanya aturan terkait pernikahan eksogami, eksistensi Marga, dan kepercayaan suku Batak bahwa pernikahan semarga bisa membawa bencana seperti kecacatan dan penyakit, secara tidak langsung mengedukasi masyarakat Batak dan menjauhkan mereka dari banyaknya resiko penyakit. Rasanya sebagai manusia modern, hukum adat ini tidak dianggap sebagai pembatasan terhadap hak-hak kita namun dipahami alasan-alasan yang melatarbelakangi dan mendukung adat tersebut. Maka dari itu, masyarakat baik dengan hukum perkawinan eksogami maupun yang tidak mengatur dapat bijak menentukan pilihan pernikahan. Meskipun demikian, aturan-aturan ini menjadi salah satu ciri khas dari Batak dan juga menambah kekayaan dari negara Indonesia. Mengikuti aturan ini bukan hanya menjaga dan melestarikan kebudayaan tetapi turut bertindak bijaksana dalam menentukan masa depan keluarga dan keturunan mengingat begitu banyak risiko yang bisa didapat dari pernikahan incest baik itu dari segi hukum adat, hukum negara, dan kesehatan.

.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image