Pentingnya Pendidikan Anti Korupsi di Perguruan Tinggi
Eduaksi | 2023-06-10 21:25:31PENTINGNYA PENDIDIKAN ANTI KORUPSI DI PERGURUAN TINGGI
Perguruan tinggi tidak hanya melahirkan sejumlah intelektual yang berdedikasi pada pengembangan ide-ide orisinal dan kreatif, tetapi juga menjadi perpanjangan dari proses industrialisasi atau keunggulan kapitalisme global. Produknya adalah robot humanoid yang kurang memiliki kepekaan sosial dan bahkan integritas. Anda tidak memiliki ketiga kecerdasan di atas secara seimbang dan memadai. Bahkan, di antara mereka, besar dan kecil, korupsi kemudian menyebar luas.
Meskipun pendidikan antikorupsi menjadi topik yang kontroversial dengan pro dan kontra, pendidikan antikorupsi tampaknya menjadi langkah strategis dan sukses di tengah pemberantasan korupsi yang mandek. Ada banyak argumen yang bisa dipercaya. Di bawah:
Pertama, berdasarkan praktik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), korupsi di Indonesia lebih dilihat sebagai masalah hukum daripada hal lain seperti budaya, sebagaimana dijelaskan di atas. Tanggung jawab untuk memerangi korupsi juga terletak pada para ahli dan pendidik dalam disiplin ilmu selain hukum.
Kedua, akar masalah korupsi kronis di Indonesia tampaknya tidak terletak pada ketiadaan aturan, hukum, dan struktur hukum yang lemah.
Korupsi tampaknya lebih merupakan akibat lemahnya budaya hukum internal (gagasan/pikiran dan perasaan) dan praktik (tindakan) legislator, yaitu. H. polisi, kejaksaan, pengadilan dan lembaga penegak hukum pemerintah lainnya. Polisi, parlemen, pengadilan, kejaksaan, partai politik, otoritas perizinan dan direktur jenderal administrasi perpajakan adalah beberapa institusi yang paling korup. Dalam konteks ini, Prof. Taverne. dia pernah berkata:
"Beri saya hakim dan jaksa yang baik sehingga saya bisa membuat keputusan yang baik bahkan dengan hukum yang buruk." Baginya ini berarti bahwa pada akhirnya itu semua tergantung pada orangnya, orang di belakang senjata, apakah mereka memiliki budaya yang baik atau tidak. Kesaksian Taverna sebanding dengan A. Irving Hallowell. Baginya, humanisasi seseorang, termasuk penegakan hukum, bukanlah biologi mereka yang tidak jauh berbeda dengan hewan, tetapi budaya dan peradaban manusia terjadi melalui lembaga pendidikan, meskipun hal ini juga dipengaruhi oleh keluarga mereka dan lainnya. lingkungan sosial. . Oleh karena itu, memberantas korupsi juga menjadi tanggung jawab peneliti pendidikan dan kebudayaan.
Ketiga, korupsi bukan hanya masalah budaya internal penyelenggara negara, tetapi juga budaya hukum eksternal, yaitu lemahnya keberadaan, peran, pendapat, kepentingan, dan batasan kelompok sosial dan masyarakat secara keseluruhan, sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Dalam hal ini, pendidikan antikorupsi merupakan upaya menjadikan korupsi sebagai musuh bersama. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi juga menjadi tanggung jawab para peneliti/pendidik di bidang ilmu sosial, ilmu politik, dan humaniora.
Keempat, korupsi di Indonesia juga merupakan masalah kepentingan elit penguasa yang (secara kultural) rakus.
Dalam hal ini, pendidikan antikorupsi merupakan upaya elit penguasa, yang diharapkan dari segi nilai (budaya), untuk berhenti serakah. Oleh karena itu, memberantas korupsi juga menjadi tanggung jawab para peneliti/pengajar ilmu-ilmu seperti psikologi.
Kelima, pendidikan antikorupsi sejalan dengan Kong Fu Tse (551-478 SM), yang secara meyakinkan memandang kejahatan sebagai masalah non-yudisial. Baginya, semakin ketat hukum, semakin banyak tindakan yang melanggar hukum. Kong Fu Tse dan gurunya Lao Tse mewakili tipologi intelektual yang tidak percaya bahwa kejahatan seperti korupsi adalah legal. Baginya, hukum bahkan tidak bisa menyelamatkan negara dari kejahatan. Sebaliknya, ia lebih percaya pada cara menyendiri untuk beribadah lebih dekat dengan Tuhan, pada lembaga pendidikan, dan pada gerakan perubahan sosial yang nyata yang melibatkan berbagai pihak (Ya'qub, 1991:37-38). Pandangannya hampir sejalan dengan pandangan Kristen, yang berbeda dengan Yudaisme, yang menekankan kebijakan (Hart, 2005:37-40, 46-49, 91-93). Ada juga kebutuhan mendesak bagi para praktisi atau peneliti di bidang literatur tentang agama dan perubahan sosial, seperti manajemen motivasi dan antikorupsi.
Keenam, pendidikan antikorupsi juga merupakan bagian dari upaya untuk menggerakkan kampus (sekolah) ke zona kejujuran atau antikorupsi, karena institusi pendidikan seringkali tidak memiliki kurikulum/budaya implisit yang akan mendorong pengajaran nilai-nilai antikorupsi. seperti yang dijelaskan nanti dalam buku ini. Memang, seperti yang ditemukan Havighrust dan Bernice, pengaruh budaya lembaga pendidikan berdampak sangat besar terhadap perilaku siswa, bahkan lebih besar dari kurikulum formal (Azhar et al., 2003). Bahkan, lembaga pendidikan Indonesia kerap menjadi sumber korupsi.
Ketujuh, pendidikan anti korupsi sesuai dengan visi Paulo Freire. Baginya, pendidikan harus menjadi jalan menuju pembebasan, menyadarkan rakyat akan penindasan yang mereka hadapi. Pendidikan antikorupsi harus menyadarkan peserta didik bahwa korupsi adalah penindasan terhadap kemanusiaan dan penindasan terhadap bangsa/negara.
Kedelapan, pendidikan antikorupsi sejalan dengan teori tiga kecerdasan di atas (kecerdasan, emosi dan spiritualitas) dan juga dengan Teori Pendidikan Generasi Milenial yang telah dibahas di atas. Ada penilaian tes dan non tes dalam pelatihan antikorupsi. Untuk ujian yang bukan ujian, mahasiswa dapat diminta untuk melakukan penelitian di universitas tempat mereka belajar atau tinggal untuk membiasakan diri dengan berbagai topik pendidikan antikorupsi.
Menimbang manfaat di atas, tak salah jika Ditjen Dikti (2011) mendukung dan merekomendasikan pelatihan antikorupsi di semua jenjang pendidikan, khususnya di tingkat universitas. Untuk itu, Badan Pendidikan Nasional Finlandia bekerja sama dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan membuat modul pelatihan antikorupsi untuk pendidikan tinggi.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.