Maksimalisasi Profit dalam Perspektif Islam
Ekonomi Syariah | 2023-06-08 20:50:35Dalam bisnis, setiap individu dalam perusahaan memiliki keterampilan dan jenis masukan yang diasumsikan memiliki tujuan utama yaitu memaksimalkan laba perusahaan.
Charles Thomas Horngen mendefinisikan laba adalah penghasilan dari total jumlah pendapatan dengan perbandingan total beban, selanjutnya M. Nafarin (2007) juga mengartikan laba merupakan selisih antara pendapatan dengan pengeluaran dan keseimbangan biaya-biaya pada periode akuntansi tertentu.
Maksimalisasi laba merupakan upaya yang dilakukan pelaku usaha dalam menghasilkan keuntungan yang maksimal dari usaha yang dijalankan. Nocholso juga mendefinisikan maksimalisasi keuntungan “the firm chooses both its input and its output with the sole goal of maximizing economics profits, the difference between its total revenues and its total economics cost" yang artinya bahwa setiap perusahaan memilih input dan output bertujuan untuk memaksimalkan keuntungan.
Lantas, bagaimana konsep maksimalisasi profit menurut pandangan islam?
Antonio berpendapat bahwa islam merupakan agama yang universal, agama yang memberikan aturan manusia pada seluruh aspek kehidupan. Kemudian ditegaskan pula oleh Munrokhim bahwa tujuan akhir atau goals dalam kegiatan berekonomi adalah untuk mencapai falah dunia dan akhirat. Ketersinggungan yang erat antara agama dan perilaku dalam kehidupan manusia seyogyanya muncul dalam kegiatan sehari-hari, seperti kegiatan ekonomi yaitu proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa.
Dari definisi di atas Nampak bahwasahnya kehadiran agama dalam kegiatan ekonomi memberikan corak tersendiri. Hal ini tercermin dari kegiatan produksi selain mendesain keuntungan untuk individu atau perusahaan, disisi lain kegiatan produksi dikaitkan dengan kebutuhan hajat hidup orang banyak dan disaat yang bersamaan mengharap ridho dari Allah SWT melalui kegiatan produksi.
Dari kegelisahan yang terjadi akibat beberapa motif produsen yang tidak mengindahkan etika dan moral sehingga merugikan konsumen maka muncul arus baru yang menawarkan sinergitas nilai-nilai agama dalam proses kegiatan produksi. Diantara nilai yang terkandung didalamnya adalah menjadi etika dan moral pada kegiatan produksi, sehingga tujuan akhir dari ekonomi Islam yaitu kebahagiaan (falah).
Dalam perspektif islam, tujuan seorang produsen dalam melakakukan kegiatan produksi adalah untuk menyediakan barang dan jasa yang dapat memberikan maslahah maksimum bagi konsumen yang dibagi menjadi: Pertama, pemenuhan kebutuhan manusia pada tingkat moderat; kedua, menemukan kebutuhan masyarakat dan pemenuhannya; ketiga, menyiapkan persediaan barang/jasa di masa depan; keempat, pemenuhan sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah.
Lebih lanjut, bahwa aspek yang paling utama seorang produsen harus menyediakan barang/jasa yang dibutuhkan oleh konsumen untuk menghindari keberlebihan dalam memanfaatkan sumber daya atau faktor-faktor produksi. Hal ini menunjukkan bahwa produsen dan produksi dalam perspektif ekonomi islam memiliki spektrum yang lebih luas yaitu produsen tidak hanya memikirkan keuntungan materil bagi dirinya sendiri akan tetapi juga memikirkan kebermanfaatan barang dan jasa bagi konsumen.
Dalam islam, seorang pengusaha tidak ditentukan berapa persen harus mengambil keuntungan dari barang dagangannya atau barang hasil produksi. Hal ini berlaku apabila syarat dan ketentuan antara penjual dan pembeli tidak saling mendzolomi dan ridho sama ridho sebagaimana dalam firman Allah Q.S An-Nisa ayat 19 "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu".
Konsep maksimalisasi keuntungan yang selama ini menjadi motivasi utama bagi perusahaan seringkali memiliki dampak negatif bagi diri sendiri maupun masyarakat. Dengan demikian apabila tujuan produksi dalam ekonomi islam adalah kemaslahatan dunia dan akhirat maka tujuan utama perusahaan melalui produksi adalah bukan hanya berfokus pada memaksimalkan keuntungan akan tetapi memaksimalkan masalahah.
Profitabilitas bukanlah tujuan tetapi faktor pembatas pada badan usaha dan aktivitas bisnis. Laba bukanlah penjelasan, penyebab, atau dasar pemikiran perilaku bisnis dan keputusan bisnis melainkan ujian validitasnya. Demikian Karns (2008) berpendapat bahwa laba adalah sarana penting untuk melayani kemakmuran umat manusia tetapi tidak tujuan akhir dari aktivitas bisnis sebagaimana di atur dalam paradigma kekayaan pemegang saham.
Merujuk pada hal ini dapat disimpulkan bahwa mengambil keuntungan yang semakisimal mungkin boleh saja namun perlu di ingat bahwa dalam setiap transaksi menghasilkan laba, perlu menanamkan nila-nilai moral dan etika, serta tidak mendzolimi pihak-pihak yang terlibat. Selain itu, tidak ada dalil larangan dalam penentuan presentase keuntungan yang dapat diperoleh melainkan diperbolehkan mengambil keuntungan yang maksimal tergantung dengan transaksi penyeimbang yang telah ia keluarkan untuk memproduksi atau mendapatkan suatu barang atau jasa sehingga sampai pada konsumen.
Penting untuk diingat bahwa perhatian utama ajaran islam bahwa dalam setiap transaksi bisnis maka adanya kesepakatan yang adil, penuh transparansi, dan wajar di pasar terjamin dan tidak terjadi eksploitasi sehingga integrasi nilai-nilai etika dan moral selalu terjaga.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.