Pancasila dan Pendidikan Ramah Anak
Didaktika | 2023-06-08 13:18:26Masyarakat Indonesia memeringati 1 Juni sebagai Hari Pancasila. Dan, karena itu, Juni kemudian identik sebagai Bulan Pancasila. Pemerintah telah menetapkannya melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo. Menurut sejarahnya, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) menggelar sidang kedua yang di dalamnya ada pidato Soekarno tentang gagasan dasar negara pada 1 Juni 1945. Ketua BPUPKI Dr. Radjiman Wedyodiningrat menyebutnya sebagai lahirnya Pancasila.
Kesaktian Pancasila memang telah terbukti seiring dengan makin berusianya Indonesia sebagai bangsa dan negara. Berbagai ancaman dan tantangan yang dihadapi Indonesia, baik dari dalam dan luar negeri, membuktikan Pancasila mampu menghadapi itu semua. Tantangan yang paling berat adalah pengaruh dari luar negeri, melalui murah dan mudahnya akses internet. Globalisasi mengubah gaya hidup masyarakat kita, dan berpengaruh dalam dunia pendidikan.
Anak menjadi perhatian paling besar karena mereka menjadi glongan masyarakat paling mudah terpapar dari efek negatif internet. Maraknya anak yang menjadi pelaku kejahatan, banyak dipengaruhi dari permainan game online dan tontonan tidak layak di media sosial. Tawuran pelajaran, yang notabene pelakunya adalah masih berusia anak, juga dipengaruhi dari internet.
Informasi di internet yang dapat diakses secara leluasa sangat rawan dalam mempengaruhi moral siswa, sebagai contoh situs-situs yang berbau pornografi, serta adanya foto dan video yang tidak pantas sangat mudah diakses dan merajalela di media sosial tanpa adanya filterisasi. Adanya konten-konten yang tidak baik tersebut bisa mempengaruhi perilaku anak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka dari itu, agar moral siswa tidak semakin rusak diperlukan kontrol dan perhatian dari orang tua siswa, guru dan negara.
Metode pendidikan berbasis teknologi bisa menjadi kesempatan bagi sebuah negara untuk meningkatkan pendidikannya, namun nyatanya kemajuan teknologi dan informasi di dunia pendidikan perlu dibarengi dengan kesiapan mental dan modal yang tentunya tidak sedikit. Di beberapa negara di dunia khususnya negara berkembang,perkembangan teknologi hanya bisa dinikmati sekolah-sekolah di wilayah perkotaan, sementara sekolah yang berada di wilayah pedalaman terus tertinggal karena sulitnyaakses dan kurangnya modal. Akibatnya kesenjangan sosial di bidang pendidikan tidak dapat dibendung lagi.
Rasa cinta tanah air tergerus karena pengaruh globalisasi. Budaya di Indonesia dikhawatirkan akan hilang karena pudarnya rasa nasionalisme, berkurangnya sifat kekeluargaan, serta gaya hidup masyarakat yang individualistik, hedonisme, dan permisif. Sebagai contoh dapat kita lihat dari idola anak-anak yang sebenarnya tidak pantas seumuran mereka. Idola penyanyi, aktor film dan sejenisnya yang segala perkataan dan perbuatannya ditiru mentah-mentah.
Upaya menanamkan kembali Pancasila dan pendidikan anak sangat mutlak dibutuhkan. Nilai Pancasila sudah ada sejak kelahirannya dan dirumuskan oleh para founding fathers kita. Pancasila merupakan jiwa dan kepribadian bangsa, karena unsur-unsurnya telah berabad-abad lamanya terdapat dalam kehidupan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pancasila adalah pandangan hidup atau falsafah hidup bangsa yang sekaligus merupakan tujuan hidup bangsa Indonesia.
Materi agama dan budaya harus mendapat porsi yang besar dalam pendidikan nasional kita. Pendidikan agama dapat diselenggarakan di sekolah dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Ada lima format yang bisa diselenggarakan, berdasarkan UU Diknas kita. Pertama, pendidikan agama dilakukan melalui pembelajaran agama yang lebih menekankan pada penguasaan pengetahuan ilmu agama. Kedua, pendidikan agama dilakukan melalui learning by doing yang memungkinkan peserta didik terlibat langsung dalam kegiatan amaliah keagamaan. Ketiga, pendidikan agama dapat dilakukan dengan kegiatan-kegiatan keorganisasian terutama dalam kegiatan dakwah dan
muamalah. Keempat, pendidikan agama dapat dilakukan melalui kegiatan kajian kritis terhadap ajaran agama, sehingga dapat meningkatkan dan memantapkan keimanan dan ketaqwaannya. Kelima, pendidikan agama dapat dilakukan melalui media informasi baik secara tertulis maupun visual. Keenam, pendidikan agama dapat dilakukan melalui media bidang studi lainnya. Ketujuh, pendidikan agama dapat dilakukan melalui kegiatan ekstra-kurikuler.
Selain agama, pendidikan ramah anak yang sesuai dengan semangat Pancasila adalah keadaban, persatuan, musyawarah, dan keadilan. Adab seorang siswa antar sesama mereka, kepada guru, orangtua dan lingkungan sekitar. Hal ini harus menjadi upaya serius Pemerintah dan kita semua. Persatuan adalah semangat kebersamaan tanpa melihat latar belakang agama, suku, ras dan golongan apa. Ini tentunya sesuai dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Di usia dini, anak juga diajarkan untuk menghargai dan melakukan musyawarah dalam memecahkan segala permasalahan yang ada di kehidupannya.
Tidak ada yang boleh membeda bedakan status dalam pendidikan di Indonesia. Ini adalah cangkupan dari isi sila ke lima yang ada di Negara kita. Upaya-upaya ini membutuhkan kepemimpinan nasional yang kuat dan aktif, berkomitmen untuk pelaksanaan Pancasila sebagai warisan budaya kita dan sebagai Prinsip Dasar Republik. Seorang pemimpin yang mampu memberikan contoh kepada semua orang dan tim kepemimpinan lokal. Ini akan memotivasi anak untuk mencapai yang terbaik di masa mendatang kehidupannya. (*)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.