KH Wahid Hasyim, Tokoh Agama yang Berkontribusi dalam Perumusan Pancasila
Agama | 2024-10-21 17:40:01Pancasila adalah Dasar Negara Indonesia, yang mana dalam perumusannya melibatkan banyak pihak, salah satunya yakni KH Wahid Hasyim. Seorang tokoh agama yang terlibat dalam perumusan Pancasila ini merupakan Putra dari seorang Tokoh Pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yakni HadratuSyekh KH. Hasyim Asyari dengan Nyai Nafiqah. KH. Wahid Hasyim memiliki peran yang signifikan dalam menjaga keseimbangan antara nilai-nilai agama Islam dan prinsip kebangsaan.
KH. Wahid Hasyim lahir pada 1 Juni 1914 M di Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Beliau merupakan Putra pertama dari HadratuSyekh KH. Hasyim Asyari dan Ibu Nyai Nafiqah. KH. Wahid Hasyim mendapat Pendidikan Agama yang mendalam sejak usia dini. Namun, beliau memiliki pandangan yang terbuka terhadap modernisasi, termasuk dalam Pendidikan Agama Islam.
Saat berusia 25 tahun, beliau sudah mencatatkan diri sebagai pemimpin federasi Ormas-ormas Islam di Indonesia. Di Usianya yang masih muda, beberapa jabatan pun beliau sandang, antara lain yakni Badan yang bertugas Meyelidiki Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan atau dikenal dengan BPUPKI, beliau adalah salah satu anggota termuda dengan usia 33 Tahun (M. Rifqy Fauzi, 2023).
Salah satu yang menonjol dari KH Wahid Hasyim adalah bagaimana cara beliau bisa menjaga keseimbangan antara Agama dan Kebangsaan. Sebagai ulama, beliau juga memegang teguh tentang Prinsip-prinsip Islam, tapi juga memahami pentingnya kebangsaan.
Sebelum Pembukaan disahkan pada 17 Agustus 1945, Mohammad Hatta mengutarakan Aspirasi dari rakyat Indonesia bagian timur terkait kontroversi sila pertama yang mengancam memisahkan diri dari Indonesia jika poin “Ketuhanan” tidak diubah. Peran KH. Wahid Hasyim sangat krusial dan menjadi kunci dalam mengubah sila pertama bersama dengan tokoh-tokoh lain, seperti Soekarno dan Hatta. Akhirnya, setelah berdiskusi dengan tokoh agama di antaranya KI Bagus Hadikusumo, dan Teuku Muh. Hasan, ditetapkan kompromi terhadap sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”.
Umat Islam telah memberi sumbangan besar dalam perumusan Pancasila, termasuk NU dalam melibatkan tokohnya (Setiawan, n.d.). Tokoh ulama yang menegaskan perubahan sila pertama adalah KH. Wahid Hasyim, seorang ulama Muda Putra dari seorang pendiri NU yakni KH. Hasyim Asyari. KH. Wahid Hasyim menilai bahwa perubahan sila pertama merupakan konsep Tauhid dalam Islam. Hal tersebut memberikan arti bahwa Umat Islam memiliki hal untuk menjalankan keyakinan agamanya tanpa mendiskriminasi keyakinan Agama lain. Sebagaimana Islam mengajarkan umat manusia untuk selalu menghormati dan toleransi terhadap sesama dan menjaga kesucian serta kebenaran Islam (Hsb, 2021). Dengan demikianlah tidak ada yang mananya intoleransi kehidupan berbangsa atas ras, suku, dan Agama. Tentu, sila pertama Pancasila memiliki nilai Akomodatif dalam konteks sila Ketuhanan, dan menghasilkan tatanan negara yang unik dalam aspek hubungan antar Agama dan Negara. Dari hal tersebut terlihat jika Pendidikan seperti itu hanya akan lahir dari lingkungan Pesantren.
Alasan saya memilih KH. Wahid Hasyim sebagai pahlawan yang berjasa dalam perumusan Pancasila antara lain, Saya selaku Alumni Pondok Pesantren dan melanjutkan Pendidikan di Universitas Airlangga Program Studi Akuakultur sangat terinspirasi dengan pemikiran beliau dalam mengambil Keputusan. Mampu mengimbangi antara ajaran Agama dengan Kebangsaan. Dan juga Beliau berhasil melahirkan “Bapak Pluralisme” yakni Gus Dur. Dalam pengambilan Keputusan, beliau selalu mengedepankan kepentingan bersama, mampu melihat antara sisi yang diuntungkan dan dirugikan. Sehingga beliau mampu merumuskan Pancasila tanpa merugikan pihak manapun.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.