Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yemima

Lawan Patriarki dan Dukung Kesetaraan Gender untuk Kesejahteraan Bersama

Info Terkini | 2023-06-08 09:54:17

Usaha-usaha wanita untuk mendukung kesetaraan gender makin banyak kita dengar. Salah satunya yang kita dengar adalah Women’s March Jakarta (WMJ) pada Sabtu, 20 Mei 2023 kemarin. Mereka berjuang untuk menentang struktur kekuasaan patriarki dan menciptakan ruang yang lebih bagi para perempuan agar suaranya dapat didengar dan dihormati dalam dunia politik (Kumparan.com, 21/05)

Di zaman modern yang katanya makin terbuka dan mudah bagi wanita dalam segala aspek kehidupan, harusnya menjamin kemudahan terhadap akses tersebut.

Seharusnya perempuan dianggap setara. Dalam artian, setara dalam kesempatan pendidikan, pekerjaan, dan hal-hal di aspek kehidupan lainnya.

Di era dengan berbagai teknologi yang kita rasakan sekarang, apakah benar patriarki masih ada?

Source: Kumparan.com

Realita yang Kita Alami

Meski banyak pendukung dan aksi untuk melawan patriarki dan kesetaraan gender, nyatanya masih banyak kita jumpai diskriminasi terhadap wanita. Salah satunya disebabkan karena faktor budaya yaitu budaya patriarki yang masih erat digenggam oleh berbagai tradisi di Indonesia terutama di daerah terpencil.

Budaya patriarki memberikan pandangan bahwa dalam kondisi sosial budaya laki-laki adalah sosok yang utama lebih dari wanita. Paham ini meyakini laki-laki lebih tinggi dari wanita dalam segala aspek kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi. Paham ini juga meyakini bahwa laki-laki memiliki hak yang istimewa dibandingkan perempuan.

Dalam banyak tradisi, budaya patriarki masih dipraktikkan untuk memudahkan dan menjamin kaum pria tetap mendapatkan keuntungan mereka. Misalnya, istri harus menuruti apapun perintah suami. Bahkan, ketika sang suami ingin berpoligami. Istri mau tidak mau harus menurut.

Selain mempengaruhi urusan domestik, budaya patriarki ini menyebabkan banyak permasalahan di berbagai aspek kehidupan. Misalnya di bidang pendidikan dan pekerjaan.

Di bidang pendidikan muncul stigma-stigma yang membatasi seorang wanita untuk melanjutkan pendidikannya. Misalnya, ketika kita wanita yang masih berusia muda dan setelah lulus S1 kita berencana melanjutkan pendidikan. Banyak dari keluarga kita mungkin juga tetangga yang berkata, “Kenapa kamu sekolah tinggi-tinggi? Nanti, tidak ada laki-laki yang mau sama kamu loh”.

Selain stigma-stigma yang muncul, hal ini mempengaruhi kualitas pendidikan di Indonesia sendiri dengan budaya patriarki yang ada. Berdasarkan jenis kelamin, angka buta huruf pada perempuan sebesar 4,92% pada 2020 dibandingkan angka buta huruf pada laki-laki yang mencapai 6,32%. Hasil tersebut menunjukkan angka buta huruf pada perempuan lebih tinggi dibandingkan pada laki-laki.

Di bidang pekerjaan seringkali seorang wanita didiskriminasi hanya karena dia seorang wanita. Seringkali di tempat kerja, wanita mengalami pelecehan dan direndahkan secara verbal. Wanita dianggap tak seharusnya menekuni pekerjaannya. Wanita yang sudah memiliki jabatan juga dianggap tak bisa memimpin dan mengambil keputusan karena dianggap makhluk yang irasional.

Melawan Patriarki dan Mendukung Kesetaraan Gender

Patriarki ini membawa keraguan dan ketakutan sendiri bagi kaum wanita untuk bermimpi dan berkarya kedepannya. Padahal wanita memiliki kemampuan yang saya rasa lebih dari mumpuni untuk memberikan pikiran dan jasa mereka untuk negeri ini. Bahkan, mereka mampu melakukannya tanpa meninggalkan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu dan istri. Bukankah itu sesuatu yang hebat?

Jika budaya ini dibiarkan, tak hanya wanita yang jadi korbannya. Tetapi juga berdampak pada perkembangan generasi dan bangsa karena menghilangkan berbagai macam peluang untuk para wanita yang sebenarnya mampu dan dapat membuat kondisi masyarakat yang lebih baik.

Saya rasa wanita yang baik tak harus diukur dari kemampuan mereka mengurus rumah atau domestik, bereproduksi, dan lain sebagainya. Saya rasa kemampuan mereka untuk berbuat hal yang baik, membawa dampak positif, bahkan bisa membawa perubahan yang baik bagi lingkungan sekitarnya termasuk negara ini, ia sudah menunjukkan ia adalah wanita yang baik.

Mari kita mulai menghentikan budaya yang “membunuh” wanita ini dan mulai untuk berjuang agar setara antara laki-laki dan perempuan dalam porsinya masing-masing. Tidak harus dengan melakukan aksi turun ke jalan, tetapi kita bisa melatih mindset kita untuk tidak merendahkan dan diskriminatif terhadap perempuan. Jika kita masih bersikap diskriminatif, kapan kita akan menikmati dunia yang adil?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image