Wali Songo dan Keturunan Cina
Agama | 2023-06-07 10:29:30Sebenarnya, saya agak malas ikut meramaikan komentar mengenai kisruh nasab yang menjadi perdebatan akhir-akhir ini. Dimana kisruh diawali dengan pendapat Bahar bin Smith yang menyebut bahwa Wali Songo keturunannya terputus. Setelah menunggu ramadhan berakhir, entah mengapa, pada akhirnya, lewat tulisan ini, saya ikut mengomentarinya juga. Begitulah.
Pendapat Bahar bin Smith, sebenarnya merupakan pendapat biasa di kalangan sebagian habib Rabithah Alawiyah. Mereka sedianya, mengakui bahwa Wali Songo merupakan keturunan Alwi Ammul Faqih bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa Al Muhajir. Namun, mereka datang belakangan dan tidak tahu mengenai kelanjutan keturunan Wali Songo. Wajar, jika pada akhirnya, ada diantara mereka yang mengatakan bahwa keturunan Wali Songo terputus, karena memang ketidaktahuan, kehati-hatian atau ketidakberanian memutuskannya.
Jika selama ini, pendapat tersebut tidak banyak tanggapan, karena tidak disampaikan secara terbuka. Maka saat ini, ketika Bahar bin Smith menyampaikan secara terbuka, "gayung pun bersambut". Klaim yang mengatakan keturunan Wali Songo terputus, dianggap sebagai pelecehan atas keturunan Wali Songo, karena keberadaan mereka menunjukkan bahwa Wali Songo memiliki keturunan. Bagaimanapun juga Wali Songo adalah penyebar islam terdahulu yang banyak jasanya bagi perkembangan islam di Nusantara. Bisa saja, Bahar bin Smith melupakan eksistensi Kesultanan Cirebon (Kasepuhan, Kanoman, Kacirebonan) yang keberadaannya melanjutkan garis patriarki keturunan Sunan Gunung Jati.
Di antara keturunan Wali Songo, akhirnya terbagi menjadi tiga model kelompok.
1. Kelompok pertama adalah yang tetap ingin diakui oleh Rabithah Awaliyah dan berusaha menyusun catatan nasab secara internal. Mereka mempercayai bahwa antara keturunan Wali Songo dan Rabithah berasal dari puak yang sama, Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Qasam yang bermuara ke Ubaidillah bin Ahmad bin Isa Al Muhajir.
2. Kelompok kedua adalah kelompok keturunan Wali Songo yang meragukan nasab Ubaidillah. Mereka merujuk kepada kitab "syajarotul mubarokah" Karya Fahrudin Ar Razi, yang dicetak ulang di Qum, dimana validitas kitab tersebut masih dipertanyakan. Intinya, mereka meragukan keberadaan Ubaidillah sebagai anak dari Imam Ahmad bin Isa, dan pada akhirnya meragukan keturunannya, termasuk di dalamnya yang bergabung ke dalam Rabithah. Argumen kelompok ini, cukup ilmiah, dan saat ini, sudah masuk kepada perdebatan yang lebih mendalam. Kelompok ini kemudian melakukan penelusuran yang lain, dan pada akhirnya berlabuh kepada klaim bahwa nasab Wali Songo sesungguhnya bukanlah ke Ubaidillah Al Husaini, melainkan ke Musa Kazhim al Husaini atau bahkan ke al Hasani.
3. Kelompok ketiga, adalah kelompok yang meragukan nasab Imam Faqih Muqaddam, dan menyebut nasab yang benar keturunan Imam Muhammad Shohib Mirbath hanyalah lewat jalur Alwi Ammul Faqih. Pendapat mereka didasarkan kitab keluarga Abdul Malik, yang sekaligus menyebutkan bahwa keturunan Imam Faqih Muqaddam yang banyak bergabung ke dalam Rabithah Alawiyah, sebenarnya merupakan min Al Abbasi atau keturunan keluarga Abbasiyah, sebagaimana keluarga Bawazier. Kelompok ini hanya ramai digrup facebook saja, yang tidak menanggapi ketika diajak berdialog. Asal muasal kitab yang disebut sebagai manuskrip Abdul Malik, juga belumlah jelas.
Dari perdebatan antara kelompok Rabithah vs Wali Songo, kemudian berujung saling menihilkan. Fam Rabithah meragukan keturunan Wali Songo dan Fam Wali Songo meragukan eksistensi sanad fam Rabithah.
Perseteruan ini, sebenarnya cukup sederhana. Jika menyangkut catatan di hadramaut, habib Rabithah itu karena termasuk "habib senior", mereka mencatat rapi dan lebih tahu internal fam masyur mereka. Wajar, jika dalam catatan mereka, keturunan Wali Songo yang azmatkhan Abdul Malik itu tidak ada.
Adapun di Nusantara, keturunan Wali Songo itulah yang lebih senior. Sebaliknya, dalam naskah keraton dan manuskrip lokal keturunan Wali Songo, nama fam habib Rabithah juga tidak tercatat atau tidak ada.
Ada kesamaan dari kekurangan masing-masing catatan, bahwa mereka sama-sama tidak mencatat di luar ranah kawasannya. Dan penekanannya adalah, bahwa apabila sesuatu tidak tercatat oleh masing-masing internal, maka bukanlah berarti tidak ada atau terputus garis nasabnya. Hanya tidak tercatat saja.
Jika keduanya dapat duduk bersama dengan "kepala dingin", cukuplah menghentikan menuduh dan menilai keabsahan nasab pihak di luar kelompoknya. Cukuplah Rabithah dan keluarga Wali Songo mengurusi catatan internalnya masing-masing. Saya mengkhawatirkan bahwa debat ini hanya akan berujung ketidakpercayaan ummat, dan akhirnya menyimpulkan bahwa Rosulullah SAW tidak memiliki keturunan.
Saya termasuk yang meyakini kebenaran jalur keturunan Rosulullah SAW, baik lewat Ubaidillah, Alwi Ammul Faqih maupun Imam Faqih Muqaddam. Kesemuanya memang memberi bukti nyata sebagai pelanjut dakwah islam yang bersumber kepada ajaran Rosulullah SAW lewat apa yang diperjuangkannya. Bagi saya, pembuktian ini lebih nyata adanya. Selain hal itu, maka kebenarannya, silahkan dipertanggung jawabkan dihadapan Allah.
Terlepas dari perdebatan urusan nasab, yang diperlukan ummat ini adalah proporsionalitas. Keturunan Nabi SAW selayaknya dihormati, tapi bukan ditempatkan secara berlebihan. Kita sudah terbiasa menyebut islam itu agama tanpa kasta, semua setara dihadapan Allah kecuali taqwanya. Dan tentunya, ketaqwaan itu tanpa ketentuan dan syarat mutlak, seperti nasab.
Saya lebih suka melihat keunggulan seorang manusia, seorang anak adam, karena kapasitas agamanya, keilmuannya dan perilakunya, bukan sekedar nasabnya. Orang yang sekedar "menjual nasab", hanyalah menutupi keterbatasan dan ketidakpercayaan akan kemampuan dirinya sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.