Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image wildan alfath ghani - FH Universitas Pamulang

Penarikan Paksa Kendaraan Bermotor oleh Debt Collector, Begini Aturan Hukumnya

Info Terkini | Monday, 05 Jun 2023, 14:50 WIB
Penangkapan Debt Collector oleh Polda Metro Jaya

Kasus penarikan kendaraan secara paksa di jalan oleh debt collector akhir-akhir ini sangat sering kita jumpai, baik di sosial media atau berita di televisi. Seperti kasus yang terjadi pada selebgram Clara Shinta yang di mana puluhan debt collector mencoba merampas mobil milik selebgram tersebut di parkiran Apartemen Casagrande kawasan Tebet, Jakarta Selatan, pada 8 Februari 2023. Saat itu, kawanan debt collector itu merampas kunci mobil dari sopir keluarga Clara Shinta dengan alasan pemilik kendaraan menunggak pembayaran utang bahkan sampai adanya ancaman pembunuhan oleh debt collector kepada sang sopir. Sopir Clara meminta debt collector untuk menunggu pihak keluarganya untuk memastikan surat penarikan mobilnya. Dalam video yang diunggah Clara di akun TikTok @clarashintareal, tampak Clara beradu argumen dengan para debt collector. Clara merasa tidak pernah terlibat utang. Ternyata, mobil milik selebgram itu digadaikan oleh mantan suaminya.

Tampak polisi yang menengahi perdebatan tersebut. Polisi tersebut meminta agar permasalahan dibahas di Polsek terdekat. Pihak debt collector menolak permintaan tersebut dan justru membentak-bentak sang polisi. Pada akhirnya, para penagih utang itu tetap merampas paksa mobil Clara. Setelah kejadian, Clara Shinta langsung melaporkan debt collector itu ke Polda Metro Jaya. Kasus ini sedang ditangani oleh Polda Metro Jaya. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan kasus perampasan mobil oleh debt collector yang dialami seleb TikTok Clara Shinta sudah ditangani Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya dan akhirnya Polda Metro Jaya menangkap tujuh preman dari dua kelompok, tiga di antaranya adalah debt collector yang merampas mobil selebgram Clara Shinta pada 22 Februari 2023.

Selain itu, kasus yang sama juga dirasakan oleh Pasangan suami istri (pasutri) bernama Edo Yuhan dan Ani di Sulawesi Tengah (Sulteng) yang melapor ke polisi usai mobil Fortuner miliknya ditarik paksa debt collector berinisial H. Kasus ini dilaporkan korban ke Polda Sulteng. "Benar, SPKT Polda Sulteng telah menerima laporan saudara Edo Yuhan tentang dugaan tindak pidana pemerasan dan pengancaman," ujar Kasubbid Penmas Bidhumas Polda Sulteng Kompol Sugeng Lestari kepada wartawan, Rabu (26/4/2023).

Kasus ini berawal dari korban yang menempuh perjalanan ke Desa Marawola, Sigi pada Sabtu (25/3) untuk melaksanakan puasa di kampungnya. Saat berada di desa, tiba-tiba debt collector datang dan mengambil paksa kunci mobilnya. Berdasarkan penjelasan debt collector, penarikan dilakukan lantaran korban sudah menunggak cicilan mobil 2 bulan. Mobil tersebut dibeli korban melalui jasa pembiayaan Finance Astra Credit Companies (ACC) di Palu. Korban kemudian mendatangi kantor pembiayaan tersebut untuk membayar tunggakan sebesar Rp 27 juta. Saat berada di Kantor ACC, kedua korban heran lantaran dimintai biaya tambahan jasa Debt Collector Rp 40 juta. "Penarikan dilakukan pihak finance karena korban menunggak pembayaran selama dua bulan, 5korban yang berniat membayar tunggakan selama dua bulan masih dibebani untuk membayar biaya penanganan Debt Collector sebesar Rp 40 juta," jelas Sugeng. Setelah melakukan konsultasi ke beberapa pihak, korban kemudian melaporkan kasus tersebut ke Polda Sulteng pada Rabu (26/4). Laporan korban teregistrasi di SPKT Polda Sulteng dengan nomor STTLP/88/IV/2023/SPKT/Polda Sulteng.

Dari beberapa kasus di atas bahwa sudah sangat jelas bahwa kehadiran dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para debt collector sangat membuat masyarakat resah. Tindakan yang dilakukan debt collector ini bukanlah semata-mata atas kemauan mereka sendiri, tetapi adanya kerja sama antara Perusahaan Pembiayaan (Leasing) dan Jasa Penagihan untuk melakukan eksekusi kepada debitur terhadap objek jaminan yang dijaminkan kepada Leasing selaku kreditur. Praktiknya, para debt collector tidak jarang mengabaikan norma dengan melakukan tindakan paksa, tidak menunjukkan bukti dan dokumen resmi, menyerang diri pribadi, kehormatan, harkat dan martabat, hingga mengancam membunuh. Tentunya segala tindakan yang dilakukan oleh debt collector atau yang lebih dikenal dengan sebutan “mata elang” ini sudah sangat merugikan masyarakat dan juga melanggar hukum yang berlaku.

Pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 tertanggal 6 Januari 2020, yang bersifat final dan mengikat, mekanisme eksekusi jaminan Fidusia, dalam hal ini penarikan kendaraan bermotor debitur, berubah secara hukum. MK memutuskan “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap."

Sebelumnya, Pasal 15 ayat (2) Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyamakan kekuatan eksekutorial Sertifikat Jaminan Fidusia dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dengan kata lain, perusahaan leasing dapat menarik kendaraan bermotor yang berada dalam penguasaan debitur, jika terjadi cidera janji alias menunggak cicilan. Namun, putusan MK pada intinya tidak lagi memungkinkan kreditor/lessor untuk mengeksekusi langsung barang jaminan fidusia jika debitur/lesse keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia. Jika ada debitur yang menunggak cicilan kendaraan bermotor, maka pihak leasing harus mengajukan permohonan eksekusi pada pengadilan negeri. Dalam praktiknya di lapangan, masih saja banyak debt collector atau ”mata elang” yang melakukan perampasan kendaraan bermotor di jalan pasca putusan Mahkamah Konstitusi ini dikeluarkan.

Tindakan mengambil paksa kendaraan merupakan tindak pidana karena debt collector tidak mempunyai wewenang untuk melakukan penarikan atau penyitaan sepihak. Pelaku berpotensi dijerat pasal 378 dan/atau pasal 365 KUHP. Pasal 378 KUHP mengatur "Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun." Sementara Pasal 365 KUHP mengatur pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan terancam pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Kesimpulannya adalah tindakan penarikan paksa kendaraan bermotor yang dilakukan oleh debt collector adalah tindakan yang salah di mata hukum. Setiap masyarakat yang menjadi korban penarikan paksa atau perampasan ini tentunya harus melapor ke pihak kepolisian atas segala pebuatan yang dapat merugikan korban untuk dilakukan sanksi pidana kepada pelaku perampasan tersebut. Sehingga diharapkan kejadian ini tidak terulang kembali dan para pelaku perampasan kendaraan bermotor mendapatkan efek jera.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image