Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Anastasya Valerie Urasima Sinaga

Dampak untuk Anak Usia Dini Memiliki Gadget

Gaya Hidup | Sunday, 04 Jun 2023, 14:22 WIB

Pada saat ini, penggunaan gadget telah menjadi hal yang umum dan tidak lagi dianggap aneh. Anak-anak bahkan mampu mengoperasikan gadget dengan kecakapan yang tinggi, bahkan melebihi kemampuan orang tua mereka. Terkadang, kurangnya pengawasan dari orang tua dapat mengakibatkan anak-anak menggunakan gadget secara berlebihan. Selain itu, banyak orang tua yang kurang memahami efek negatif dari penggunaan gadget, menambah kompleksitas masalah ini.

Hasil survei terbaru menunjukkan bahwa rata-rata anak-anak menghabiskan 4,5 jam setiap harinya untuk menggunakan gadget. Penelitian yang melibatkan 1.500 orangtua dengan buah hati mereka yang berumur 6 sampai 16 tahun mengungkapkan yakni sebanyak 63% anak-anak mereka mengalami kesulitan bila diajak keluar rumah karena mereka terlalu fokus pada gadget mereka (Iskandar, 2022).

Menurut pandangan dari Asosiasi Dokter Anak Amerika dan Kanada, mereka merekomendasikan agar anak-anak berumur 0-2 tahun bebas dari paparan gadget sama sekali. Selanjutnya, bagi anak-anak berumur 3-5 tahun, disarankan agar mereka dikontrol dalam menggunakan gadget hanya selama 1 jam per hari, dan bagi anak-anak berumur 6-18 tahun, durasi bermain gadget sebaiknya dibatasi hingga 2 jam per hari. Namun, sayangnya pada negara Indonesia, masih banyak anak-anak yang memakai gadget dalam jumlah yang jauh melebihi rekomendasi tersebut, mencapai 4-5 kali lipat lebih banyak.

Anak-anak yang sering menghabiskan waktu dengan gadget cenderung melupakan lingkungan sekitar mereka. Anak-anak akan terus memilihi untuk main dengan gadgetnya daripada berinteraksi dengan teman-teman mereka di daerah lingkungan mereka. Hal ini menyebabkan keterlibatan sosial antara anak-anak dan masyarakat sekitarnya menurun, bahkan terkadang menjadi semakin minim (Warisyah, 2015).

Menurut laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 5-25% anak yang masih duduk di prasekolah mengalami gangguan dalam perkembangan. Kendala perkembangan anak, layaknya keterlambatan dalam kemampuan gerak, vokabular, dan tingkah laku sosial, telah mengalami peningkatan di tahun-tahun terakhir (Gunawan, 2017).

Proses pertumbuhan dan perkembangan manusia adalah sejenis fenomena yang bisa diperkirakan (Mahmud. B., 2020). Setiap individu mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang unik, di mana setiap fase membutuhkan waktu yang berbeda untuk diselesaikan. Selain itu, setiap fase dalam proses tersebut saling terkait dan saling mempengaruhi kemampuan perkembangan dalam fase-fase lainnya.

Menurut Mone, H.F. (2019) Menurut Erikson, satu dari aspek perkembangan yang sangat esensial dalam kehidupan anak yaitu perkembangan psikososial. Erikson berpendapat bahwa perkembangan psikososial adalah suatu proses yang berlangsung sepanjang hidup, dan pengalaman yang dialami pada lama tahun awal kehidupan bisa merangkai perkembangan pada masa depan.

Perkembangan psikososial mencakup aspek kejiwaan, moral, dan emosional yang dimiliki oleh seorang anak. Faktor-faktor seperti pola asuh keluarga lalu masyarakat sekitarnya memainkan peran penting untuk membentuk relasi anak terhadap orang lain. Oleh karena itu, perkembangan anak usia dini menjadi dasar yang penting dalam perkembangan psikososial anak (Damanik., & Lubis., 2022). Jika terjadi keterlambatan atau hambatan dalam salah satu proses perkembangan, hal ini dapat berdampak pada perkembangan psikososial anak, karena setiap perkembangan saling terkait dengan perkembangan selanjutnya.

Pengertian Perkembangan psikososial

Menurut teori Erikson ( dalam Feist et al., 2021) Pendekatan Erikson dalam membahas proses perkembangan anak adalah dengan menguraikan lima tahapan perkembangan psikososial, yaitu: percaya versus tidak percaya (0–1 tahun), Otonomi versus rasa malu dan ragu (1–3 tahun), Inisiatif versus rasa bersalah (3–6 tahun), Industry versus inferiority (6–12 tahun), Identitas versus kerancuan peran (12–18 tahun).

a) Industry versus Inferiority

Melalui berbagai kegiatan, baik dalam bidang akademik maupun pergaulan, anak akan belajar untuk berkolaborasi menghadapi persaingan terhadap orang lain. Pada fase ini, otonomi mulai berkembang, terutama pada permulaan umur 6 tahun, bersama dorongan dari orang-orang terdekat. Transformasi tampilan fisik, emosional, lalu sosial yang terjadi terhadap anak dapat mengubah persepsi mereka terhadap tubuh mereka (body image). Kontak sosial yang meluas dengan teman-teman dan respons seperti kritik juga evaluasi lewat teman-teman maupun lingkungan sekitarnya dapat menunjukan bahwa kelompok menerima, yang pada akhirnya menolong anak dalam membentuk konsep diri yang positif.

Anak merasakan kesuksesan ketika mereka memiliki motivasi internal dalam melakukan aktivitas dengan tujuan tertentu. Kapabilitas anak dalam berkomunikasi secara sosial yang lebih luas terhadap rekan-rekannya di sekitarnya bisa membantu proses perkembangan perasaan sukses atau sense of industry. Namun, perasaan tidak cukup atau inferiority bisa timbul jika anak terlampau banyak menghadapi tekanan yang datang dari sekitarnya lalu tidak dapat memenuhi tuntutan tersebut. Rendahnya harga diri pada fase ini dapat berdampak pada tugas-tugas yang dihadapi pada tahap remaja dan juga dewasa. Apresiasi atau penghargaan yang diberikan oleh orangtua terhadap pencapaian tersebut menjadi sangat esensial dalam memperkuat rasa keberhasilan terkait melakukan sesuatu.

b) Identitas versus Kerancuan Peran

Anak remaja berupaya menyesuaikan diri dengan peran mereka dalam fase transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Mereka menunjukkan identitas remaja dengan bergaul secara akrab dengan kelompok mereka, menyatu dengan nilai-nilai kelompok dan lingkungan, serta memilih keputusan sendiri. Kejelasan identitas dapat dicapai ketika mereka merasa puas dengan dukungan yang diberikan oleh orangtua atau lingkungan mereka dalam proses mencari identitas diri sebagai remaja. Namun, jika mereka tidak mampu mengatasi konflik yang ada, ini dapat menyebabkan kerancuan dalam peran yang harus mereka jalani (Supartini, 2004).

Pendapat Erikson, dalam tahap industry versus inferiority adalah tugas utama seorang anak. Di tahap ini munculnya rasa kemampuan dan ketekunan pada anak-anak mulai terlihat. Mereka merasa didorong oleh macam-macam kegiatan yang membuat mereka berasa berharga dan bermanfaat. Anak-anak ini memusatkan perhatian usaha mereka untuk ahli di berbagai area keterampilan yang mampu memberikan songkongan dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan dewasa. Walaupun mereka berjuang untuk mencapai kesuksesan, mereka juga dihadapkan pada kemungkinan kegagalan yang dapat menyebabkan perasaan rendah diri atau inferiority. Anak-anak yang berhasil meraih keberhasilan dalam fase sebelumnya dapat merasakan semangat untuk bekerja keras lalu beekolaborasi dengan anak-anak lainnya dalam meraih target bersama (Erikson, E. H., 1963; Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011).

Berdasarkan teori Erikson, anak-anak usia 6-18 tahun diharapkan menjelajahi lingkungan sekitar mereka untuk mengembangkan berbagai keterampilan yang diperlukan dalam kehidupan dewasa. Hal ini penting agar mereka bisa membangun rasa percaya diri dan memahami peran mereka dalam konteks sosial. Namun, kenyataannya semakin meningkat jumlah anak mengalami ketergantungan terhadap gadget dan melupakan interaksi sosial terhadap kawasan sekitar. Hal ini berakibat negatif pada kesejahteraan psikologis mereka, terutama terkait dengan krisis percaya diri. Lebih mengkhawatirkan lagi, mereka mungkin tidak lagi memperhatikan orang di sekitar mereka atau enggan berinteraksi dengan orang yang lebih tua (Chusna, 2017).

Mengacu pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Syarifah dkk (2018) Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap anak-anak usia sekolah di SD Negeri 1 Kota Banda Aceh mengenai penggunaan gadget, ditemukan bahwa anak-anak yang aktif menggunakan gadget memiliki kecenderungan untuk mengalami perkembangan psikososial yang kurang optimal apabila diukur dengan mereka yang tidak tergantung pada gadget. Efek dari hambatan perkembangan ini tidak hanya terbatas pada periode yang pendek, tetapi juga bakal lebih tampak dalam selama proses perubahan dan pertumbuhan anak dalam jangka waktu yang lebih luas. Kehidupan kanak-kanak merupakan periode awal yang sangat penting dalam perkembangan manusia. Jika seorang anak tidak dapat mencapai potensinya dengan maksimal selama masa kanak-kanak, maka kemungkinan besar ia juga akan mengalami kesulitan untuk menjadi individu yang produktif di masa dewasanya. (Hurlock EB, 2005).

Solusi dari kecanduan gadget terhadap perkembangan sosial anak usia dini

Dalam pendapat Putri Fitria di The Asia Parent Indonesia, ia mengusulkan beberapa cara untuk memperbaiki ketergantungan anak dengan gadget.

1. Membatasi penggunaan:

 

  • Anak yang masih dibawah umur 2 tahun alangkah baiknya mereka tidak dibiarkan menggunakan gadget sendirian.
  • Anak berumur 2-4 tahun sebaiknya dibatasi penggunaan gadgetnya menjadi tidak lebih dari 1 jam perhari.
  • Anak usia 5 tahun ke atas sebaiknya tidak menggunakan gadget lebih dari 2 jam sehari untuk kegiatan rekreasi, di luar kebutuhan belajar.

2. Menjadwalkan waktu:

Menentukan waktu yang tepat bagi anak untuk menggunakan gadget. Selain itu, orang tua juga perlu menyediakan alternatif lain supaya anak tidak merasa bosan lalu tidak tergoda untuk kembali menggunakan gadget.

3. Memberikan contoh yang baik:

Menjadi contoh yang baik bagi anak dengan tidak menggunakan gadget saat berinteraksi dengan mereka. Anak cenderung mengikuti apa yang orangtuanya lakukan, sehingga orang tua perlu memberikan contoh yang baik dalam mengatur penggunaan gadget.

DAFTAR PUSTAKA

Damanik, S., & Lubis, H. Z. (2022). Peran orangtua terhadap perkembangan psikososial anak usia dini. AL- HANIF: Jurnal Pendidikan Anak dan Parenting, 2(1), 1–7.

Feist, G. J., Roberts, T.-A., & Feist, J. (2021). Theories of personality (10th ed.). Mc Graw Hill.

Iskandar. (2022, May 23). Survei: Anak-Anak Habiskan 4,5 Jam Sehari di Layar Smartphone, Rabun Jauh Mengancam! Liputan6.

Gunawan, M. A. (2017) Hubungan Durasi Penggunaan Gadget Terhadap Perkembangan Sosial Anak Prasekolah Di TK PGRI 33 Sumurboto, Banyumanik Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Mahmud, B. (2020). Kekerasan verbal pada anak. AN-NISA: Jurnal Studi Gender Dan Anak, 12(2), 689-694.

Mone, H. F. (2019). Dampak perceraian orang tua terhadap perkembangan psikososial dan prestasi belajar. Harmoni Sosial: Jurnal Pendidikan IPS, 6(2), 155-163.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image