Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ayu Deswanti Rio Dingin

Angka Baby Blues Naik, Butuh Supporting System Terbaik

Parenting | 2023-06-02 19:52:04

Derita para ibu seolah tak ada habisnya. Setelah sebelumnya sang ibu berjuang di ruang persalinan. Mempertaruhkan nyawa demi melihat buah hati untuk pertama kali. Selepas itu, ibu berjibaku dengan peran baru, merawat bayi, menyusui, mengganti popoknya, dan menenangkannya saat menangis. Tak sedikit para ibu dalam melewati fase tersebut mengalami baby blues syndrome.

Seperti yang diungkapkan dalam data laporan Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2023, gangguan kesehatan mental pada kelompok ibu hamil, menyusui, dan ibu dengan anak usia dini di Indonesia tertinggi ketiga di Asia. Bahkan, di Lampung, 25% wanita setelah melahirkan mengalami gangguan depresi. (ameera.republika.co.id)

Menurut hasil penelitian Andrianti (2020) terungkap, 32% ibu hamil mengalami depresi dan 27% depresi pascamelahirkan. Selain itu, penelitian skala nasional menunjukkan 50—70% ibu di Indonesia mengalami gejala baby blues.

Angka tersebut cukup mengkhawatirkan. Kita patut bertanya-tanya, mengapa gangguan mental terus terjadi pada ibu?

Faktor Internal

Secara medis, penyebab baby blues berasal dari perubahan hormon. Di mana fisiologis tubuh ibu pasca melahirkan akan mengalami penurunan drastis hormon estrogen dan progesteron. Hal ini dapat memicu terjadinya perubahan suasana hati (mood swing), perasaan lelah, dan tertekan.

Terlebih lagi, ibu terjun ke dalam kondisi yang serba baru berupa peran dan rutinitas baru. Yang membutuhkan kecepatan beradaptasi sekaligus kesiapan diri. Sebab, peran baru bisa berarti tantangan baru atau justru ancaman baru. Hal itu tergantung pada kesiapan, baik fisik maupun mental dalam mengemban tugas sebagai seorang ibu.

Kesiapan diri juga kematangan emosi tidaklah diperoleh secara instan atau tiba-tiba. Melainkan step by step yang semestinya dilakukan sejak fase remaja.

Dengan cara mengkaji Islam intensif sebagai upaya membentuk kepribadian (syahsiyah) Islam. Inilah bekal awal bagi setiap individu untuk memiliki mental yang kuat dan tangguh. Sebab, sosok yang memahami betul tujuan hidupnya dan hakikat kehidupan ini akan selalu totalitas berada dalam kerangka taqwa.

Tak dapat dipungkiri, bahwa kuat-lemah mental seseorang juga bergantung pada kuat-lemah hubungan dirinya dengan Rabb-nya (hablum minAllah). Semakin sering ia berinteraksi dengan Allah dalam kekhusyukan ibadah, semakin kuat pula mental yang dimilikinya. Tak hanya itu, kesehariannya senantiasa diwarnai oleh kesadaran hubungan dengan Allah (idrak silla Billah).

Hanya saja, saat ini penerapan sistem sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan (faslud din anil hayah) mengabaikan aspek dasar tersebut. Negara berlepas tangan dari penjagaan aqidah kaum muslimin. Bahkan cenderung memberi ruang gerak bagi tumbuh suburnya paham kebebasan. Akibatnya, jiwa individu kering dari nilai-nilai Islam.

Banyak pula remaja yang bermental "kerupuk". Rapuh, mudah terguncang, dan tak memiliki jati diri. Sehingga ketika sedikit saja diterpa masalah atau tekanan hidup, seolah dunianya runtuh dan hidupnya tak ada harapan lagi. Tak sedikit yang memilih mengakhiri hidupnya.

Lantas, jika sejak remaja saja sudah tak memiliki kematangan emosi. Bagaimana mungkin akan siap melewati fase keguncangan pasca melahirkan? Jika saat remaja tidak memiliki jati diri yang benar, bagaimana bisa mengemban amanah mulia sebagai seorang ibu? Inilah pentingnya kesiapan calon ibu menghadapi peran baru.

Faktor Eksternal

Selain dari internal diri ibu/individu, yang juga memengaruhi kondisi mental berasal dari lingkungan eksternal. Karena sekali lagi, kehidupan sekuler telah menjauhkan kita dari agama. Menjadikan standar hidup berupa materi semata bukan ridho Allah Ta'ala.

Akibatnya, tak sedikit para ibu tinggal di lingkungan yang penuh tekanan. Seperti, tetangga yang julid, keluarga miskin empati, dan suami yang kurang suportif.

Ditambah lagi semakin mahalnya harga bahan pokok. Membuat ibu memutar otak demi mengatur perekonomian keluarga. Banyak pula yang memilih jalan berkarir dan menitipkan buah hati kepada orang terdekat.

Ibarat sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Semakin sulit menjaga kewarasan di tengah arus kehidupan sekuler. Tekanan demi tekanan datang silih berganti. Gangguan mental tak mampu terelakkan.

Bicara faktor eksternal juga tidak terlepas dari sistem pendidikan yang ada saat ini. Dibangun di atas paradigma sekuler-kapitalistik, sistem ini gagal menyiapkan para perempuan menjadi sosok ibu yang tangguh. Kurikulum pendidikan hanya berfokus pada nilai-nilai materi dan akademik. Melahirkan generasi muda sebagai mesin pencetak uang saja. Namun, tidak memiliki kompetensi sebagai orang tua apalagi kapasitas mendidik buah hati.

Para perempuan yang notabenenya calon ibu tidak dibekali dengan pendidikan dasar seputar pengasuhan anak. Seperti, hak dan kewajiban sebagai istri sekaligus ibu, fiqh nifas, syariat Islam tentang menyusui. Hingga tata cara menjadi madrasatul ula bagi anak-anak. Semua itu tidak didapatkan pada kurikulum pendidikan. Alhasil, nihil kesiapan menjadi ibu.

Supporting System Terbaik

Apa yang telah penulis jabarkan, sejatinya membuka mata kita bahwa masalah ini terlalu kompleks. Maka, dibutuhkan solusi yang komprehensif. Dalam melibatkan seluruh elemen lingkungan yang memberi dukungan penuh bagi kesehatan mental ibu.

Hal tersebut mustahil dicapai jika masih melanggengkan sekulerisme. Yang telah nyata gagal memberikan bekal terbaik bagi generasi terutama calon ibu. Alih-alih mewujudkan kesehatan mental, justru melahirkan jiwa yang rapuh keimanan.

Oleh karenanya, solusi atas kondisi ini hanyalah dengan penerapan syariat Islam kaffah. Salah satunya ditempuh melalui jalur sistem pendidikan Islam. Yang menjadikan aqidah Islam sebagai pondasi kurikulum pendidikan. Sehingga terbentuk output individu yang bermental baja dan tak mudah goyah atau depresi saat diterjang badai kehidupan. Karena memiliki gambaran yang sahih terkait hakikat kehidupan. Bahwa tujuan penciptaan dirinya semata menghamba kepada Allah. Maka, apapun peran diri akan dijalani sepenuh hati dan keikhlasan.

Lebih dari itu, sistem pendidikan Islam juga memiliki mata pelajaran kerumahtanggaan. Yang dikhususkan bagi para perempuan agar siap menjadi seorang ibu. Begitulah perhatian besar Islam terhadap peran strategis seorang ibu. Yaitu sebagai al umm wa rabbatul bayt (ibu sekaligus pengatur rumah tangga) serta madrasatul ula (pendidik pertama dan utama) bagi anak-anaknya.

Selain aspek pendidikan, negara juga bertanggung jawab penuh menjadi supporting system terbaik bagi para ibu. Dengan menciptakan atmosfer keimanan di tengah-tengah masyarakat. Sehingga timbul rasa empati, saling peduli, dan ta’awun (tolong-menolong) dalam kebaikan. Negara juga mendorong keluarga terutama suami untuk turun tangan membantu istrinya dalam pekerjaan rumah maupun berbagi tanggung jawab pengasuhan anak. Semua ini dilakukan dalam rangka ketaqwaan dan mengharap ridho Allah semata.

Dengan demikian, supporting system terbaik hanyalah dengan Islam. Sebagai seorang muslim tidaklah perlu mencari solusi di luar Islam. Sebab, kesempurnaan Islam akan menyelesaikan seluruh problematika kehidupan. Tentu, hal ini hanya bisa diperoleh jika Islam tegak di atas muka bumi. Wallahu’alam bisshowwab []

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image