Senioritas Tinggi Mengorbankan Santri Patut Dinormalisasi?
Edukasi | 2023-06-01 22:57:56Maraknya perbincangan atas terjadinya kasus kekerasan hingga memakan korban di salah satu pondok pesantren terkenal di Jawa Timur mengawali munculnya pelbagai kasus kekerasan di pondok pesantren lainnya. Kasus - kasus tersebut naik dengan pesat di permukaan media massa hingga menjadi buah bibir serta menimbulkan rasa khawatir sekaligus simpati. Tak hanya itu, kecurigaan pun mulai tumbuh. Pasalnya, munculnya kasus tersebut berasal dari sebuah pondok pesantren yang mana telah diamanahi sebagai wadah pembentukan karakter anak dengan asas keagamaan. Hal ini tentunya sangat melenceng dari ajaran yang diharapkan oleh para orang tua yang akan atau telah memercayai anaknya kepada pondok pesantren.
Pondok Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Sistem atau adat yang dianut telah lahir dan berkembang secara turun – temurun. Meskipun telah memasuki era globalisasi dimana kemajuan teknologi dan informasi telah menjalar sangat pesat, namun tidak meruntuhkan sistem yang telah mendarah daging di dalam pondok pesantren tersebut.
Kekerasan hingga menewaskan santri oleh sesama santri yang terjadi di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor, Jawa Timur, memberikan tanda tanya besar. Berdasarkan laporan yang diberikan dari pihak Gontor, terdapat 3 korban dan satu diantaranya meninggal dunia. Tak dapat dipungkiri bahwa pelaku dari penganiayaan tersebut merupakan kakak kelas atau senior dari sang korban. Kapolres Ponorogo menerangkan, peristiwa tersebut terjadi karena adanya perselisihan mengenai kurangnya ketersediaan alat usai acara perkemahan. Pelaku menghantam dua korban menggunakan tongkat pramuka. Sedang satu korban lainnya ditendang tepat di dada korban hingga terjungkal kemudian kejang.
Peristiwa serupa juga terjadi di Pondok Pesantren Darul Qur’an Lantaburo, Kota Tangerang. Hasil autopsi memaparkan bahwa terdapat luka – luka serta lebam pada tubuh korban. Kapolres Metro Tangerang Kota mengatakan, penyebab kematian korban karena adanya kekerasan akibat pukulan dari benda tumpul khususnya di bagian kepala depan dan belakang. Petugas unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Metro Tangerang telah menetapkan 12 tersangka yang merupakan sesama santri dari pondok pesantren terkait sebagai pelaku pengeroyokan. Kejadian tersebut dipicu karena adanya provokasi dari salah satu pelaku yang merupakan seniornya tersinggung terhadap perilaku sang korban.
Fenomena kekerasan dalam pondok pesantren ini berawal dari sistem senioritas yang masih melekat dalam komponen di pondok pesantren tersebut. Sistem senioritas ini telah lahir sejak dulu kemudian merangkap menjadi kulturasi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Dalam hal ini, adanya sistem senioritas mengharapkan para junior atau adik kelas tahu bagaimana cara menghormati seseorang yang memiliki jenjang umur serta pengalaman yang berbeda dalam lingkungan yang sama.
Selain sebagai bentuk upaya menghormati antar sesama, sistem senioritas ini kerap digunakan sebagai penegakkan kedisiplinan. Seorang senior diharapkan menjadi replika yang patut ditiru oleh juniornya. Bersama dengan itu, senior juga ikut berperan sebagai pembina agar junior dapat menerapkan aturan - aturan yang berlaku di lingkungan tersebut serta menjauhi perilaku yang menyimpang.
Penerapannya pun harus benar dan sesuai dengan kaidah atau nilai – nilai berasaskan kemanusiaan. Penyalahgunaan sistem senioritas ini sendiri akan mengakibatkan perselisihan antar kedua belah pihak. Jika dipandang dari sisi lain, adanya sistem senioritas ini pula dapat memunculkan hasrat seseorang untuk melakukan hal semena – mena yang akan menjurus kepada tindakan kekerasan. Bentuk dari tindakan kekerasan ini tidak hanya berupa kontak fisik, melainkan dapat berupa bentuk verbal. Perbedaan bentuk tindakan kekerasan ini tetap berpengaruh baik psikis maupun fisik sang korban.
Kekerasan sendiri dapat terjadi berdasarkan beberapa aspek, yaitu aspek internal dan eksternal. Seseorang memiliki karakter psikologis yang berbeda – beda. Hal ini termasuk dalam aspek internal dimana ada hasrat atau kepuasan yang muncul dalam diri sendiri saat ia melakukan penindasan. Perilaku itu pula dapat disebabkan berdasarkan pengalaman masa lalu yang kelam. Selain itu, faktor lingkungan serta kulturasi di sekitar mereka merupakan aspek eksternal dalam kekerasan. Tentu saja hal ini merupakan penyimpangan dari ajaran – ajaran seharusnya diberikan oleh pendidik. Tidak menutup kemungkinan terdapat sistem atau cara mereka mendisiplinkan peserta didik dengan kekerasan sehingga membuat peserta didik terdorong untuk melakukan tindakan serupa.
Pihak pondok pesantren pun telah mengambil tindakan untuk mengatasi kasus terkait namun penanganannya kurang maksimal. Berdasarkan kronologi kasus kematian santri Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor, pihak pondok pesantren mengatakan bahwa korban meninggal dunia disebabkan karena sakit. Namun setelah diproses lebih lanjut, korban dinyatakan mengalami kekerasan karena adanya lebam di sekujur tubuhnya. Akan tetapi, pihak pondok pesantren membantah pernyataan bahwa mereka menutupi kasus tersebut.
Di tengah situasi seperti ini dibutuhkan campur tangan pemerintah mengingat pondok pesantren sendiri berada di bawah tanggung jawab Kementrian Agama. Pondok pesantren bukanlah lembaga pendidikan tertutup yang tidak dapat dicampuri tangan oleh pemerintah. Kementrian Agama harus memiliki regulasi untuk melindungi anak – anak dengan membangun pencegahan sekaligus cara menanggulangi sistem senioritas dan ajaran – ajaran yang mengarah pada kekerasan. Bersama dengan itu, penting juga diadakannya penyuluhan demi meningkatkan pemahaman tentang segala bentuk tindakan kekerasan yang dapat terjadi di sekitar mereka.
Kita tidak bisa menutup mata saat penyimpangan dari sistem senioritas dalam pondok pesantren masih kerap ditemukan. Orang tua santri menitipkan anak mereka ke pondok pesantren dengan harapan dapat membangun karakter serta memiliki pandangan hidup berlandaskan ajaran – ajaran Islam. Sangat disayangkan bila pondok pesantren yang telah dipercayai tersebut justru membahayakan mental sekaligus nyawa anak mereka. Zaman semakin modern, tinggalkan kulturasi lama yang mengancam nyawa santri karena masih banyak cikal bakal budaya baru yang dapat kita petik dari perkembangan zaman sehingga mampu melahirkan generasi cerdas, bermoral, dan berkarakter.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.