Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image humaira

Omiai Budaya yang Masih Dibutuhkan Hingga Saat Ini di Jepang

Lainnnya | Wednesday, 31 May 2023, 20:56 WIB

Perjodohan merupakan salah satu hal yang sangat sering terjadi di kalangan masyarakat di seluruh dunia. Salah satu nya merupakan negara yang biasa disebut dengan “Negara matahari terbit atau Land of the Rising Sun”. Perjodohan dalam istilah jepang disebut “Omiai”. “Omiai” ini merupakan, pertemuan antara satu keluarga dengan Keluarga lainnya yang bertujuan untuk mencari jodoh lalu kemudian menikah. Miai sendiri memiliki dua definisi, secara sempit dan secara luas. Definisi Miai secara sempit, mempertemukan orang untuk tujuan tertentu. Sedangkan definisi Miai secara luas, mempertemukan kedua belah pihak calon pengantin.

Pada zaman dahulu di abad ke 12 di masa sebelum perang, pernikahan dengan cara miai menunujukkan pernikahan atas dasar inisiatif dari orang tua , keluarga, kerabat atau perantara. Pasangan dipilihkan oleh orang tua atau keluarga melalui pembicaraan kerabat yang membantu perundingan dengan keluarga lain. Peran orang tua atau keluarga disini menjadi alasan karena sering kali adanya rasa kurang percaya diri dari kaum muda terhadap lawan jenis.

Setelah perang dunia yang ke II, Jepang mengalami baby boom, yang dimana tingkat kelahiran bayi meningkat sangat pesat. Adanya budaya barat dan konsep percintaan nya yang romantic menyebar di Jepang, dengan kebebasan memilih dalam mencari pasangan menyebabkan maraknya terjadi hubungan seks bebas maupun pemerkosaan. Dari adanya fenomena itulah pemerintah Jepang melegalkan aborsi hingga tingkat kelahiran langsung mengalami penurunan.

Rendahnya angka kelahiran, sangat memengaruhi jumlah populasi dimasyarakat Jepang. Dengan adanya kondisi tersebut, Jepang kembali berupaya untuk meningkatkan populasi masyarakat. Salah satunya tidak melegalkan lagi aborsi, selain itu pemerintah jepang sudah memberikan arahan kepada masyarakatnya untuk menikah, namun dengan kondisi masyarakat yang lebih memilih berkarir daripada berkeluarga dan memiliki keturunan menjadi salah satu permasalahan yang hingga saat ini belum bisa menemukan solusinya dengan tepat.

Hal tersebut disebabkan oleh budaya masyarakat Jepang memiliki karakter pekerja keras yang sangat mementingkan karirnya, sehingga dapat menurunkan minat masyarakat untuk menikah dan memiliki keluarga maupun keturunan. Apalagi dengan pemikiran Wanita modern di Jepang lebih mementingkan Pendidikan dan karirnya daripada menikah memiliki keluarga. Tetapi selain daripada itu, ada juga Sebagian dari masyarakat jepang walaupun memiliki jam kerja yang padat, ada yang ingin segera menikah dan membangun rumah tangga. Salah satu nya dengan mengikuti Omiai atau perjodohan.

Cara pandang Wanita modern diJepang terhadap pernikahan adalah memilih berkarir. Inilah yang menjadi salah satu faktor menurunnya angka kelahiran, pasalnya Wanita lebih memilih bekerja daripada harus mengurus keluarga apalagi sampai memiliki anak. Selain karena Wanita, penyebab lain dari penurunan jumlah anak ini adalah banyak nya masyarakat Jepang yang belum juga menikah.

The national institute of population and Social Security merilis hasil survei kependudukan dan jaminan sosial tahunan 2021 pada tanggal 9 september, menunujukkan semakin banyak nya masyarakat jepang yang cenderung tidak menikah, sebagai salah satu penyebab adalah rendahnya angka kelahiran di negara itu. Di tahun 2021 rekor presentase pria 17.3% dan Wanita 14,6% yang berusia kisaran antara 18-34 tahun, mereka mengatakan tidak ingin menikah.

(Sumber:https://mainichi.jp/english/articles/20220913/p2a/00m/0na/021000c )

Dengan fenomena ini pemerintah Jepang sangat menekan masyarakatnya agar masalah penurunan tingkat kelahiran dapat di tanggulangi, namun banyak program juga upaya dari pemerintah masih belum mendapat hasil yang signifikan karena minimnya tanggapan posistif dari masyarakat Jepang.

Sehingga masyarakat Jepang yang menyadari adanya penurunan populasi penduduk, ikut berfikir menemukan cara yang modern agar masyarakat Jepang tertearik dengan pernikahan dan mempunyai keturunan, yaitu dengan perjodohan. Dari situlah muncul Kembali Omiai yang dikemas dengan tatanan modern yang memanfaatkan internet.

Dalam enam tahun terakhir, presentase yang didapat dengan cara melakukan perjodohan lewat aplikasi online sedikit meningkat dari tahun ke tahunnya, Di tahun 2022 presentase Pria sebanyak 50,2% menjawab berhasil menjalin hubungan dan presentase Wanita sebanyak 46,9% menjawab berhasil menjalin hubungan. Namun saat di tanya secara keseluruhan keinginan untuk menikah di masa depan, 79% dari mereka menjawab ingin. Meskipun presentase ini sama dengan hasil dua tahun yang lalu sebelum pandemi dimulai di Jepang.

(Sumber:https://japantoday.com/category/features/lifestyle/most-of-japan%E2%80%99s-new-adults-hope-to-fall-in-love-and-get-married-according-to-recent-survey-1 )

Peran pemerintah dianggap telah maksimal hingga dimana pemerintah mengeluarkan banyak dana untuk kegiatan perjodohan ini, bahkan pemerintah turut berperan sebagai perantara dalam menjodohkan.

Krisis angka kelahiran di negara Jepang yang semakin lama semakin mengkhawatirkan, mendasari pemerintahnya untuk melakukan berbagai upaya supaya dapat meningkatkan angka populasi dengan menyuarakan program yang berkaitan dengan pernikahan dan rumah tangga. Hal ini sudah dilakukan dari zaman dahulu yang di sebut “omiai atau perjodohan”.

Dikarena kan minat menikah masyarakat jepang semakin menurun di kalangan anak muda khususnya, “omiai” menjadi budaya yang sangat popular untuk meningkatkan minat tersebut.

Reference :

Budi, Mulyadi. 2018. “Fenomena Penurunan Angka Pernikahan dan Perkembangan Budaya Omiai di Jepang” (https://id.scribd.com/document/448942022/JURNAL-BUDAYA-OMIAI-DI-JEPANG ) diakses 18 Mei 2023

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image