Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hansen Dafa

1000 Tahun Menunggu, Hukum tidak akan Selalu Memuaskan Korban

Politik | Wednesday, 31 May 2023, 16:13 WIB

Pernah mendengar kasus Herry Wirawan? Seorang pimpinan pesantren asal Bandung yang divonis hukuman mati setelah melakukan rudapaksa terhadap 13 santrinya. Mungkin menjadi sebuah kabar memuaskan untuk kita sebagai penikmat media bahwa akhirnya perilaku bejat tersebut terbayar dengan hukuman mati bagi si pelaku. Namun, bagaimana dengan korban? Apakah mereka akan puas? Fakta bahwa hukuman mati pada pelaku tetap saja tidak mengubah fakta bahwa mereka telah dirudapaksa oleh pimpinan pesantren tersebut, tentunya hukuman mati tidak akan menghilangkan rasa sakit, trauma, dan ketakutan atas perbuatan yang telah terjadi. Mungkin ada yang merasa lega pada akhirnya, tapi apakah semua korban merasakan hal tersebut? Apakah hukum tersebut memberikan keadilan dan kepuasan kepada sang korban?

Hukum selalu dilihat dari perspektif menegakkan peraturan dan memberikan sanksi bagi sang pelanggar. Orientasi hukum selalu berada pada memberikan efek jera kepada pelaku agar tidak melakukan tindakan kriminal untuk kedepannya. Penghukuman selalu berada pada narasi “Agar di masa depan tindak kriminal berkurang sehingga tidak ada korban”, tetapi Anda harus tahu bahwa dari perbuatan pelaku selalu ada korban yang merasa trauma, tersakiti, ataupun kecewa bahkan setelah para pelaku diberikan hukuman.

Sang Hyun Cho dari Pixabay" />

Mungkin mengecewakan tapi faktanya hukum tidak akan selalu adil, hukum tidak selalu memuaskan korbannya, hukum tidak selalu mengakomodasi kebutuhan korban. Masyarakat selalu menganggap hukum adalah alat untuk menciptakan keadilan, tetapi konsep adil sangatlah subjektif dan abstrak. Apa yang menurut kita sebagai sebuah keadilan akan tergantung dari pengalaman dan interpretasi yang kita rasakan.

Teori subjektivitas adil (fairness subjectivism) yang menekankan bahwa adil atau tidaknya suatu tindakan, kebijakan, atau sistem hukum ditentukan oleh persepsi dan penilaian subjektif individu atau kelompok yang terlibat. Dalam teori subjektivitas adil, tidak ada standar objektif yang tetap untuk menentukan apa yang adil. Adil atau tidaknya suatu hal tergantung pada pandangan, nilai, preferensi, dan kepentingan individu atau kelompok yang terlibat dalam situasi tersebut. Ini berarti bahwa persepsi adil dapat bervariasi antara individu dan dapat dipengaruhi oleh latar belakang budaya, agama, atau nilai-nilai personal. Sadari bahwa bukan Anda yang membuat peraturan ataupun hukuman yang ada, bagaimana bisa Anda merasa adil atas hukuman yang dibuat oleh orang atau otoritas lain? Mereka tidak tahu minat dan kebutuhan personal Anda, bukan?

Kita bahas kenapa konsep hukum yang berkembang sulit dalam menegakkan keadilan untuk korban? Jawaban utama berada dalam sistem hukum yang tidak sempurna. Sadari bahwa hukum dibuat oleh otoritas tinggi dengan berbagai kekuatan, walaupun mereka berada pada posisi yang tinggi tetap saja produk hukum belum tentu bisa merepresentasikan seluruh minat masyarakat yang berbeda-beda. Misalnya saja sistem hukum seringkali mencerminkan kekuasaan dan asimetri yang ada dalam masyarakat. Korban, terutama mereka yang memiliki keterbatasan sumber daya atau pengaruh, mungkin merasa bahwa sistem hukum tidak memperhatikan kebutuhan atau minat mereka secara adil.

Di sisi lain, perlu disadari bahwa sistem hukum juga memiliki keterbatasan dalam hal sumber daya, waktu, dan kemampuan untuk menangani semua kasus dengan tepat. Sadari hukum merupakan produk dari otoritas atau badan dengan keterbatasan sumber daya, waktu, dan kapasitas. Oleh karena itu, prioritas dan penyelesaian kasus dapat bervariasi sesuai dengan urgensi yang ditetapkan badan hukum tersebut (tidak semua kasus yang dilaporkan bisa diselesaikan dalam satu waktu). Pada akhirnya, korban mungkin merasa bahwa kepentingan mereka tidak diprioritaskan atau diperlakukan dengan adil. Menunda penghukuman pada pelaku kriminal dan membuat korban menunggu sama saja menciptakan ketidakpuasan dan trauma yang lebih besar bagi korban, bayangkan saja pelaku yang menghancurkan hidup kalian masih belum bisa dihukum? Mungkin dengan alasan masih ada kasus lain yang harus diprioritaskan atau belum ada barang bukti yang ‘jelas’.

Terima fakta bahwa, hukum tidak selalu dapat memberikan pemulihan penuh bagi korban. Meskipun hukum mungkin memberikan kompensasi finansial atau hukuman kepada pelaku, tetap sadari bahwa kerugian emosional, fisik, atau sosial yang dialami korban tidak selalu dapat diatasi sepenuhnya karena hal ini adalah hal yang subjektif dan perlu treatment khusus untuk tiap individunya, sedangkan hukum akan berlaku objektif (sama) bagi tiap korban.

Mari kita lihat narasi yang membantu memahami “Hukum Tidak Akan Pernah Memuaskan Korban”. Bayangkan Anda hidup dalam keadaan yang sederhana (Secara finansial Anda tidak begitu kaya dan miskin) dan orang tua Anda telah tiada di suatu malam rumah Anda dirampok. Saat bangun pagi Anda sadar bahwa emas dan benda peninggalan orang tua Anda hilang. Anda melaporkan ke pihak berwenang dan mendapat bahwa kasus Anda akan diproses dalam waktu satu minggu karena masih ada kasus penting seperti pembunuhan atau kasus asusila yang harus ditangani terlebih dahulu, alhasil kalian menunggu selama satu minggu. Setelah menunggu satu minggu, pihak berwenang hanya bisa mengganti sebagian atau beberapa persen dari kerugian Anda, termasuk mengganti dengan uang atas emas Anda yang hilang. Sekalipun emas Anda diganti 100% dan pelaku ditangkap, Anda akan tetap merasa kosong karena sekarang benda peninggalan orang tua kalian akan hilang selamanya, sekalipun ada barang yang mirip, tetap saja memori dan kedekatan emosional tidak bisa tergantikan. Mari bayangkan skenario yang berbeda, Anda tetap sederhana, tetapi orang tua kalian masih ada. Perampokan atas kedua benda tersebut mungkin tidak terlalu memukul Anda dibanding skenario pertama, beban emosional atas kehilangan barang dari orang tua kalian mungkin tidak begitu besar (karena Anda masih memiliki orang tua dan tetap bisa menghubungi orang tua).

Narasi ini mengatakan bahwa keterbatasan hukum mulai dari keterbatasan waktu proses ataupun kemampuan pihak berwenang untuk mengganti barang Anda sangatlah terbatas. Sekalipun bisa terpenuhi tetap ada rasa trauma, takut, dan problem emosional lain yang membuat Anda gelisah. Akan berbeda keadaannya di individu lain, walaupun barang yang hilang sama, tetapi rasa kehilangannya berbeda.

Kita berada pada kesimpulan. Apa yang ingin saya tekankan adalah hukum tidak selalu memuaskan hasrat korbannya, tetapi bukan artinya semua hukum sia-sia atau artikel ini malah membuat Anda berpikir “Hukum tidak ada gunanya”. Tujuan hukum adalah ‘mengusahakan’ keadilan artinya apa yang diusahakan adalah setidaknya di masyarakat ada usaha untuk bertindak adil. Usaha dari pengakomodasian trauma korban berada pada teori hukum restorative dimana hal ini mencoba untuk ‘menangani’ dampak yang dirasakan korban atas perilaku kriminal yang dilakukan pelaku. Dalam Criminal Justice System (CJS) prioritas berada pada victim closure yaitu pendekatan untuk korban agar setidaknya terdapat penjelasan dan mengurangi ‘keambiguan’ atas apa yang terjadi.

Saya akhiri penulisan artikel ini dengan sifat dasar dari manusia dan hukum itu sendiri, “Manusia akan selalu haus; hukum bukan alat untuk memenuhi kehausan Anda”.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image