Literasi dan Degenerasi
Sekolah | 2023-05-31 12:06:26Kemampuan untuk berliterasi kini telah menjadi satu kemampuan penting untuk diupayakan. Kemampuan ini perlu dilatih sejak kecil. Literasi menjadi penting, karena dengan literasi dapat meningkatkan kemampuan otak dalam berlogika serta mengasah kemampuan berpikir kreatif dalam pemecahan masalah.
Ekonom Senior INDEF, Aviliani menyebut tingkat literasi digital Indonesia hanya sebesar 62% (CNBC, 14/02/2023). Angka ini tergolong rendah, karena rata-rata ASEAN sudah mencapai nilai 70% dan Korea, sebagai salah satu negara maju, mendapat nilai 97%.
Cepatnya persebaran informasi dan perkembangan teknologi dapat menjadi pedang bermata dua bagi generasi sekarang dan masa depan. Mereka yang dapat memanfaatkan keadaan dan teknologi dengan baik tentu mendapatkan efek yang positif. Namun, tidak jarang kita temui bersama, mereka yang malah terbawa ke efek yang negatif. Hal ini tidak hanya sebatas dalam lingkup sosial budaya, namun, juga pendidikan.
Mengutip cerita oleh akun @arman_dhani di laman twitter, tentang keluhan beberapa dosen yang dikenalnya terkait dengan kemampuan mahasiswa baru yang semakin menurun dalam konteks daya ingat pendek, kemampuan fokus lemah, dan kemampuan bernalar yang kurang baik. Dalam utas, pemilik akun dengan nama Dhani ini menjelaskan bahwa kondisi ini hadir sebagai dampak dari pandemi COVID-19 yang mengharuskan siswa belajar dari rumah secara mandiri. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah ini, Dhani memberikan suatu ajakan kepada dosen dan mahasiswa untuk saling bekerja keras sesuai perannya sebagai bentuk mengejar ketertinggalan.
Tentu, kejadian ini menjadi ironi karena mahasiswa masa kini adalah orang-orang yang harus membawa perubahan di masa depan. Benar adanya, bahwa penulis sendiri masih kerap menjumpai beberapa individu yang memiliki tingkat literasi yang rendah. Informasi yang sudah ditulis dengan jelas, masih perlu dipertanyakan secara lisan yang sebenarnya tidak perlu. Mahasiswa bisa lupa materi teoritis selama kuliah, namun literasi tetap penting sebagai kerangka berpikir dalam menjawab pertanyaan, berpikir kritis, dan menemukan solusi terbaik dalam pemecahan masalah. Hal inilah yang penting dan akan digunakan dalam jangka waktu panjang, mulai dari kehidupan kuliah, dunia kerja, hingga dalam bermasyarakat.
Dalam menghadapi permasalahan yang konstruktif ini, Universitas Airlangga menghadirkan suatu pembelajaran kolaboratif yang melibatkan seluruh mahasiswa-mahasiswi dari berbagai program studi dan fakultas untuk bisa saling mengembangkan soft skill-nya sebagai bekal menghadapi masa depan. Penulis sebagai mahasiswa Universitas Airlangga (UNAIR) menyadari bahwa tidak semua perguruan tinggi di Indonesia menerapkan kelas kolaboratif yang menggabungkan keseluruhan program studi yang ada. Tiga mata kuliah di semester dua UNAIR bisa dibilang sangat membantu dalam upaya berpikir kritis sebagai upaya pemecahan masalah yang terjadi di masyarakat. Tentu pernyataan ini adalah pernyataan yang subjektif, karena kembali lagi kepada apakah ada kemauan dari individu mahasiswa untuk mengembangkan kemampuannya menjadi lebih baik.
Mahasiswa harus memiliki kemampuan yang lebih untuk mau belajar dan berkembang. Apalah arti seorang dosen yang memiliki sertifikasi internasional, tetapi mahasiswa yang diajarnya tidak mampu menangkap esensi dari pengajaran yang diberikan. Tidakkah hal ini menjadi suatu kesia-siaan? Oleh karena itu, mahasiswa seharusnya menyadari privilege yang sudah didapatkan. Menempuh pendidikan memang bisa dilakukan dimana saja, namun dalam proses mendapatkan suatu gelar tentu diperlukan kemauan yang tulus, tidak karena ikut-ikutan atau bahkan karena paksaan.
Berkaca dari permasalahan ini, masih banyak hal yang perlu diperbaiki dan masih bisa dikembangkan dalam dunia pendidikan Indonesia sebagai upaya menyiapkan generasi Indonesia Emas 2045. Seorang teoriwan, Triling Fadel, mengungkapkan keterampilan – keterampilan abad 21 yang menjadi tolak ukur keberhasilan pendidikan menjadi 4C: critical thinking, collaboration, communication, creativity. Kemampuan literasi, berlogika, dan berpikir kritis haruslah menjadi tujuan utama dari pendidikan. Tidak hanya menguasai teori, tetapi mampu menerapkan teori itu ke praktik pemecahan masalah sehari-hari.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.