Punk tidak Benar-Benar Mati tapi Hanya Dipandang oleh Mata yang Buta
Gaya Hidup | 2023-05-31 08:07:35Punk merupakan subkultur yang pada awalnya berkembang di Inggris dan Amerika, seiring berjalannya waktu punk ikut tumbuh dibeberapa belahan dunia lain, termasuk di indonesia, di indonesia sendiri banyak tersebar komunitas punk di provinsi-provinsi di indonesia, salah satunya komunitas punk di Aceh yang eksistensinya mulai dikenal pada tahun 1990-an namun di Banda Aceh komunitas punknya tidak berkembang dengan pesat seperti di kota-kota lainnya
penyebab dari stuck-nya perkembangan punk di Aceh adalah diberlakukannya Hukum Syariat secara menyeluruh di Aceh yang membuat dua paham yang bersebrangan saling bentrok antara Punk dan Pemerintah Aceh, puncak dari bedanya paham ini pada 2011 di taman budaya, Aceh. pada saat anak punk mengadakan acara musik "aceh for Punx" polisi datang mengerubuni, membubarkan acara, dan menangkap 65 anak punk, alasan penangkapan yang diberikan pihak kepolisian ke media adalah karena anak punk dianggap meresahkan masyarakat setempat
tidak selesai dengan pengankapan saja, 65 anak punk ini dibawa ke "Tempat rehabilitasi" yang jauh dari pusat kota yaitu di seulawah aceh, dengan dalih untuk memperbaiki moral anak punk yang menyimpang dari identitas Provinsi Aceh yang menjunjung tinggi syariat Islam
setibanya disana, 65 anak punk tersebut dijemur dibawah terik matahari, dilakukan penggundulan paksa yang awalnya rambut mohawk dicukur botak, dan anak punk disana dipaksa untuk mandi di danau, perlakuan yang tidak manusiawi dan juga tidak selaras dengan program "rehabilitasi moral" yang dijalankan oleh aparat terhadap anak punk ini sangat bersebrangan, tentunya kejadian ini mendapat banyak atensi dari berbagai pihak mulai dari pihak asing yang ramai memberitakan topik tersebut hingga mengecam tindakan aparat kepada anak punk sebagai tindakan melanggar ketentuan HAM seperti Washington Post, BBC News, Vice Asia juga meliput dan mewawancarai langsung anggota komunitas punk yang mengalami kejadian tersebut
Pihak kepolisian juga dengan tindakan ini tidak menyelesaikan permasalahan, tugas dari instansi Kepolisian sendiri ada untuk mengayomi dan melindungi hak-hak masyarakat tetapi kemudian malah melanggar ketentuan aturan hukum HAM
para pihak yang terlibat menangkap dan membubarkan acara musik yang berlangsung itu telah menyalahi pasal 23 dan 24 UU 39 tahun 1999 tentang kebebasan berkumpul dan berekspresi
kemudian dengan penggundulan paksa, di jemurnya anak punk di bawah terik matahari serta memaksa anak punk tersebut mandi di danau, hal ini bukan tindakan yang manusiawi, juga telah merendahkan derajat dan martabat kemanusiaanya yang melanggar pasal 33 UU 39 tahun 1999
mengacu apa yang terjadi pada kasus tahun 2011 ini tidak ada perubahan paradigma masyarakat kepada anak punk sampai detik ini , setiap terdengar kata anak punk di masyarakat selalu muncul konotasi negatif kepada mereka, karena anak punk masih dipandang sebelah mata, dianggap sebagai sampah masyarakat, dan pembuat onar
dengan penampakan fisik mereka yang menakutkan, tattoo dan piercing disekujur tubuh bukan berarti mereka pelaku tindak kriminal hal ini beranjak dari media yang melabelkan punk seakan bukan orang yang baik sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh masyarakat
bertentangan dengan stigma negatif terhadap anak punk, mereka (komunitas Punk) rutin menggelar acara sosial contohnya, pada kejadian 2011 diatas acara musik yang diselenggarakan tersebut merupakan acara amal untuk anak yatim pada hakekatnya komunitas punk sama seperti kita punya hati dan pikiran namun cara menjalani hidupnya saja yang berbeda
tujuan dari punk itu sendiri hidup bebas, mandiri, dan tidak bergantung pada orang lain dalam artian bebas disini bukan tanpa batas.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.