Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Akmal Keysava

Mengapa Mereka Bisa dan Kita tidak? Komparasi Stategi Konservasi Hutan di Indonesia dan Brazil

Curhat | Tuesday, 30 May 2023, 22:10 WIB
Sumber Gambar: Wikimedia Commons

Sebutan paru-paru dunia sepertinya sudah sangat familiar ketika topik mengenai kehutanan muncul dalam pembicaraan. Penggunaan analogi paru-paru di sini memberikan kesan bahwa hutan, sebagaimana paru-paru yang ada di dalam tubuh manusia, berperan penting untuk menjaga agar badan ini dapat tetap bernapas, dapat tetap hidup, dan apabila diusik atau bahkan dirusak maka badan itu juga yang akan merasakan akibat buruk nya secara langsung. Kenyataan saat ini, perusakan terhadap kawasan hutan telah menjadi sesuatu hal yang acap muncul dalam banyak pemberitaan, namun meskipun telah banyak pula penolakan atas praktik perusakan lahan hutan ini oleh berbagai elemen di masyarakat, dengan pula semakin meningkatnya kesadaran akan kondisi lingkungan serta peran hutan untuk menjaganya, praktik ini seperti tidak ada hentinya.

Indonesia merupakan negara dengan tingkat keragaman hayati tertinggi kedua di dunia, salah satunya ialah berkat kawasan hutan yang negara kita tercinta ini miliki. Kawasan hutan juga menjadi salah satu faktor pembentuk karakter kebudayaan yang dimiliki oleh berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia, bukan menjadi hal yang aneh bahwa hal-hal mistis kerap diasosiasikan dengan kawasan hutan, berkat sulitnya akses terhadap kawasan ini pada generasi-generasi suku bangsa sebelumnya yang mendiami bumi Nusantara ini, maka dari itu hutan memiliki reputasi misterius, bahkan sakral, sehingga secara tidak langsung atau tidak sadar ada upaya dari masyarakat lokal yang ada di sekitar kawasan hutan tersebut untuk menjaga kondisi hutan agar bisa tetap lestari. Penjagaan atas integritas kawasan hutan ini juga berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan hidup bagi masyarakat di sekitar kawasan tersebut, hutan menyediakan berbagai macam sumber daya yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menunjang proses kehidupannya, sumber daya seperti kayu bakar, tanaman obat, sumber pangan, hingga hewan buruan, semuanya dapat diperoleh masyarakat berkat kedekatan serta penjagaan atas integritas kawasan hutan. Upaya untuk melakukan penjagaan atas kawasan hutan ini kemudian secara tidak langsung juga berbuah pada sumber daya yang mungkin tidak dapat secara kasat mata dilihat oleh manusia, namun secara signifikan dapat dirasakan, yakni keseimbangan ekosistem di mana dampak aktivitas manusia yang kerap berbentuk sebagai polusi, dan dikurangi dampak buruknya, atau bahkan dikembalikan lagi sebagai sesuatu yang lebih baik seperti: emisi karbon yang diubah menjadi oksigen, penjagaan atas siklus air, dan daur kesuburan tanah, sehingga aktivitas manusia relatif dapat berjalan secara lancar selama integritas kawasan hutan dapat pula terjaga.

Namun hutan tidak hanya memiliki potensi untuk menjaga ketersediaan sumber daya yang berfungsi sebagai penunjang kehidupan, tetapi juga sebagai penyedia sumber daya untuk meningkatkan taraf kualitas kehidupan daripada masyarakat, namun sayangnya pada fungsi kedua ini kerap diwarnai dengan tendensi-tendensi ekonomi yang eksploitatif sehingga sangat berkebalikan dengan sikap konservatif sebagai yang telah dijabarkan sebelumnya. Kembali lagi mengenai kondisi perhutanan yang ada di Indonesia, dikutip dari hasil penelitian Indrajaya dkk. dalam jurnal Land pada tahun 2022, sudah sejak pertengahan dekade 1960-an kegiatan eksploitasi kawasan hutan menjadi sumber peningkatan kondisi ekonomi nasional di Indonesia, kita menjadi salah satu pemain besar dalam bisnis kayu, gelondongan maupun olahan, baik yang legal dan yang tidak di kancah internasional. Selain eksploitasi hasil hutan, degradasi luas kawasan hutan juga disebabkan oleh alih guna lahan menjadi areal perkebunan, pertanian, pemukiman, atau kegiatan manusia lainnya, di mana mengurangi atau lebih buruk lagi menghilangkan fungsi hutan sebagaimana mestinya. Data dari Global Forest Watch menunjukkan, sepanjang dua dasawarsa terakhir, Indonesia telah kehilangan 2,6% dari total kawasan hutan yang dimilikinya, atau sekitar 4,1 juta hektar dari total 93,8 juta hektar lahan hutan pada periode awal perhitungan data di tahun 2001.

Permasalahan terkait deforestasi yang dialami oleh Indonesia bukanlah sesuatu hal yang eksklusif terjadi di sini, negara dengan peringkat biodeversitas nomor wahid, Brazil, dengan Hutan Amazonnya juga mengalami problem yang serupa. Pembukaan lahan hutan di Brazil berhasil membantu negara Amerika Selatan ini untuk meningkatkan kondisi ekonomi nasional nya, melalui ekspor produk ternak dan perkebunan, terutama kedelai. Pada 2013 Brazil menjadi produsen 30 persen kedelai dan 15 persen daging sapi dalam skala global, namun di sisi lain pada periode yang sama berdasarkan data yang dikumpulkan sekali lagi oleh Global Forest Watch tingkat pembukaan lahan hutan secara eksponensional terus meningkat dengan puncaknya terjadi pada tahun 2016 dengan 2,83 juta hektar lahan hutan dialih fungsikan.

Mungkin melakukan perbandingan absolut terkait kondisi di dua negara ini bukanlah sesuatu yang seharusnya dilakukan, baik Indonesia dan Brazil, meski memiliki permasalahan yang serupa di bidang perhutanan memiliki karakter kewilayahan, yang kemudian berpengaruh pada karakter kawasan hutan itu sendiri, dan lebih jauh berpengaruh pada bagaimana permasalahan terkait hutan tersebut disikapi. Iklim sosial, politik, dan ekonomi juga perlu untuk dijadikan bahan pertimbangan untuk menilai banding performa penanganan masalah terkait perhutanan yang terjadi, karena sekali lagi dengan kondisi yang berbeda maka tantangan yang hadir beserta respon terhadap tantangan itu pun akan berbeda pula, sehingga melakukan perbandingan untuk mencari siapa yang lebih baik daripada yang lainnya adalah sesuatu pekerjaan yang kurang bermanfaat. Namun bukan tidak mungkin sebuah perbandingan untuk dapat dilakukan, kita tetap dapat melakukan komparasi terhadap sikap Indonesia dan Brazil terhadap kasus-kasus perhutanaan yang spesifik namun sama-sama dialami oleh kedua negara serta bagaimana masing-masing negara merespon permasalahan tersebut.

Kita akan fokus kepada satu kasus saja yakni penebangan liar. Mengutip Tacconi dkk. dalam tulisan mereka di jurnal Forest Policy and Economics pada tahun 2019, sejatinya banyak terdapat kesamaan pendekatan antara Indonesia dan juga Brazil terkait penanganan masalah deforestasi yang satu ini, kedua nya memiliki pemahaman umum yang serupa dalam hal struktur penegakan hukum dan aturan-aturan yang mengikatnya terkait kejahaan dalam ranah perhutanan, selain itu baik Indonesia maupun Brazil juga memiliki sumber pendanaan yang relatif terbatas yang berimbas pula pada penerjunan aparat terkait yang terbatas pula untuk melakukan upaya penegakan hukum perhutanan. Namun ternyata Brazil memiliki posisi yang lebih unggul ketimbang Indonesia, mengingat krusialitas kawasan Amazon bagi regulasi iklim global telah lebih banyak mendapatkan sorotan internasional, tekanan politis serta aliran dana untuk melakukan upaya konservasi berjalan lebih lancar bagi Brazil. Salah satu strategi kunci dari keunggulan ini adalah pemfokusan tindakan pada area-area yang dianggap paling rawan akan tindak kejahatan pembalakan hutan, sehingga efektifitas personel dari aparat dapat lebih maksimal karena masing-masing individu akhirnya memiliki kewajiban wilayah jaga yang tidak begitu luas.

Pemusatan perhatian pada wilayah paling rawan bukanlah satu-satunya strategi keberhasilan Brazil, bagaimana mereka dapat melakukan pemetaan wilayah yang rawan dan tidak ini juga penting untuk diketahui. Brazil telah memiliki serangkaian jaringan penginderaan jarak jauh yang terpusat dan fokus pada usaha pengawasan wilayah hutan secara nasional, sehingga pengambilan keputusan strategis mengenai perhutanan senantiasa didukung oleh data yang diperbaharui secara berkala dan mutakhir dari kondisi asli di lapangan. Strategi semacam ini belum diimplementasikan di Indonesia, jaringan penginderaan jarak jauh mungkin telah tersedia dengan bagaimana ditunjukkan dengan kemampuan institusi seperti BMKG untuk melakukan pengawasan terhadap kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) selama periode belakangan ini, namun kapasitas teknologi ini belum menuju ke arah penggunaan strategis sebagaimana yang telah dilakukan oleh Brazil. Ditambah lagi, dalam upaya penegakkan hukum perhutanan di lapangan, Indonesia belum secara penuh mengalokasikan sumber daya yang ada pada area-area paling rawan yang ada, sehingga beban individual personel penegak hukum untuk melakukan penjagaan atas wilayah hutan relatif tinggi dan kurang efektif.

Tentu masih banyak variabel lain yang perlu untuk dijadikan pertimbangan dalam rangka pencegahan persebaran kerusakan kawasan hutan yang kian meluas, apa yang dilakukan oleh masing-masing pihak, baik Indonesia atau Brazil, bukan berarti dapat begitu saja saling disalin antara satu sama lain, karena sekali lagi kondisi perhutanan yang dialami kedua negara memiliki karakteristik nya masing-masing yang tidak dapat dibandingkan secara adil. Meski dengan keunggulannya di bidang pencegahan dan penanganan pembalakan liar, tingkat deforestasi akibat kegiatan lainnya masih tetap tinggi di Brazil berdasarkan data terakhir di tahun 2021. Ketertinggalan Indonesia juga bukan berarti suatu kekalahan yang absolut, pemerintah bersama pihak terkait telah banyak bertindak pada penangan masalah pada jenis lahan perhutanan lainnya yang dianggap memiliki nilai ancaman strategis yang juga tingi, yakni lahan gambut dan bakau, dengan perkembangan yang tidak terlalu mengecewakan.

Referensi

Global Forest Watch. (2021). Brazil. https://shorturl.at/hJS04.

Global Forest Watch. (2021). Indonesia. https://shorturl.at/dwDJ5.

Indrajaya, Y., Yuwati, TW., Lestari, S., Winarno, B., Narendra, BH., Nugrohom HYSH.,

Rachmanadi, D., Pratiwi., Turjaman, M., Adi, RN., Savitri, E., Putra PB., Santosa, PB., Nugroho, NP., Cahyono, SA., Wahyuningtyas, RS., Prayudyaningsih, R., Halwany, W., Siarudin, M., Widiyanto, A., Utomo, MMB., Sumardi, Winara, A., Wahyuni, T., & Mendham, D. (2022). Tropical forest landscape restoration in indonesia: A review. Land, 11 (328). https://doi.org/10.3390/land11030328.

Silva Junior, CHL., Pessôa, AC., Carvalho, NS., Reis JBC., Anderson LO., & Aragão, LEOC. (2020). The Brazilian Amazon deforestation rate in 2020 is the greatest of the decade. Nature Ecology and Evolution, 5, hal, 144-145. https://doi.org/10.1038/s41559-020-01368-x

Tacconi, L., Rodrigues, RJ., Maryudi, A. (2019). Law enforcement and deforestation: Lessons for Indonesia from Brazil. Forest Policy and Economics, 108. https://doi.org/10.1016/j.forpol.2019.05.029.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image