Refleksi Jelang Pilpres 2024: Melampaui Jebakan Politik Identitas
Politik | 2023-05-29 12:28:43Menjelang perhelatan Pilpres yang akan berlangsung di tahun 2024, para kandidat bakal calon Presiden telah melakukan manuver-manuver politiknya. Manuver politik tersebut ditunjukkan dengan safari politik mengunjungi figur-figur agamawan berpengaruh khususnya kalangan kiai dengan pesantrennya yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Sebut saja, Anies Baswedan yang diusung oleh PKS, Nasdem, dan Demokrat telah berkunjung ke pondok pesantren Karangpawitan dan al Mussadadiyah di Garut Jawa Barat. Tidak hanya terbatas di Jawa Barat, Anies juga melakukan safari politik Jawa Timur dengan mengunjungi pondok pesantren Al-Qodiri di Jember dan At-Tarroqqi di Madura.
Sama halnya dengan Anies, Ganjar Pranowo yang didukung oleh PDI-P dan PPP juga gencar melakukan safari politik dengan sasaran yang sama yaitu kiai dengan basis pesantrennya. Beberapa pondok pesantren yang telah dikunjungi Ganjar diantaranya adalah pondok pesantren yang tersebar di Jawa Timur meliputi pondok pesantren Al Badri Jember, An Nuriyah Surabaya, dan Dalwa Bangil. Tidak hanya terbatas di Jawa Timur, Ganjar juga mulai melakukan kunjungan politik di beberapa pondok pesantren di Jawa Tengah diantaranya adalah pondok pesantren Giri Kusumo Demak dan Tahfizul Quran Rembang binaan kiai muda KH. Ahmad Bahauddin Nursalim atau akrab disapa Gus Baha. Dari aktivitas politik di atas, dapat kita simpulkan bahwa kiai dan pesantren masih menjadi salah satu magnet pendulang suara yang cukup kuat dalam kontestasi politik elektoral di Indonesia.
Berkaca pada Politik Identitas Pilpres 2019
Safari politik di kalangan tokoh pesantren pada dasarnya adalah hal yang lumrah terjadi, pada Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) sebelumnya yaitu tahun 2019, para calon Presiden juga aktif melakukan safari politik ke berbagai pondok pesantren di Indonesia. Terlebih Wakil Presiden terpilih yaitu KH Ma’ruf Amin adalah kiai atau ulama berpengaruh karena kedudukannya sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekaligus Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Begitu juga dengan Prabowo Subianto, kompetitor Jokowi yang didukung oleh koalisi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) juga aktif melakukan safari politik ke berbagai pondok pesantren di Indonesia. Adanya mobilisasi umat Islam melalui pesantren atau secara umum disebut sebagai mobilisasi dukungan berbasis identitas politik keagamaan menunjukkan suatu fakta politik bahwa politik identitas tidak dapat terelakkan. Praktik mobilisasi berbasis identitas keagamaan tidak hanya dilakukan oleh satu pihak semata, namun juga oleh kedua belah pihak. Meskipun demikian, seringkali klaim pelaku politik identitas hanya disematkan kepada kelompok tertentu dengan mengabaikan kelompok lain.
Sebagaimana Pilpres tahun 2019, publik tentu mengetahui bahwa narasi yang dibangun oleh masing-masing calon Presiden di kalangan pendukung muslim saat itu adalah narasi yang penuh sentimen identitas keagamaan khususnya keislaman. Di satu sisi, Pasangan Jokowi dan KH Ma’ruf Amien memunculkan narasi Islam toleran versus Islam radikal (Fachrudin, 2019; Warburton, 2019). Di sisi yang lain, pasangan Prabowo dan Sandiaga Uno yang didukung GNPF MUI memunculkan isu ketidakadilan yang ditimpa oleh umat Islam salah satunya dengan menonjolkan kasus penangkapan Habib Rizieq Shihab (Kompas.com, 2018). Meskipun demikian, pertarungan yang dianggap ideologis oleh para pendukung kedua kontestan di atas harus dimentahkan dengan menyeberangnya Prabowo Subianto ke dalam koalisi pemerintahan sebagai Menteri Pertahanan di tahun 2019. Tidak hanya itu, Zulkifli Hasan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) yang semula berada di barisan pengusung Koalisi Prabowo Sandi juga menerima tawaran Jokowi sebagai Menteri Perdagangan di tahun 2022. Sontak, apa yang dikira ideologis oleh para pendukungnya ternyata berubah menjadi hal yang pragmatis.
Bagaimana Menyikapi Politik Identitas?
Perlu diketahui bahwa mobilisasi berbasis identitas pada dasarnya sulit untuk dihindari. Identitas kesukuan, keagamaan, bahkan kedaerahan akan terus mewarnai dinamika politik elektoral di Indonesia bahkan penggunaan identitas akhir-akhir ini telah menjadi tren global yang dalam beberapa kasus cukup mengkhawatirkan (Chua, 2018). Politik identitas yang diartikan sebagai mobilisasi atas identitas-identitas di atas tentu merupakan fenomena politik yang akan terus terjadi, meskipun harus dipahami bahwa dalam sebuah negara demokrasi modern idealnya sebuah pilihan politik haruslah didasarkan pada tawaran-tawaran rasional dari para politisi yang akan bertarung. Tanpa mengabaikan fakta sulitnya menghindari politik berbasis identitas, sebagai masyarakat awam tentu kita harus mengerti sejauh mana praktik politik identitas dapat kita toleransi sebagai suatu sikap politik yang sejalan dengan agenda demokratisasi di Indonesia. Meminjam pandangan Gutman terkait keadaban politik identitas, sejauh politik berbasis identitas menawarkan solidaritas kewargaan, nilai-nilai inklusif, tidak menawarkan sentimen dan diskriminasi atas kelompok lain, maka politik identitas masih dianggap sejalan dengan agenda demokrasi (Gutmann, 2003). Namun demikian, apabila politik berbasis identitas ternyata terbukti mempromosikan kebencian bahkan melegalisasikan kekerasan atas kelompok lain, maka sesungguhnya praktik politik sedang menjauh dari rel-rel demokrasi.
Organisasi Masyarakat Sipil dan Peranannya
Apabila dilihat dari tren pola koalisi bakal calon Presiden akhir-akhir ini, politik identitas diperkirakan akan terus mewarnai kontestasi Pilpres tahun 2024. Umat Islam yang berjumlah 236,5 juta atau sebesar 86,6% dari total populasi penduduk Indonesia masih menjadi target segmen yang menggiurkan bagi para politisi termasuk kandidat bakal calon Presiden yang akan bertarung di Pilpres 2024 (Katadata.co.id, 2022). Gagasan Gutman (2003) yang telah diutarakan di atas setidaknya dapat dijadikan salah satu patokan baik bagi masyarakat secara umum maupun Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) berpengaruh di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Dua organisasi sosial keagamaan di atas dapat menjadi kiblat bagi para anggotanya untuk memberikan fatwa-fatwa peringatan dini (early warning) baik bagi para anggotanya maupu masyarakat muslim secara umum untuk tidak hanyut dalam nuansa politik identitas yang eksklusif, bernuansa kebencian bahkan melegalkan kekerasan antar kelompok masyarakat, meskipun secara formal kita ketahui bahwa kedua organisasi di atas memilih untuk menjaga jarak dari politik elektoral atau politik kekuasaan. Tidak terbatas pada NU dan Muhammadiyah, kelompok-kelompok masyarakat sipil lainnya juga dapat berkontribusi dalam upaya penciptaan iklim politik yang kondusif guna mensukseskan agenda demokratisasi yang terus berlangsung di Indonesia di tengah fenomena menguatnya konflik dan kerusuhan di negara-negara muslim.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.