Hukum di Indonesia Terkait Perlindungan Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana
Info Terkini | 2023-05-29 11:11:00Indonesia merupakan negara yang menyandang tegap supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Dalam pelaksanaannya, negara hukum di Indonesia didasarkan pada nilai-nilai Pancasila yang merupakan pandangan hidup bangsa dan sumber dari segala sumber hukum. Salah satu sila Pancasila yang sangat dijunjung tinggi dalam praktik hukum ialah sila kelima, yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Berbicara mengenai keadilan, Indonesia masih menjadi negara dengan tingkat ketidakpuasan masyarakat yang tinggi terkait eksekusi keadilan hukum. Contoh kasus yang baru-baru ini menjadi topik perbincangan hangat di kalangan masyarakat adalah kriminalitas anak di bawah umur.
Dilansir dari beberapa media berita, terdapat banyak macam kasus tindakan kriminal yang dilakukan oleh anak di bawah umur, seperti tindak asusila, kekerasan, bahkan kejahatan serius yang berujung menyeret tokoh-tokoh pejabat negara. Negara pun sudah memiliki ketentuan hukum tersendiri dalam menindaklanjuti perkara pidana anak yang terangkum secara sah dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Namun, tidak sedikit adanya pro dan kontra dari masyarakat mengenai bagaimana penanganan kasus pidana anak di bawah umur yang semestinya. Ada yang menganggap bahwa ketentuan hukum yang diatur dalam undang-undang sudah proposional atau bahkan keringanan yang menjadi hak pelaku masih ternilai kurang, ada pula yang bersikeras bahwa pelaku harus dihukum sebagaimana mestinya orang dewasa tanpa adanya perbedaan hak apapun. Namun, pada akhirnya, ini semua adalah tentang perspektif.
Ketika seseorang berbicara tentang anak yang melakukan tindak kriminal seharusnya dipidana seringan mungkin demi kesejahteraan mereka mengingat mereka adalah masa depan bangsa ini, mungkin tindak kriminal yang dimaksud adalah anak yang mencuri sepatu tetangga karena merasa sepatu curiannya itu lebih trendy, anak yang mengolok-olok politisi karena ikut-ikutan orang di media sosial, atau anak yang terlibat menjadi pengedar narkotika akibat diiming-imingi skin game mahal oleh orang dewasa. Kriminalitas seperti itu masih berada di dalam batas toleransi karena anak-anak masih belum memiliki pendirian yang kokoh serta belum cukup matang dalam pengendalian hawa nafsu. Namun, bagaimana dengan kejahatan kelas atas seperti aksi klitih yang memakan banyak nyawa di Jogja atau provokator penyiksaan seperti AG yang berujung membuat orang lain berada dalam kondisi kritis?
Dalam ketentuan hukum pidana anak, pelaku yang masih tergolong anak-anak adalah seseorang yang sudah berusia dua belas (12) tahun dan belum berusia delapan belas (18) tahun. Pada rentang usia itu, manusia dalam sudut pandang psikologi masih belum stabil secara emosi dan mental sehingga pengontrolan diri pun belum bisa dilakukan secara optimal. Padahal, metode yang lebih tepat adalah dengan tidak mengeneralisasi anak-anak di usia tersebut sebagai manusia yang belum matang pemikirannya. Perkembangan zaman yang semakin maju ini telah melahirkan budaya baru, yang mana segala informasi dan wawasan sudah sangat mudah diakses, parenting style yang sudah tidak melulu memaklumi kesalahan anak dan mulai menegurnya, dan kemajuan lainnya yang akhirnya kini sudah banyak anak yang dinilai “dewasa sebelum usianya”.
Kata “anak” dalam konteks perlindungan anak yang melakukan tindak pidana lebih tepat jika ditempatkan pada kondisi tingkat psikis seseorang, bukan hanya usianya. Contohnya, seorang penyandang disabilitas intelektual yang sudah berusia dewasa, tetapi secara medis didiagnosis sebagai orang dalam keadaan imbisil (memiliki IQ 25-49 sehingga pikiran dan mentalnya seperti anak usia 3-7 tahun), maka ia dapat dikategorikan sebagai “anak di bawah umur” yang berhak mendapatkan keringanan sebagai pihak yang tak cakap hukum karena adanya bukti konkrit bahwa ia tidak memadai dalam mengendalikan diri dan mempertanggungjawabkan perbuatannya, sebagaimana yang tertoreh dalam RKUHP Pasal 38 yang menyatakan bahwa setiap orang yang pada saat melakukan tindak pidana menderita disabilitas mental/intelektual pidananya dapat dikurangi dan dikenai tindakan.
Selain itu, pihak berwenang juga perlu mempertimbangkan tingkatan dari tindak kriminal yang dilakukan oleh si anak. Apabila tindakan yang dilakukan memberikan dampak negatif yang besar, seperti mengancam nyawa atau merusak psikis korban, maka hak pelaku untuk mendapatkan keringanan perlu dihapus. Jangan sampai ketentuan perlindungan anak di bawah umur sebagai pelaku tindak pidana dimanfaatkan oleh para oknum “mental dewasa berbalut usia anak” itu sebagai tameng yang melindungi mereka dari jeratan hukum yang semestinya.
Pemberian keringanan hukum untuk anak sebagai pelaku tindak kejahatan berat yang mengatasnamakan masa depan pelaku juga perlu ditinjau kembali. Masa depan pelaku tidak seharusnya lebih dikedepankan daripada masa depan korban yang telah dirusak. Terlepas dari itu, pemberian sanksi pidana berupa hukuman yang serius juga merupakan salah satu bentuk edukasi untuk menyadarkan mereka bahwa segala bentuk kejahatan akan diminta pertanggungjawaban nantinya. Jangan sampai kebebasan dan keringanan itu menumbuhkan karakter kriminal dalam diri mereka yang akan terbawa sampai dewasa nanti serta menimbulkan kerusakan yang lebih buruk di kemudian hari.
Harapan yang dikerahkan pada pelaksanaan hukum perlindungan anak sebagai pelaku tindak pidana adalah dengan lebih mengutamakan penilaian subjektivitas dalam menentukan apakah seseorang dapat dikategorikan sebagai anak yang layak mendapatkan perlindungan tersebut. Dengan kata lain, usia tidak bisa secara mentah dijadikan sebagai patokan tanpa adanya pertimbangan latar belakang individu, tingkat kedewasaan, kemampuan pengendalian emosi, dan sebagainya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.